27 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Kombinasi Seni dan Sains

Jaya Arjuna

Kenyataan pahit yang ada tak menghentikan Jaya Arjuna (58) menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan. Hal itu pula yang disuarakan melalui dunia sains dan seni sejak puluhan tahun silam.

Ditemui di kediamannya Jalan Utama No 216 Medan, Jaya Arjuna terlihat bersahaja. Hanya mengenakan kain sarung dan kostum salah satu tim sepak bola ternama. Membalut pemikiran dan visi tidak biasa yang tertangkap dari obrolan santai berteman secangkir teh manis panas yang disajikan.

“Bayangkan untuk satu hektar sawit itu membutuhkan 27 ton pupuk selama pembuahan. Bila sudah tidak berbuah lagi, harus menggunakan racun untuk mematikannya. Sayang pemerintah tidak menyadari ini dan seolah membiarkan. Kalau tidak ditangani bisa hancur tanah di Sumut ini,” ketus dosen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara (USU) ini.

Tidak cuma kritik, kepedulian terhadap lingkungan ditunjukkan saat menjabat Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan Korps Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Sumatera Utara (Kompas USU). Saat menjadi dosen Jaya Arjuna pun mengusulkan kurikulum lingkungan di Teknik Mesin USU dimana dirinya memberi kuliah Satuan Operasi, Pengolahan Hasil Perkebunan, dan Produksi Bersih. Menindaklanjuti pertemuan akademisi bidang tehnik se-Asia di Australia 1982.

“Sebenarnya sumber pencemaran lingkungan itu, ya, bidang tehnik. Sekalipun yang terbesar tehnik industri dengan kompleksitas polusi yang disebabkan. Padahal ISO18000 itu sudah jelas bagaimana tiga konsep utama industri. Hemat bahan baku, hemat energi, dan tidak menggunakan bahan beracun. Tapi seperti kurikulum tadi yang hanya menjadi kuliah pilihan, kebiasaan buruk itu pun terus berlanjut,” ketusnya.

Hal itu tidak membuat suami dari Dra Hj Masnun Zaini Mpsi ini berhenti. Selain aktif sebagai konsultan Amdal di perkebunan dan belakangan ini aktif di perusahaan konstruktor, bersama unsur dari partai politik, pengusaha, dan perguruan tinggi, mereka melakukan koreksi terhadap program-program pembangunan pemerintah di Pusat Pengkajian Pembangunan Regional (P3R) yang didirikan 1999 lalu.

Seperti pembangunan yang terpusat pada daratan tanpa menyentuh laut sebagai potensi terbesar dari Negara Kelautan. Begitu juga program pembangunan dari Pemerintah Kota Medan yang justru membunuh identitas sebuah bangsa. “Pembangunan tidak harus sama. Kota Medan memiliki 13 mozaik etnik yang berpotensi menjadi kontributor pembangunan. Hanya saja hal ini tidak pernah disentuh kalau tidak mau dibilang dihancurkan,” tegasnya.
Begitu pun perjalanan Jaya Arjuna tidak selalu mulus. Genderang perang yang ditabuh terhadap korupsi pernah menjadi bumerang baginya. Yang berdampak pada terhambatnya keinginan untuk melanjutkan pendidikan doktoral. Bahkan, dirinya sempat menjalani pemeriksaan oleh pihak kepolisian. Meskipun sampai saat berita ini diturunkan, tak ada kepastian akan status dirinya.

Tapi semua itu tidak menjadi jalan buntu baginya. Sains yang menjadi keahlian digabung dengan seni untuk dituangkan dalam dunia kreatif. Menggunakan sound level meter (alat pengukur suara) dari laboratorium, Jaya Arjuna menggelar lomba teriak antikorupsi di halaman DPRD Sumatera Utara 2005 lalu. Even yang pertama sekali digelar di Indonesia.

Penguasaan di bidang tehnik yang digabung dengan seni khususnya sastra menjadikan ayah dari empat anak ini keluar sebagai juara I pada festival budaya 1990 silam lewat cerita pendek berjudul ‘Kapsul’. Cerpen berlatar kejadian tsunami ini kemudian direalisasikan oleh Jepang empat tahun kemudian. Karyanya itu pun mendapat apresiasi dari Korrie Layun Rampan yang menyebut dirinya sebagai Jules Verme, seorang novelis sains-fiksi berkebangsaan Prancis.(jul)

Jaya Arjuna

Kenyataan pahit yang ada tak menghentikan Jaya Arjuna (58) menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan. Hal itu pula yang disuarakan melalui dunia sains dan seni sejak puluhan tahun silam.

Ditemui di kediamannya Jalan Utama No 216 Medan, Jaya Arjuna terlihat bersahaja. Hanya mengenakan kain sarung dan kostum salah satu tim sepak bola ternama. Membalut pemikiran dan visi tidak biasa yang tertangkap dari obrolan santai berteman secangkir teh manis panas yang disajikan.

“Bayangkan untuk satu hektar sawit itu membutuhkan 27 ton pupuk selama pembuahan. Bila sudah tidak berbuah lagi, harus menggunakan racun untuk mematikannya. Sayang pemerintah tidak menyadari ini dan seolah membiarkan. Kalau tidak ditangani bisa hancur tanah di Sumut ini,” ketus dosen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara (USU) ini.

Tidak cuma kritik, kepedulian terhadap lingkungan ditunjukkan saat menjabat Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan Korps Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Sumatera Utara (Kompas USU). Saat menjadi dosen Jaya Arjuna pun mengusulkan kurikulum lingkungan di Teknik Mesin USU dimana dirinya memberi kuliah Satuan Operasi, Pengolahan Hasil Perkebunan, dan Produksi Bersih. Menindaklanjuti pertemuan akademisi bidang tehnik se-Asia di Australia 1982.

“Sebenarnya sumber pencemaran lingkungan itu, ya, bidang tehnik. Sekalipun yang terbesar tehnik industri dengan kompleksitas polusi yang disebabkan. Padahal ISO18000 itu sudah jelas bagaimana tiga konsep utama industri. Hemat bahan baku, hemat energi, dan tidak menggunakan bahan beracun. Tapi seperti kurikulum tadi yang hanya menjadi kuliah pilihan, kebiasaan buruk itu pun terus berlanjut,” ketusnya.

Hal itu tidak membuat suami dari Dra Hj Masnun Zaini Mpsi ini berhenti. Selain aktif sebagai konsultan Amdal di perkebunan dan belakangan ini aktif di perusahaan konstruktor, bersama unsur dari partai politik, pengusaha, dan perguruan tinggi, mereka melakukan koreksi terhadap program-program pembangunan pemerintah di Pusat Pengkajian Pembangunan Regional (P3R) yang didirikan 1999 lalu.

Seperti pembangunan yang terpusat pada daratan tanpa menyentuh laut sebagai potensi terbesar dari Negara Kelautan. Begitu juga program pembangunan dari Pemerintah Kota Medan yang justru membunuh identitas sebuah bangsa. “Pembangunan tidak harus sama. Kota Medan memiliki 13 mozaik etnik yang berpotensi menjadi kontributor pembangunan. Hanya saja hal ini tidak pernah disentuh kalau tidak mau dibilang dihancurkan,” tegasnya.
Begitu pun perjalanan Jaya Arjuna tidak selalu mulus. Genderang perang yang ditabuh terhadap korupsi pernah menjadi bumerang baginya. Yang berdampak pada terhambatnya keinginan untuk melanjutkan pendidikan doktoral. Bahkan, dirinya sempat menjalani pemeriksaan oleh pihak kepolisian. Meskipun sampai saat berita ini diturunkan, tak ada kepastian akan status dirinya.

Tapi semua itu tidak menjadi jalan buntu baginya. Sains yang menjadi keahlian digabung dengan seni untuk dituangkan dalam dunia kreatif. Menggunakan sound level meter (alat pengukur suara) dari laboratorium, Jaya Arjuna menggelar lomba teriak antikorupsi di halaman DPRD Sumatera Utara 2005 lalu. Even yang pertama sekali digelar di Indonesia.

Penguasaan di bidang tehnik yang digabung dengan seni khususnya sastra menjadikan ayah dari empat anak ini keluar sebagai juara I pada festival budaya 1990 silam lewat cerita pendek berjudul ‘Kapsul’. Cerpen berlatar kejadian tsunami ini kemudian direalisasikan oleh Jepang empat tahun kemudian. Karyanya itu pun mendapat apresiasi dari Korrie Layun Rampan yang menyebut dirinya sebagai Jules Verme, seorang novelis sains-fiksi berkebangsaan Prancis.(jul)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/