26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Refly: Bongkar Pasang Demokrat Sarat Nepotisme

Refly Harun, pakar Hukum Tata Negara.
Refly Harun, pakar Hukum Tata Negara.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pengamat hukum tata negara, Refly Harun, menilai, keputusan Mahkamah Partai Demokrat yang memecat delapan kadernya dari kursi DPR, sudah jelas melanggar aturan, yakni mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi.

Refly mengatakan, ada empat nama dari delapan nama yang dipecat itu, sudah mengajukan gugatan ke MK dan MK menolaknya.

“Saya tahu karena saya sempat dijadikan ahli oleh mereka saat mengajukan gugatan ke MK. Ya kalau sudah ditolak, ya sudah karena putusan MK bersifat final,” ujar Refly, kemarin (29/10).

Hanya saja dia tak mau menyebutkan empat nama yang dia maksud, dengan alasan tidak etis.

Mantan staf ahli di MK itu menjelaskan, delapan anggota DPR yang dipecat itu masih bisa mengajukan banding ke Pengadilan Negeri. Pasalnya, kata dia, pasal 32 UU Nomor 2 Tahun 2011 sudah diatur bahwa putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Artinya, untuk kasus pemecatan ini belum final.

Ketua Majelis Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, juga mengakui, putusan yang dikeluarkan belum final. “Masih ada tahapan lagi, belum final,” ujar mantan menkumham itu kepada koran ini Selasa (28/10) malam.

Maksudnya belum final, apakah kedua anggota DPR itu bisa mengajukan banding atas keputusan Mahkamah Partai? “Iya, bisa. Ini masih internal ya. Kok bisa menyebar seperti ini ya?” ujarnya dengan nada tanya.

Lebih lanjut, Refly Harus menilai, recall yang diputuskan Mahkamah Partai Demokrat itu hanyalah upaya dari sejumlah pengurus DPP yang gagal mendapatkan kursi lewat pileg 2014. “Mereka mencoba mendapatkan kursi gratis sekarang ini lewat Mahkamah Partai,” ujar Refly.

Bahkan, Refly menyebut sangat kental aroma nepotismenya. “Coba cari datanya, nama-nama calon penggantinya itu siapa saja. Di situ terlihat ada bau nepotismenya,” kata Refly.

Dikatakan Refly, jika ada nama yang dicopot karena dianggap tidak loyal, hal itu juga mengherankan. “Kalau dianggap tidak loyal, kenapa dulu dijadikan caleg? Kalau penilaiannya dilakukan sekarang, dasarnya apa, toh mereka baru saja menjadi anggota DPR?” kata Refly.

Dari data yang dihimpun koran ini, memang sejumlah nama yang bakal menjadi pengganti anggota DPR yang dicopot, mengindikasikan adanya bau nepotisme. Didi Irawadi Syamsuddin, yang akan menggantikan Amin Santono yang dicopot, merupakan putra dari Amir Syamsuddin. Mantan menkumham ini adalah juga Ketua Majelis Partai Demokrat, yang meneken Surat Pemecatan tertanggal 17 Oktober 2014 itu.

Satu lagi adalah Juhaini Alie yang merupakan adik kandung Marzuki Alie. Mantan Ketua DPR ini adalah Waketum Majelis Tinggi Partai Demokrat. Juhaini mendapat jatah menggeser kursi Wahyu Sanjaya yang juga kena pecat. Sementara enam lainnya seperti Jhonny Allen Marbun, Hinca Panjaitan, Roy Suryo, Jafar Hafsah, Lucy Kurniasari, dan Andi Saiman adalah pejabat teras DPP Demokrat.

Setali tiga uang, di DPRD Sumut gonjang-ganjing bongkar pasang di fraksi Demokrat juga santer. Ada tujuh anggota DPRD Sumut yang siap-siap di-PAW. Mereka adalah Meilizar Latif dengan 11.821 suara di dapil 1, Guntur Manurung (13.786) dan Syahrial Tambunan (12.443 suara) di dapil 3, Hartoyo (7.656 suara) dapil 4, Lidiani Lase (25.153) di dapil 8, Sopar Siburian 24.198 di dapil 9, dan Jenny Riany Lucia Berutu yang memperoleh 35.175 suara. Calon berpotensi menggantikan mereka adalah Farianda Putra Sinik, Dahril Siregar, Hj Jamilah, Tumpal Panggabean, Damili R Gea, Samsul Sianturi, dan Layari Sinukaban.

Hartoyo yang tersangkut masalah hukum sebelum dilantik sebagai anggota dewan 15 September lalu, menilai kasus yang melibatkan namanya itu sarat dengan nuansa politik. Sebab kasus yang membuatnya harus menjalani persidangan sebagai terdakwa kini, bukanlah pelanggaran fatal. Terlebih katanya tindakan penggelapan yang didakwakan kepadanya itu, sudah diselesaikan dengan mengganti rugi seperti disampaikan sebelumnya.

Sedangkan Guntur Manurung menyebutkan dirinya telah mengetahui adanya upaya gugatan dari seseorang yang menuding dirinya melakukan tindakan curang. Dan itu dijawabnya dengan memberikan penjelasan berupa klarifikasi terhadap tuduhan tersebut kepada Mahkamah Partai. Hal itu sudah dilakukannya sejak beberapa bulan lalu. Namun karena tidak adanya bukti kuat yang diajukan proses selanjutnya pun tidak dapat dijalankan.

“Sudah kita jawab beberapa bulan lalu. Tidak ada bukti yang menguatkan sehingga tida bisa diteruskan. Jadi bisa saja Mahkamah mengabaikannya,” ujar Guntur, Rabu (29/10).

Dirinya pun mengatakan surat dari Mahkamah Partai itu merupakan konsumsi internal partai, sehingga ia tidak mengomentari perihal ditemukannya fotokopi surat dari lembaga pengadil di internal partai berlambang mercy itu. Seharusnya surat penting seperti itu diserahkan kepada kedua pihak, pemohon dan termohon serta diberikan kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat sebagai alas hukum untuk menindak lanjuti putusan.

“Itu internal, bukan seperti putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, setelah ada putusan (Mahkamah Partai), masih harus ditindaklanjuti partai yaitu DPP dan harus dilihat secara objektif,” sebutnya. (bal/sam/jpnn/rbb)

Refly Harun, pakar Hukum Tata Negara.
Refly Harun, pakar Hukum Tata Negara.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pengamat hukum tata negara, Refly Harun, menilai, keputusan Mahkamah Partai Demokrat yang memecat delapan kadernya dari kursi DPR, sudah jelas melanggar aturan, yakni mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi.

Refly mengatakan, ada empat nama dari delapan nama yang dipecat itu, sudah mengajukan gugatan ke MK dan MK menolaknya.

“Saya tahu karena saya sempat dijadikan ahli oleh mereka saat mengajukan gugatan ke MK. Ya kalau sudah ditolak, ya sudah karena putusan MK bersifat final,” ujar Refly, kemarin (29/10).

Hanya saja dia tak mau menyebutkan empat nama yang dia maksud, dengan alasan tidak etis.

Mantan staf ahli di MK itu menjelaskan, delapan anggota DPR yang dipecat itu masih bisa mengajukan banding ke Pengadilan Negeri. Pasalnya, kata dia, pasal 32 UU Nomor 2 Tahun 2011 sudah diatur bahwa putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Artinya, untuk kasus pemecatan ini belum final.

Ketua Majelis Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, juga mengakui, putusan yang dikeluarkan belum final. “Masih ada tahapan lagi, belum final,” ujar mantan menkumham itu kepada koran ini Selasa (28/10) malam.

Maksudnya belum final, apakah kedua anggota DPR itu bisa mengajukan banding atas keputusan Mahkamah Partai? “Iya, bisa. Ini masih internal ya. Kok bisa menyebar seperti ini ya?” ujarnya dengan nada tanya.

Lebih lanjut, Refly Harus menilai, recall yang diputuskan Mahkamah Partai Demokrat itu hanyalah upaya dari sejumlah pengurus DPP yang gagal mendapatkan kursi lewat pileg 2014. “Mereka mencoba mendapatkan kursi gratis sekarang ini lewat Mahkamah Partai,” ujar Refly.

Bahkan, Refly menyebut sangat kental aroma nepotismenya. “Coba cari datanya, nama-nama calon penggantinya itu siapa saja. Di situ terlihat ada bau nepotismenya,” kata Refly.

Dikatakan Refly, jika ada nama yang dicopot karena dianggap tidak loyal, hal itu juga mengherankan. “Kalau dianggap tidak loyal, kenapa dulu dijadikan caleg? Kalau penilaiannya dilakukan sekarang, dasarnya apa, toh mereka baru saja menjadi anggota DPR?” kata Refly.

Dari data yang dihimpun koran ini, memang sejumlah nama yang bakal menjadi pengganti anggota DPR yang dicopot, mengindikasikan adanya bau nepotisme. Didi Irawadi Syamsuddin, yang akan menggantikan Amin Santono yang dicopot, merupakan putra dari Amir Syamsuddin. Mantan menkumham ini adalah juga Ketua Majelis Partai Demokrat, yang meneken Surat Pemecatan tertanggal 17 Oktober 2014 itu.

Satu lagi adalah Juhaini Alie yang merupakan adik kandung Marzuki Alie. Mantan Ketua DPR ini adalah Waketum Majelis Tinggi Partai Demokrat. Juhaini mendapat jatah menggeser kursi Wahyu Sanjaya yang juga kena pecat. Sementara enam lainnya seperti Jhonny Allen Marbun, Hinca Panjaitan, Roy Suryo, Jafar Hafsah, Lucy Kurniasari, dan Andi Saiman adalah pejabat teras DPP Demokrat.

Setali tiga uang, di DPRD Sumut gonjang-ganjing bongkar pasang di fraksi Demokrat juga santer. Ada tujuh anggota DPRD Sumut yang siap-siap di-PAW. Mereka adalah Meilizar Latif dengan 11.821 suara di dapil 1, Guntur Manurung (13.786) dan Syahrial Tambunan (12.443 suara) di dapil 3, Hartoyo (7.656 suara) dapil 4, Lidiani Lase (25.153) di dapil 8, Sopar Siburian 24.198 di dapil 9, dan Jenny Riany Lucia Berutu yang memperoleh 35.175 suara. Calon berpotensi menggantikan mereka adalah Farianda Putra Sinik, Dahril Siregar, Hj Jamilah, Tumpal Panggabean, Damili R Gea, Samsul Sianturi, dan Layari Sinukaban.

Hartoyo yang tersangkut masalah hukum sebelum dilantik sebagai anggota dewan 15 September lalu, menilai kasus yang melibatkan namanya itu sarat dengan nuansa politik. Sebab kasus yang membuatnya harus menjalani persidangan sebagai terdakwa kini, bukanlah pelanggaran fatal. Terlebih katanya tindakan penggelapan yang didakwakan kepadanya itu, sudah diselesaikan dengan mengganti rugi seperti disampaikan sebelumnya.

Sedangkan Guntur Manurung menyebutkan dirinya telah mengetahui adanya upaya gugatan dari seseorang yang menuding dirinya melakukan tindakan curang. Dan itu dijawabnya dengan memberikan penjelasan berupa klarifikasi terhadap tuduhan tersebut kepada Mahkamah Partai. Hal itu sudah dilakukannya sejak beberapa bulan lalu. Namun karena tidak adanya bukti kuat yang diajukan proses selanjutnya pun tidak dapat dijalankan.

“Sudah kita jawab beberapa bulan lalu. Tidak ada bukti yang menguatkan sehingga tida bisa diteruskan. Jadi bisa saja Mahkamah mengabaikannya,” ujar Guntur, Rabu (29/10).

Dirinya pun mengatakan surat dari Mahkamah Partai itu merupakan konsumsi internal partai, sehingga ia tidak mengomentari perihal ditemukannya fotokopi surat dari lembaga pengadil di internal partai berlambang mercy itu. Seharusnya surat penting seperti itu diserahkan kepada kedua pihak, pemohon dan termohon serta diberikan kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat sebagai alas hukum untuk menindak lanjuti putusan.

“Itu internal, bukan seperti putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, setelah ada putusan (Mahkamah Partai), masih harus ditindaklanjuti partai yaitu DPP dan harus dilihat secara objektif,” sebutnya. (bal/sam/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/