SUMUTPOS.CO – Aroma skenario memecah belah partai-partai oposisi oleh pemerintah makin menguat. Kecurigaan itu diungkapkan oleh Politisi Demokrat Farhan Effendy. Dia mengaku khawatir dengan langkah politik yang diduga ujungnya akan membentuk pemerintahan otoriter.
Hal tersebut terlihat dari pecahnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan yang saat ini dengan munculnya kisruh di Partai Golkar. “Saya mencurigai ada semacam ‘operasi’ memecah semua parpol yang sedang beroposisi. Jika ini benar, saya kira fenomena politik dan kekuasaan ini sudah mengarah pada lonceng kematian demokrasi,” ujar Farhan di Gedung DPR, Senayan, (27/11).
Sikap itu, menurut Farhan, bisa mengakibatkan kemunduran demokrasi, jika cara-cara ini dijadikan strategi politik pemerintah dalam menciptakan situasi politik yang diinginkannya. “Tanda-tanda lampu kuning bagi demokrasi sudah menyala, dan hal ini tentu akan direspon secara kritis oleh rakyat,” ujarnya.
Watak-watak otoriter, lanjut Farhan, juga mulai terlihat muncul. Hal itu terlihat dari kebijakan dan langkah menteri-menterinya yang menjurus kepada upaya mematikan demokrasi. “Belum selesai kontroversi kebijakan Menkumham terhadap kericuhan dan perpecahan PPP, kini Menkopolhukam membuat statement yang tidak waras, yakni melarang Golkar melakukan munas di Bali,” tegasnya.
Gejala ini, kata Farhan, adalah kecenderungan para pejabat dan penguasa yang suka menggunakan kekuasaanya untuk tampil menindas, mengebiri dan mengarahkan semua unsur masyarakat sesuai dengan kehendak dan kepentinganya.
“Apalagi latar belakang presiden dan ara menterinya kebanyakan bukan pejuang demokrasi dan pembela rakyat. Mereka kurang paham dan sensitif dalam memaknai keberadaan demokrasi,” ujar Sekretaris DPP Partai Demokrat ini.
Hal senada diungkapkan Sekertaris Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo. Menurutnya, permintaan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno ke Polri itu justru menjadi bukti bahwa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) hendak mencampuri urusan internal Partai Golkar.
“Pernyataan Menko Polhukam yang meminta Polri agar tidak memberikan izin Munas IX Golkar di Bali 30 November mendatang semakin mengonfirmasi campur tangan dan intervensi kekuasaan terhadap rumah tangga Partai Golkar. Itu sudah offside,” ujar politisi yang akrab disapa Bamsoet itu.
Wakil Bendahara Umum Golkar itu menambahkan, larangan dari Menko Polhukam itu jelas menjadi preseden buruk bagi demokrasi di tanah air. Karenanya, Bamsoet tak mau partainya direcoki oleh kekuatan luar yang mematahkan praktik demokrasi.
“Kader Partai Golkar dan seluruh elemen masyarakat tentu tidak akan tinggal diam terhadap tindakan represif dan penyalahgunaan wewenang itu. Kami prihatin sekaligus menyesalkan sikap pemerintah yang sangat politis itu,” pungkasnya.
Sebelumnya, Tedjo meminta kepolisian tidak menerbitkan izin untuk penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) IX Golkar di Bali pada 30 November hingga 3 Desember 2014 yang akan datang. Alasannya, situasi panas di internal Golkar dikhawatirkan berpotensi memicu kericuhan yang membuat Bali tak kondusif.
“Untuk menghindari potensi kerusuhan yang lebih besar saat munas diselenggarakan di Bali, yang menghadirkan lebih banyak kader Partai Golkar dari DPD 1 dan DPD 2 seluruh Indonesia, maka jajaran Polri diminta tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan Munas ke IX Partai Golkar tanggal 30 November- 3 Desember 2014 di Bali,” ujar Tedjo melalui keterangan persnya. (dms/jpnn/tom)