29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bisa Serah Terimakan Jabatan Komandan Koboi

DAHLAN ISKAN
DAHLAN ISKAN

Saya memang lagi menjalani sopan santun politik ini: pejabat yang baru lengser sebaiknya jangan banyak bicara. Terutama mengenai penggantinya. Apalagi terus mengkritik penerusnya. Jangan juga banyak tampil seperti menyesal menjadi orang yang tidak terpakai. Khusus untuk saya ditambah dua lagi: jangan nonton TV dan jangan menulis di media. Puasa total. Ngebleng.

“Sampai kapan?” tanya beberapa teman. Jawaban saya biasanya tidak serius: “Sampai masa idahnya selesai.”

Puasa berkomentar rasanya akan saya jalani untuk waktu yang sangat lama. Memang para wartawan sangat penasaran ingin tahu komentar saya. Terutama soal jagoan lama saya Pak Vu Van Kui, eh Pak Dwi Sutjipto yang jadi Dirut Pertamina, soal Pak Sofyan Basir yang dulu pun sudah saya usulkan menjadi Dirut PLN, soal Petral yang dulu juga saya usulkan untuk dibubarkan, soal melemahnya rupiah, soal gedung BUMN yang mau diapakan gitu. Dan banyak lagi. Semuanya tidak ada yang saya jawab. Saya jelaskan kepada mereka soal sopan santun tadi. Para wartawan mafhum. Saya tidak dikejar-kejar lagi.

Puasa nonton TV juga bisa saya lakukan dengan sukses. Toh dulunya tidak sempat juga. Untuk tidak sering-sering tampil juga kuat. Meski permintaan berbicara di kampus-kampus terus menumpuk.

Tapi, yang satu ini saya tidak bisa menolak: tampil di Mata Najwa. Apalagi disandingkan dengan Bu Susi Pudjiastuti, menteri kelautan dan perikanan yang heboh itu. Kebetulan Najwa Shihab, anchor acara Metro TV Mata Najwa itu, juga memberinya gelar menteri koboi.

Saya ingin ketemu beliau. Saya ingin bisik-bisik dengan Bu Susi di luar acara syuting: bagaimana beliau bisa berani menghadapi beking-beking yang amat kuat di belakang illegal fishing itu. Saya membayangkan betapa beratnya beban beliau. Bu Susi lantas bercerita panjang lebar di seputar hal-hal yang menyeramkan itu. Termasuk cara-cara merayu dan menundukkan mereka. Dan ternyata tidak perlu sambil bisik-bisik. Soalnya kami hanya berdua. Nada bicaranya seperti biasa: meledak-ledak. Dengan campuran Inggris. Sesekali tawanya meledak, dan seperti biasa pula, sambil memukuli bahu saya. Saya harus mengakui beliau lebih hebat dari saya. Karena itu, di depan Najwa, saat istirahat syuting acara di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh itu, kepada Najwa saya laporkan dengan gembira: sekarang saatnya jabatan komandan koboi yang dulu Anda berikan kepada saya, saya serah terimakan ke Bu Susi. Lagi-lagi beliau tertawa ngakak sambil mukuli pundak saya.

‘Puasa’ yang lain adalah ini: saya ‘puasa’ untuk mencari tahu ada perkembangan apa di pemerintahan. Termasuk perkembangan di BUMN. Saya tidak pernah menelepon, SMS, atau e-mail teman-teman di kementerian maupun di korporasi. Tentu kangennya luar biasa. Selama ini saya merasa begitu akrab dengan mereka. Pejabat di Kementerian BUMN maupun direksi di BUMN. Tidak mengontak mereka itu rasanya seperti ‘jihad’ tersendiri. Dan alhamdulillah bisa.

Untuk tidak berkomentar dan yang lain-lain tadi rasanya bisa saya jalani dengan mulus, semulus rasa kopi solong. Tapi puasa menulis? Huh! Tidak tahan! Sakit. Sakitnya tuh di sini: di jempol ibu jari. Sudah lebih 30 tahun saya kecanduan menulis. Sebagai penulis maupun sebagai wartawan. Tiba-tiba harus berhenti menulis. Sakit. Sakit. Dan gatal. Jari-jari ini gatal untuk tidak menulis. Apalagi kalau ketemu bahan yang bagus yang sangat bermanfaat kalau ditulis. Seperti pengalaman saya 11 Desember lalu. Maka, saya akan akhiri saja puasa menulis ini. Saya anggap masa idahnya sudah lewat. Khusus untuk urusan menulis yang satu ini: minggu depan.

 

Catatan: ‘Sakitnya di jempol’ karena sudah dua tahun ini saya menulis naskah tidak lagi dengan jari-jari di laptop, tapi hanya dengan satu jempol di smartphone. Mula-mula dengan BlackBerry. Lalu mulai belajar menggunakan layar sentuh. Sulit sekali pindah ke layar sentuh. Apalagi, saya tetap ingin hanya menyentuh dengan satu ibu jari tangan kiri. Terlalu banyak salah huruf. Selama tiga bulan ‘puasa’ menulis, saya manfaatkan untuk belajar membiasakan diri pindah ke layar sentuh iPhone. Lama-lama kesalahan berkurang dan inilah naskah pertama yang saya tulis dengan satu ibu jari di layar sentuh iPhone.(*)

DAHLAN ISKAN
DAHLAN ISKAN

Saya memang lagi menjalani sopan santun politik ini: pejabat yang baru lengser sebaiknya jangan banyak bicara. Terutama mengenai penggantinya. Apalagi terus mengkritik penerusnya. Jangan juga banyak tampil seperti menyesal menjadi orang yang tidak terpakai. Khusus untuk saya ditambah dua lagi: jangan nonton TV dan jangan menulis di media. Puasa total. Ngebleng.

“Sampai kapan?” tanya beberapa teman. Jawaban saya biasanya tidak serius: “Sampai masa idahnya selesai.”

Puasa berkomentar rasanya akan saya jalani untuk waktu yang sangat lama. Memang para wartawan sangat penasaran ingin tahu komentar saya. Terutama soal jagoan lama saya Pak Vu Van Kui, eh Pak Dwi Sutjipto yang jadi Dirut Pertamina, soal Pak Sofyan Basir yang dulu pun sudah saya usulkan menjadi Dirut PLN, soal Petral yang dulu juga saya usulkan untuk dibubarkan, soal melemahnya rupiah, soal gedung BUMN yang mau diapakan gitu. Dan banyak lagi. Semuanya tidak ada yang saya jawab. Saya jelaskan kepada mereka soal sopan santun tadi. Para wartawan mafhum. Saya tidak dikejar-kejar lagi.

Puasa nonton TV juga bisa saya lakukan dengan sukses. Toh dulunya tidak sempat juga. Untuk tidak sering-sering tampil juga kuat. Meski permintaan berbicara di kampus-kampus terus menumpuk.

Tapi, yang satu ini saya tidak bisa menolak: tampil di Mata Najwa. Apalagi disandingkan dengan Bu Susi Pudjiastuti, menteri kelautan dan perikanan yang heboh itu. Kebetulan Najwa Shihab, anchor acara Metro TV Mata Najwa itu, juga memberinya gelar menteri koboi.

Saya ingin ketemu beliau. Saya ingin bisik-bisik dengan Bu Susi di luar acara syuting: bagaimana beliau bisa berani menghadapi beking-beking yang amat kuat di belakang illegal fishing itu. Saya membayangkan betapa beratnya beban beliau. Bu Susi lantas bercerita panjang lebar di seputar hal-hal yang menyeramkan itu. Termasuk cara-cara merayu dan menundukkan mereka. Dan ternyata tidak perlu sambil bisik-bisik. Soalnya kami hanya berdua. Nada bicaranya seperti biasa: meledak-ledak. Dengan campuran Inggris. Sesekali tawanya meledak, dan seperti biasa pula, sambil memukuli bahu saya. Saya harus mengakui beliau lebih hebat dari saya. Karena itu, di depan Najwa, saat istirahat syuting acara di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh itu, kepada Najwa saya laporkan dengan gembira: sekarang saatnya jabatan komandan koboi yang dulu Anda berikan kepada saya, saya serah terimakan ke Bu Susi. Lagi-lagi beliau tertawa ngakak sambil mukuli pundak saya.

‘Puasa’ yang lain adalah ini: saya ‘puasa’ untuk mencari tahu ada perkembangan apa di pemerintahan. Termasuk perkembangan di BUMN. Saya tidak pernah menelepon, SMS, atau e-mail teman-teman di kementerian maupun di korporasi. Tentu kangennya luar biasa. Selama ini saya merasa begitu akrab dengan mereka. Pejabat di Kementerian BUMN maupun direksi di BUMN. Tidak mengontak mereka itu rasanya seperti ‘jihad’ tersendiri. Dan alhamdulillah bisa.

Untuk tidak berkomentar dan yang lain-lain tadi rasanya bisa saya jalani dengan mulus, semulus rasa kopi solong. Tapi puasa menulis? Huh! Tidak tahan! Sakit. Sakitnya tuh di sini: di jempol ibu jari. Sudah lebih 30 tahun saya kecanduan menulis. Sebagai penulis maupun sebagai wartawan. Tiba-tiba harus berhenti menulis. Sakit. Sakit. Dan gatal. Jari-jari ini gatal untuk tidak menulis. Apalagi kalau ketemu bahan yang bagus yang sangat bermanfaat kalau ditulis. Seperti pengalaman saya 11 Desember lalu. Maka, saya akan akhiri saja puasa menulis ini. Saya anggap masa idahnya sudah lewat. Khusus untuk urusan menulis yang satu ini: minggu depan.

 

Catatan: ‘Sakitnya di jempol’ karena sudah dua tahun ini saya menulis naskah tidak lagi dengan jari-jari di laptop, tapi hanya dengan satu jempol di smartphone. Mula-mula dengan BlackBerry. Lalu mulai belajar menggunakan layar sentuh. Sulit sekali pindah ke layar sentuh. Apalagi, saya tetap ingin hanya menyentuh dengan satu ibu jari tangan kiri. Terlalu banyak salah huruf. Selama tiga bulan ‘puasa’ menulis, saya manfaatkan untuk belajar membiasakan diri pindah ke layar sentuh iPhone. Lama-lama kesalahan berkurang dan inilah naskah pertama yang saya tulis dengan satu ibu jari di layar sentuh iPhone.(*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/