30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Alumni & Mahasiswi UI Gugat UU Pernikahan Seagama

Nikah seagama-Ilustrasi
Nikah seagama-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan perkawinan yang seagama digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Para pemohon yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi. Kelima pemohon yang merupakan alumni dan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan ‘perwakinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu’.

Menurut Pemohon, aturan perkawinan dalam undang-undang tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Atau dengan kata lain, negara ‘memaksa’ agar setiap warga negaranya untuk mematuhi hukum agama dan kepercayaannya masing-masing dalam perkawinan.

Menurut Pemohon, peraturan tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan di Indonesia karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun secara institusional.

Dalam permohonannya, Pemohon menegaskan sudah saatnya melepaskan ‘beban’ negara untuk menanamkan nilai-nilai luhur agama dan kepercayaan kepada tiap warga negaranya. Menurut Pemohon, tanggung jawab tersebut harus dipikul sendiri oleh warga negara dan negara harus membiarkan masyarakat yang memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya sendiri untuk mengikuti atau tidak mengikuti ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Melalui sidang pengujian UU Perkawinan ini diketuai Majelis Panel Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams didampingi Wakil Ketua MK Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Muhammad Alim.

Menanggapi permohonan ini, Wahiddudin meminta pemohon untuk menjelaskan pertentangan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan ini dengan UUD 1945.

Wahiduddin juga meminta untuk menampilkan perbandingan dengan negara lain yang mengunakan sistem pengaturan nikah beda agama. “Pemohon dalam kasus ini hanya menampilkan contoh dan lebih banyak pada pelaksanaannya mendapat kesulitan,” kata Wahiduddin.

Sedangkan Arief mempertanyakan tidak konstitusionalnya UU Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan yang mengatur perkawinan berdasarkan agama.

“Tidak konstitusional itu kenapa menurut anda dan di mana letaknya. Saya melihat bisa dipertajam, lebih mengelaborasi dari aspek filosofinya,” katanya.

Arief juga mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia memang bukan menganut berdasarkan agama, tetapi juga bukan sekuler tetapi berdasarkan Pancasila.

“Pancasila menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jelaskan filosofinya dari situ, itu bisa digunakan untuk memperkuat posita anda,” kata Arief.

Untuk itu majelis panel memberikan kesempatan 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.(net/bbs/bd)

Nikah seagama-Ilustrasi
Nikah seagama-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan perkawinan yang seagama digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Para pemohon yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi. Kelima pemohon yang merupakan alumni dan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan ‘perwakinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu’.

Menurut Pemohon, aturan perkawinan dalam undang-undang tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Atau dengan kata lain, negara ‘memaksa’ agar setiap warga negaranya untuk mematuhi hukum agama dan kepercayaannya masing-masing dalam perkawinan.

Menurut Pemohon, peraturan tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan di Indonesia karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun secara institusional.

Dalam permohonannya, Pemohon menegaskan sudah saatnya melepaskan ‘beban’ negara untuk menanamkan nilai-nilai luhur agama dan kepercayaan kepada tiap warga negaranya. Menurut Pemohon, tanggung jawab tersebut harus dipikul sendiri oleh warga negara dan negara harus membiarkan masyarakat yang memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya sendiri untuk mengikuti atau tidak mengikuti ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Melalui sidang pengujian UU Perkawinan ini diketuai Majelis Panel Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams didampingi Wakil Ketua MK Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Muhammad Alim.

Menanggapi permohonan ini, Wahiddudin meminta pemohon untuk menjelaskan pertentangan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan ini dengan UUD 1945.

Wahiduddin juga meminta untuk menampilkan perbandingan dengan negara lain yang mengunakan sistem pengaturan nikah beda agama. “Pemohon dalam kasus ini hanya menampilkan contoh dan lebih banyak pada pelaksanaannya mendapat kesulitan,” kata Wahiduddin.

Sedangkan Arief mempertanyakan tidak konstitusionalnya UU Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan yang mengatur perkawinan berdasarkan agama.

“Tidak konstitusional itu kenapa menurut anda dan di mana letaknya. Saya melihat bisa dipertajam, lebih mengelaborasi dari aspek filosofinya,” katanya.

Arief juga mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia memang bukan menganut berdasarkan agama, tetapi juga bukan sekuler tetapi berdasarkan Pancasila.

“Pancasila menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jelaskan filosofinya dari situ, itu bisa digunakan untuk memperkuat posita anda,” kata Arief.

Untuk itu majelis panel memberikan kesempatan 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.(net/bbs/bd)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/