26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sempat Bingung Memilih Keluarga dan Karir

Terlahir dari keluarga yang kurang berada, anak ke-2 dari 7 bersaudara ini terus berusaha agar dapat bersekolah. Bahkan sejak SMA hingga kuliah, dirinya mengajar private ke rumah-rumah untuk dapat membayar uang sekolah dan juga kuliahnya. “Kami bukan dari keluarga berada dan banyak bersaudara, makanya untuk membiyai uang sekolah harus bekerja,” kata Elli Tjan, Peneliti Ekonomi Madya Bank Indonesia Regional Medan-NAD mengenang.

Tamat dengan gelar Sarjan Hukum dari USU, Elli mencoba melamar ke Bank Indonesia yang memiliki cabang di Medan. Setelah 1 tahun berkutat dengan pendidikan yang diberikan BI, tepatnya pada Juni 1995 akhirnya Elli diangkat menjadi staf dan ditempatkan di Medan.

Seiring berjalannya waktu, wanita kelahiran Medan akhirnya menikah. “Sebelum menikah, saya dan suami berkomitmen agar saya tetap bekerja, karena kewajiban saya yang harus membantu ekonomi ibu saya,” lanjut Elli.
Namun, tahun 1999 BI memindahkan Elli ke Jakarta. Padahal, Elli pada tahun itu sudah memiliki dua anak dari hasil perkawinannya. Melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Elli berangkat ke Jakarta seorang diri. “Sebagai ibu dari anak-anak, perasaan saya sangat berkecamuk karena harus meninggalkan suami dan dua anak saya. Padahal anak saya yang bungsu saat itu baru berusia 20 bulan dan masih minum ASI. Ini sebuah pilihan yang sulit ketika itu. Saya bingung  waktu itu, pilih karir atau keluarga,” kata Elli bercerita.

Hidup sendiri di Jakarta membuat Elli berkeinginan memboyong anak-anaknya ke Jakarta. Tetapi apa daya, sang suami yang berprofesi sebagai lawyer (pengacara) melarang Elli membawa buah hati mereka. “Saya sangat tertekan saat itu. Semua persiapan telah saya siapkan buat anak-anak saya nantinya di Jakarta, tetapi semuanya hancur,” ucapnya.

Dan pada titik inilah, Elli menyadari resiko dari pilihannya dan ini menjadi cambuk baginya untuk tetap bertahan dan menyakini semua masalah ini pasti dapat diselesaikannya. “Bagi seorang ibu, sangat berat berpisah dengan anak, ini bukan pekerjaan yang mudah,” lanjutnya.
Dengan tidak menyesali pilihan untuk karirnya, Elli tetap bertahan dengan pekerjaannya di BI, bahkan atasannya terkesan dengan hasil kerja Elli yang tetap konsisten walau sedang diterpa masalah keluarga. “Saya sudah memilih, karena itu saya tidak mau menyesali pilihan saya dan saya akan manfaatkan pilihan saya sebisa mungkin hingga akhirnya mampu saya atasi,”ujar Elli.
Seiring berjalannya waktu juga, Elli kembali tertantang untuk mengejar karirnya. Ia berkeinginan bersekolah keluar negeri, apalagi saat itu BI memberikan kesempatan untuknya menimba S2 di negeri Belanda. Namun keinginan tersebut tentu saja harus seizin suaminya.

Sebagai pilihan terbaik, akhirnya Elli mengambil S2 di USU. Pada saat inilah, ujian antara keluarga, kerja dan kuliah menjadi satu. Ya, Elli harus berperan ganda sebagai ibu dan istri, juga sebagai wanita karir. “Tapi saya kembali ke prinsip, semua masalah pasti ada solusinya,” ucap wanita kehiran 6 Desember 1968 ini.

Tak ayal, waktunya banyak tersita untuk kuliah. Sebab, jika hari Sabtu-Minggu biasanya ia menghabiskan waktu bersama keluarga, tapi harus digunakan untuk menyelesaikan tugas kuliah. “Saya sadar dan pahami bahwa saya telah merebut waktu saya untuk anak-anak saya,” paparnya.

Sebagai wanita karir yang memiliki posisi di tempat kerjanya, Elli menyadari ia adalah seorang wanita yang harus menjaga prilaku dan tatakrama di depan rekan kerja dan anaknya. Walaupun sebagai seorang bos, Elli tetap seorang wanita yang terkadang bertindak dengan hati. “Saya tahu anak-anak bekerja di bawah tekanan, karena itu setelah pekerjaan selesai, biasanya akan melakukan sharing dan makan kumpul bareng para rekan kerja. Saya juga tidak memaksakan agar rekan kerja tidak lembur, karena saya paham mereka juga memiliki keluarga,” ucapnya.

Bekerja di BI merupakan sebuah kebanggaan baginya. Secara logika, dengan kondisi suami yang bekerja sebagai pengacara, Elli tidak akan kekurangan bila ia hanya ibu rumah tangga di rumah saja. “Bekerja bagi saya bukan hanya mencari uang, tetapi juga untuk eksistensi diri dan mengembangkan ilmu yang telah saya peroleh,” ujarnya.
Karena itu, konsekwensi sebagai wanita karier dan juga seorang wanita diterima dengan lapang dada. “Walaupun saya capek sesudah pulang kerja, tapi saya tetap mengajak anak-anak saya naik sepeda keliling komplek. Sebab, si bungsu (anak ketiga) sangat senang naik sepeda,” bilangnya.

Baginya, sebagai seorang istri, ibu dan wanita karier merupakan kebanggaan dan kehormatan. Karena itu, semuanya akan dijaga untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga dan orang lain. “Terima pilihan, jangan menunda-nunda pekerjaan dan menyadari kodrat, maka akan lebih mudah untuk berjalan sebagai wanita karier,” pungkasnya tersenyum. (juli ramadhani rambe)

Terlahir dari keluarga yang kurang berada, anak ke-2 dari 7 bersaudara ini terus berusaha agar dapat bersekolah. Bahkan sejak SMA hingga kuliah, dirinya mengajar private ke rumah-rumah untuk dapat membayar uang sekolah dan juga kuliahnya. “Kami bukan dari keluarga berada dan banyak bersaudara, makanya untuk membiyai uang sekolah harus bekerja,” kata Elli Tjan, Peneliti Ekonomi Madya Bank Indonesia Regional Medan-NAD mengenang.

Tamat dengan gelar Sarjan Hukum dari USU, Elli mencoba melamar ke Bank Indonesia yang memiliki cabang di Medan. Setelah 1 tahun berkutat dengan pendidikan yang diberikan BI, tepatnya pada Juni 1995 akhirnya Elli diangkat menjadi staf dan ditempatkan di Medan.

Seiring berjalannya waktu, wanita kelahiran Medan akhirnya menikah. “Sebelum menikah, saya dan suami berkomitmen agar saya tetap bekerja, karena kewajiban saya yang harus membantu ekonomi ibu saya,” lanjut Elli.
Namun, tahun 1999 BI memindahkan Elli ke Jakarta. Padahal, Elli pada tahun itu sudah memiliki dua anak dari hasil perkawinannya. Melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Elli berangkat ke Jakarta seorang diri. “Sebagai ibu dari anak-anak, perasaan saya sangat berkecamuk karena harus meninggalkan suami dan dua anak saya. Padahal anak saya yang bungsu saat itu baru berusia 20 bulan dan masih minum ASI. Ini sebuah pilihan yang sulit ketika itu. Saya bingung  waktu itu, pilih karir atau keluarga,” kata Elli bercerita.

Hidup sendiri di Jakarta membuat Elli berkeinginan memboyong anak-anaknya ke Jakarta. Tetapi apa daya, sang suami yang berprofesi sebagai lawyer (pengacara) melarang Elli membawa buah hati mereka. “Saya sangat tertekan saat itu. Semua persiapan telah saya siapkan buat anak-anak saya nantinya di Jakarta, tetapi semuanya hancur,” ucapnya.

Dan pada titik inilah, Elli menyadari resiko dari pilihannya dan ini menjadi cambuk baginya untuk tetap bertahan dan menyakini semua masalah ini pasti dapat diselesaikannya. “Bagi seorang ibu, sangat berat berpisah dengan anak, ini bukan pekerjaan yang mudah,” lanjutnya.
Dengan tidak menyesali pilihan untuk karirnya, Elli tetap bertahan dengan pekerjaannya di BI, bahkan atasannya terkesan dengan hasil kerja Elli yang tetap konsisten walau sedang diterpa masalah keluarga. “Saya sudah memilih, karena itu saya tidak mau menyesali pilihan saya dan saya akan manfaatkan pilihan saya sebisa mungkin hingga akhirnya mampu saya atasi,”ujar Elli.
Seiring berjalannya waktu juga, Elli kembali tertantang untuk mengejar karirnya. Ia berkeinginan bersekolah keluar negeri, apalagi saat itu BI memberikan kesempatan untuknya menimba S2 di negeri Belanda. Namun keinginan tersebut tentu saja harus seizin suaminya.

Sebagai pilihan terbaik, akhirnya Elli mengambil S2 di USU. Pada saat inilah, ujian antara keluarga, kerja dan kuliah menjadi satu. Ya, Elli harus berperan ganda sebagai ibu dan istri, juga sebagai wanita karir. “Tapi saya kembali ke prinsip, semua masalah pasti ada solusinya,” ucap wanita kehiran 6 Desember 1968 ini.

Tak ayal, waktunya banyak tersita untuk kuliah. Sebab, jika hari Sabtu-Minggu biasanya ia menghabiskan waktu bersama keluarga, tapi harus digunakan untuk menyelesaikan tugas kuliah. “Saya sadar dan pahami bahwa saya telah merebut waktu saya untuk anak-anak saya,” paparnya.

Sebagai wanita karir yang memiliki posisi di tempat kerjanya, Elli menyadari ia adalah seorang wanita yang harus menjaga prilaku dan tatakrama di depan rekan kerja dan anaknya. Walaupun sebagai seorang bos, Elli tetap seorang wanita yang terkadang bertindak dengan hati. “Saya tahu anak-anak bekerja di bawah tekanan, karena itu setelah pekerjaan selesai, biasanya akan melakukan sharing dan makan kumpul bareng para rekan kerja. Saya juga tidak memaksakan agar rekan kerja tidak lembur, karena saya paham mereka juga memiliki keluarga,” ucapnya.

Bekerja di BI merupakan sebuah kebanggaan baginya. Secara logika, dengan kondisi suami yang bekerja sebagai pengacara, Elli tidak akan kekurangan bila ia hanya ibu rumah tangga di rumah saja. “Bekerja bagi saya bukan hanya mencari uang, tetapi juga untuk eksistensi diri dan mengembangkan ilmu yang telah saya peroleh,” ujarnya.
Karena itu, konsekwensi sebagai wanita karier dan juga seorang wanita diterima dengan lapang dada. “Walaupun saya capek sesudah pulang kerja, tapi saya tetap mengajak anak-anak saya naik sepeda keliling komplek. Sebab, si bungsu (anak ketiga) sangat senang naik sepeda,” bilangnya.

Baginya, sebagai seorang istri, ibu dan wanita karier merupakan kebanggaan dan kehormatan. Karena itu, semuanya akan dijaga untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga dan orang lain. “Terima pilihan, jangan menunda-nunda pekerjaan dan menyadari kodrat, maka akan lebih mudah untuk berjalan sebagai wanita karier,” pungkasnya tersenyum. (juli ramadhani rambe)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/