30 C
Medan
Monday, October 28, 2024
spot_img

Amnesty Kritik Perda Syariat Islam di Aceh

Qanun Jinayat disahkan Sabtu (27/09) dinihari oleh DPR Aceh.
Qanun Jinayat disahkan Sabtu (27/09) dinihari oleh DPR Aceh.

SUMUTPOS.CO – Aturan pidana Islam yang baru diterapkan oleh pemerintah daerah Aceh – dikenal dengan nama Qanun Jinayat – merupakan kemunduran bagi penegakan hak asasi manusia, kata Amnesty International.

Qanun Jinayat mengatur sejumlah larangan dan sanksi yang sesuai dengan syariah Islam, termasuk larangan aktivitas seksual sesama jenis, hubungan seksual di luar nikah, dan berduaan dengan sesama jenis yang bukan suami atau istrinya (khalwat).

Semua orang yang bersalah akan menghadapi hukuman cambuk, penjara, atau denda.

“Hukum yang mengkriminalisasi hubungan seksual di luar nikah telah melanggar hak pribadi. Praktiknya banyak disalahgunakan untuk menghukum pilihan perempuan,” kata Richard Bennett, Direktur Amnesty International Asia Pasifik.

Hukum ini, menurut Bennett, juga bisa membuat perempuan enggan melapor kasus pemerkosaan karena takut dituduh melakukan hubungan seksual di luar nikah.

“Kriminalisasi terhadap individu karena orientasi seksualnya merusak kesetaraan di Indonesia,” lanjutnya.

 

“TEROBOSAN”

Dalam rapat pengesahan qanun di DPR Aceh yang berlangsung hingga Sabtu (27/09), Mahyaruddin Yusuf, jurubicara Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan bahwa Qanun Jinayat adalah sebuah terobosan baru oleh Pemerintah Aceh dan DPRA.

“Qanun Jinayat merupakan satu elemen penting bagi penyelenggaraan syariat Islam di Aceh,” katanya seperti dilaporkan penulis lepas BBC Indonesia, Nurdin Hasan, di Aceh.

“Kita menaruh harapan besar agar qanun ini setelah disahkan akan menjadi hukum positif yang mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan serta ancaman hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan melanggar aturan hukum jinayat,” katanya.

Qanun yang telah disahkan ini menurut DPRA tidak hanya berlaku bagi muslim tetapi juga non-muslim.

Ketua Komisi G, Ramli Sulaiman menjelaskan masuknya non-muslim ini merupakan “perintah” Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

“Klausul [berlaku untuk non-muslim] dalam Qanun Jinayat diambil utuh dari Undang-undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh. Jadi, pasal tersebut perintah undang-undang yang bukan dibuat di Aceh, tapi oleh DPR RI,” kata politisi Politisi Partai Aceh itu. (BBC)

 

Qanun Jinayat disahkan Sabtu (27/09) dinihari oleh DPR Aceh.
Qanun Jinayat disahkan Sabtu (27/09) dinihari oleh DPR Aceh.

SUMUTPOS.CO – Aturan pidana Islam yang baru diterapkan oleh pemerintah daerah Aceh – dikenal dengan nama Qanun Jinayat – merupakan kemunduran bagi penegakan hak asasi manusia, kata Amnesty International.

Qanun Jinayat mengatur sejumlah larangan dan sanksi yang sesuai dengan syariah Islam, termasuk larangan aktivitas seksual sesama jenis, hubungan seksual di luar nikah, dan berduaan dengan sesama jenis yang bukan suami atau istrinya (khalwat).

Semua orang yang bersalah akan menghadapi hukuman cambuk, penjara, atau denda.

“Hukum yang mengkriminalisasi hubungan seksual di luar nikah telah melanggar hak pribadi. Praktiknya banyak disalahgunakan untuk menghukum pilihan perempuan,” kata Richard Bennett, Direktur Amnesty International Asia Pasifik.

Hukum ini, menurut Bennett, juga bisa membuat perempuan enggan melapor kasus pemerkosaan karena takut dituduh melakukan hubungan seksual di luar nikah.

“Kriminalisasi terhadap individu karena orientasi seksualnya merusak kesetaraan di Indonesia,” lanjutnya.

 

“TEROBOSAN”

Dalam rapat pengesahan qanun di DPR Aceh yang berlangsung hingga Sabtu (27/09), Mahyaruddin Yusuf, jurubicara Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan bahwa Qanun Jinayat adalah sebuah terobosan baru oleh Pemerintah Aceh dan DPRA.

“Qanun Jinayat merupakan satu elemen penting bagi penyelenggaraan syariat Islam di Aceh,” katanya seperti dilaporkan penulis lepas BBC Indonesia, Nurdin Hasan, di Aceh.

“Kita menaruh harapan besar agar qanun ini setelah disahkan akan menjadi hukum positif yang mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan serta ancaman hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan melanggar aturan hukum jinayat,” katanya.

Qanun yang telah disahkan ini menurut DPRA tidak hanya berlaku bagi muslim tetapi juga non-muslim.

Ketua Komisi G, Ramli Sulaiman menjelaskan masuknya non-muslim ini merupakan “perintah” Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

“Klausul [berlaku untuk non-muslim] dalam Qanun Jinayat diambil utuh dari Undang-undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh. Jadi, pasal tersebut perintah undang-undang yang bukan dibuat di Aceh, tapi oleh DPR RI,” kata politisi Politisi Partai Aceh itu. (BBC)

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/