SUMUTPOS.CO – ‘Perang’ antara PDIP dengan orang-orang Ring-1 Jokowi semakin terbuka. Politikus PDIP menuding ada orang yang sengaja menghalau jalur komunikasi dengan Presiden Jokowi. Orang-orang tersebut berada di ring-1 Istana, yaitu Sekretariat Kabinet, Kementerian Sekretariat Negara, dan Kantor Staf Kepresidenan. Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan dituding salah satu biang keroknya.
“Mereka itu ‘Brutus-Brutus’ yang akan menghancurkan Jokowi,” kata politikus PDIP Masinton Pasaribu dalam diskusi “100 Hari Jokowi, Masihkah Menjadi Petugas Partai?” di RM Horapa, Jakarta Pusat, Jumat (30/1/2015).
Anggota Komisi III DPR itu merujuk pada tokoh sejarah Marcus Junius Brutus, salah seorang di balik konspirasi pembunuhan Julius Cesar, kaisar Romawi Kuno.
Masinton sendiri enggan menyebutkan langsung nama pejabat di tiga tempat tersebut. Alasannya, tak etis membeberkan nama. Akan tetapi, ia memastikan tiga orang yang menjadi penghalang komunikasi bukanlah kader partai berlambang kepala banteng tersebut.
Tiga lembaga tersebut memang diketuai orang dari luar PDIP. Jokowi menempatkan politikus Golkar, Luhut Binsar Panjaitan, sebagai Kepala Staf Presiden, dosen Universitas Gadjah Mada Pratikno sebagai Menteri Sekretaris Negara, dan dosen Universitas Indonesia Andi Widjajanto sebagai Sekretaris Kabinet.
“Pesan yang dikirim PDIP untuk Jokowi lebih dari satu minggu baru sampai,” kata Masinton.
Orang-orang di sekitar Jokowi tersebut dinilai sengaja menjauhkan jangkauan dan pengaruh PDIP dari Istana. Masinton menilai sikap tersebut akan membuat Jokowi menjadi lemah dan rentan.
Tak hanya PDIP, tiga lembaga tersebut juga dituding sengaja menjauhkan komunikasi Jokowi dengan partai koalisi. Jokowi menjadi tanpa dukungan politik saat menghadapi segala masalah dan mengambil keputusan.
Atas alasan ini juga, menurut Masinton, tak mungkin PDIP atau partai koalisi memberikan tekanan kepada Jokowi. Justru orang di ring-1 yang memberikan tekanan sehingga Jokowi semakin bingung dalam mengambil keputusan.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menampik tudingan bahwa ada orang Istana yang memutus jalur komunikasi antara Presiden Jokowi dan partai penyokong utamanya, PDIP.
Menurut Pratikno, tugas pembantu Jokowi di lingkungan Istana hanya melaksanakan perintah sang Presiden.
“Tak bisa kami menyampaikan Pak Presiden, jangan terima yang ini atau yang itu,” kata Pratikno di Istana Negara, Jumat (30/1).
Pratikno mengatakan tugasnya hanya mengurusi administrasi, termasuk mengatur jadwal pertemuan Jokowi dengan tamu. “Kalau Jokowi mau menjadwalkan, ya, kami jadwalkan,” katanya.
Terkait banyaknya kader banteng yang kini menyerang Jokowi, Plt Sekjen PDIP Hasto Kristianto mengatakan partainya akan menertibkan kader-kader yang tak sejalan dengan garis partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini.
“Akan kami tertibkan mereka yang mengambil sikap di luar garis kebijakan partai,” ujar Hasto di rumah Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Jumat (30/1).
Sebaliknya, pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menyebutkan, posisi Jokowi yang bukan jajaran elite partai politik dia nilai cukup menguntungkan. Jokowi bisa saja mencari dukungan dari partai politik lain saat merasa tak nyaman dengan partai politik pengusungnya.
Bahkan akan lebih baik lagi jika Jokowi keluar dari PDIP seperti yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Ahok.
“Saya lebih setuju Jokowi meniru Ahok, keluar partai dengan alasan agar lebih fokus mengerjakan tugasnya sebagai Presiden,” kata Hendri, Jumat (30/1),
Ahok sebelumnya adalah kader Gerindra yang keluar karena tak sepakat pada Gerindra yang mendukung Pilkada melalui DPRD. Meksi jadi pejabat tak berpartai, posisi Ahok sampai saat ini masih relatif aman meski kerap dikritik keras oleh DPRD.
Pada Kamis (29/1), Presiden RI ke-7 ini menyempatkan diri bertemu Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra yang merupakan bagian dari koalisi opisisi. Padahal Jokowi jadi presiden diusung oleh PDIP, NasDem, Hanura dan PKB yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat.
“Jokowi bukan elite partai dan bisa kemana saja, ini langkah pragmatis daripada dia buat partai politik baru,” kata Hendri.
Merapat ke Koalisi Merah Putih (KMP), menurut Hendri, akan mendatangkan keuntungan tersendiri bagi Jokowi. Pasalnya saat ini kekuatan KMP dominan di DPR. Hal ini jika dipadukan dengan kewenangan Jokowi sebagai presiden, menurut Hendri tentu akan sulit digoyang.
Pertemuan dengan Prabowo kemarin dinilai adalah langkah kontroversial Jokowi. Apalagi Prabowo diketahui adalah rival Jokowi saat Pilpres lalu. Pertemuan di Bogor tersebut adalah pertemua kedua pasca Pilpres 2014.
Meski tak yakin akan merapat ke KMP dalam waktu dekat, pertemuan dengan KMP jadi menurut Hendri jadi sinyal bahwa Jokowi juga bisa meraih dukungan dari kelompok lain selain dari KIH.
Pada hari yang sama kemarin, Jokowi juga bertemu dengan Presiden RI ke-3 BJ Habibie. Sebelumnya Jokowi juga pernah bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Hendri, jika suhu politik tak juga turun, dalam waktu dekat ada kemungkinan Jokowi bakal kembali bertemu dengan SBY.
Komunikasi politik dengan pihak lain memang harus terus dibangun oleh Jokowi saat ia tak merasa nyaman dengan yang terjadi saat ini. Jokowi, menurut Hendri, harus secepatnya menghentikan kegaduhan politik dan fokus mewujudkan janji kampanyenya.
Sudah 100 hari memimpin, namun Hendri menilai belum terlihat kerja nyata Jokowi selain kegaduhan politik. Jika kondisi saat ini tak segera diatasi, Hendri khawatir prediksi Jokowi tak sampai dua tahun memimpin bakal terjadi.
Seusai pertemuan Jokowi dengan Prabowo di Istana Bogor, Kamis (29/1), elite partai yang tergabung dalam KMP langsung bertemu di Bakrie Tower, Kuningan Jakarta. Mereka yang hadir dalam pertemuan itu adalah Prabowo, Fadli Zon, Suryadharma Ali, Aburizal Bakrie, Anis Matta, dan Fahri Hamzah.
Saat ditanya apakah KMP bersedia menampung Jokowi jika KIH menarik dukungan, Fadli belum mau bicara banyak. Ia hanya berkata, demi kepentingan bangsa KMP siap melakukan apa saja. (bbs/val)