JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sikap tegas Presiden Jokowi dalam melaksanakan eksekusi mati rupanya juga hasil dari dorongan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dalam pidatonya memperingati hari perempuan sedunia, Mega secara gamblang menyebutkan permintaan agar Presiden Jokowi tetap menjalankan hukuman terhadap narapidana yang sudah divonis mati.
Presiden Kelima itu mengatakan, permasalahan di Indonesia saat ini bukanlah hal yang remeh temeh. Apalagi, fakta bahwa narkoba juga menjadi median utama penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Hal tersebut diakui sudah menjadi dasar yang wajar terhadap putusan untuk mengeksekusi mati. “Maka itu saya bilang pada Jokowi, jangan beri grasi untuk terpidana narkotika yang sudah divonis mati,” ujarnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemarin (8/3).
Anak kedua Presiden Pertama Soekarno itu pun menyesalkan bagaimana media mengemas isu tersebut. Memang, sebagian besar media dunia mendorong pengampunan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran atas dasar kemanusiaan. Padahal, ada sisi lain yang juga harus menjadi dasar pertimbangan kemanusian.
“Harus dikemukakan korban yang ditimbulkan. Berapa banyak korban jiwa yang ada akibat narkoba. Berapa rumah tangga yang rusak karena narkoba,” imbuhnya.
Sementara itu, Perdana Menteri Australia Tony Abbott terus mengumbar pernyataan ke media. Dalam wawancara doorstop kemarin (8/3), dia menekankan poin bahwa pihaknya tak meminta pemerintah Indonesia untuk membebaskan duo Bali Nine. Dia hanya meminta agar eksekusi mati tak dilakukan.
“Kami terus berusaha untuk meyakinkan Indonesia untuk mengapresiasi keinginan kami. Mereka ada aset untuk perang melawan kejahatan obat terlarang. Jadi, kami terus berusaha meskipun kami tidak bisa memberikan harapan palsu. Saya ada dalam bisnis untuk memastikan bahwa pemerintah melakukan segala upaya dalam hal ini,” ucapnya.
Sementara itu Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Muhammad Iqbal menjelaskan, rencana eksekusi mati yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia ini seharusnya diposisikan dengan benar.
Misalnya, pada kasus Bali Nine, pemerintah selama ini tidak melarang negara lain melakukan proteksi terhadap warga negaranya. Namun, seharusnya negara lain menghormati proses hukum Indonesia. “Tentunya, semua memiliki hak membela warga negara, seperti Indonesia yang membela warganya,” paparnya.
Saat ini memang ada 229 WNI yang terancam hukuman mati, kasus terakhir adalah seorang TKW bernama Ajeng yang terlibat masalah hukum di Singapura. “sekarang sedang proses banding, kami mendampingi secara hukum sejak proses awal,” paparnya.
Dalam proses pendampingan dan membela WNI itu, Indonesia sama sekali tidak menyinggung negara lain. Dalam kasus Bali Nine ini, seharusnya pemerintah Australia juga jangan menyinggung. “Namun, ternyata sikapnya berbeda,” paparnya. (idr/boy/jpnn/rbb)