26.7 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Baju dan Celana pun Harus Dibuka

Wartawan Jawa Pos, Ilham Wancoko di Nusakambangan.
Wartawan Jawa Pos, Ilham Wancoko di Nusakambangan.

ILHAM WANCOKO, Nusakambangan

Puluhan wartawan semburat begitu mobil rombongan pengacara terpidana mati tiba di Dermaga Wijaya Pura, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat pagi (6/3). Begitu para advokat itu turun dari mobil, kilatan kamera menyambut. Moncong kamera wartawan TV ikut menyodok-nyodok ke depan wajah si pengacara. Mereka mewawancarai para pembela hukum tersebut.

Saya ikut dalam rombongan pengacara itu. Dengan demikian, saya tidak perlu turut berebut untuk meminta komentar para pengacara karena sudah mendapatkannya. Sampai di situ, kondisi masih aman-aman saja.

Suasana mulai tegang saat rombongan masuk ruang penjagaan dermaga. Sejumlah petugas dengan tegas tidak memberikan izin masuk ke Pulau Nusakambangan meski para pengacara telah menunjukkan dokumen yang diperlukan. Perdebatan sempat terjadi karena petugas tetap keukeuh melarang kami masuk.

Izin baru keluar sekitar dua jam kemudian. Itu pun setelah para pengacara mengontak ke berbagai pihak, termasuk ke Kejaksaan Agung di Jakarta. Ada delapan pengacara dan empat perwakilan Kedutaan Besar Australia yang diperbolehkan masuk. Saya menjadi satu-satunya wartawan yang lolos screening itu.

Tampak dalam rombongan adalah Ronald dkk, advokat duo Bali Nine; Utomo Karim, pengacara Raheem Abagje; dan Novarita, pembela Sylvester Obiekwe. Satu per satu mereka diperiksa superketat. Pengunjung laki-laki di bilik tersendiri, pengunjung perempuan di bilik satunya.

Begitu mereka masuk bilik, pintu ditutup. Pakaian pengunjung diperiksa dengan detail, mulai saku baju hingga saku celana tak lepas dari rambatan tangan petugas. Bila ada yang mencurigakan, petugas akan memeriksanya lebih teliti lagi dengan sejumlah pertanyaan. ”Pemeriksaannya ketat sekali,” kata salah seorang pengacara.

Petugas melarang rombongan membawa barang apa pun saat masuk. Terutama handphone (HP), kamera, dan barang-barang sensitif lainnya. Maka, barang-barang pengunjung harus dimasukkan loker yang disediakan di ruang itu.

Pemeriksaan belum berakhir. Petugas meminta pengunjung untuk mengangkat ujung celana yang dikenakan, kaus kaki dibuka dan diraba. Ikat pinggang juga diperiksa bolak-balik. ”Pemeriksaan ini sangat berbeda dengan saat eksekusi gelombang pertama Januari lalu, ya,” ujar Dimaz, salah seorang asisten pengacara.

Saya yang dikira pengacara juga tak luput dari pemeriksaan itu. Untung, saya lolos. Bahkan, handphone saya bisa masuk. Kok bias? Rupanya, petugas lupa memeriksa jaket yang saya letakkan di atas meja pemeriksaan. Padahal, di dalam jaket tersebut ada handphone-nya.

Menggunakan perahu kayu bermesin, kami lalu menyeberang ke pulau yang rimbun dengan pepohonan tersebut. Suara mesinnya memekakkan telinga. Sekitar pukul 11.00 kami menginjakkan kaki di pulau yang dipisahkan Selat Segoro Anakan itu.

Tidak lama dua mobil menjemput kami di dermaga Pulau Nusakambangan. Mobil diarahkan ke Lapas Besi, tempat dua terpidana mati Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, serta Raheem Abagje diisolasi. Satu mobil lainnya bergerak ke Lapas Batu, tempat terpidana mati Sylvester berada. Selain Lapas Besi dan Batu, di Nusakambangan terdapat Lapas Terbuka, Narkotika, Pasir putih, Kembangkuning, dan Permisan.

Tak lama keluar dari pos penjagaan dermaga, mobil kami melewati pos polisi (pospol) Nusakambangan yang dahulu merupakan Lapas Limusbuntu. Menurut cerita sang sopir, di balik pospol itu terdapat Lapangan Tembak Tunggal Panaluan. Lapangan tersebut merupakan lokasi untuk mengeksekusi lima terpidana mati gelombang pertama 18 Januari silam. Lapangan tersebut saat ini sedang direnovasi. Bisa jadi di tempat itu pula eksekusi gelombang kedua akan dilakukan.

”Ya, mungkin juga di situ. Soalnya, sekarang sedang diperbaiki,” ujar lelaki paro baya kelahiran Nusakambangan tersebut.

Begitu sampai di Lapas Besi, kami langsung menuju pintu masuk. Setelah pintu diketuk berulang-ulang, seorang petugas mengintip dari balik jendela di pintu tersebut. ”Siapa ya, ada perlu apa,” ujarnya.

Tanpa basa-basi, seorang pengacara menyebutkan bahwa kami rombongan kuasa hukum terpidana mati dan perwakilan dari Kedutaan Australia. Langsung saja, petugas membukakan pintu. Kepala Lapas Besi Yudi Suseno menyambut langsung tamunya. Lelaki berbadan tegap tersebut menyalami para tamu. Setelah itu, dia memerintah para sipir untuk memeriksa kembali para pengunjung.

”Maaf, ini sesuai aturan di sini. Barang-barang bisa dimasukkan loker atau laci khusus pengunjung,” kataYudi.

Dalam pemeriksaan kali ini, saya tidak berkutik. Handphone yang di pemeriksaan pertama bisa lolos kali ini harus dimasukkan loker yang disediakan. Juga, dompet dan alat tulis. Pemeriksaan kedua ini lebih detail dan tidak pandang bulu. Bahkan, pengunjung harus membuka baju dan celana untuk memastikan tidak ada barang yang menempel di kulit tubuh. Rambut dan bagian belakang telinga juga diraba. ”Oke, sudah bersih. Silakan keluar,” ujar petugas itu.

Begitu di luar bilik, ternyata salah seorang pengacara tampak gugup. Dia berbisik kepada saya bahwa dia membawa handphone. Akhirnya, handphone itu dititipkan ke saya. ”Kamu sudah diperiksa tho, ini bawa,” ujarnya pelan. Dengan harap-harap cemas, saya masukkan handphone itu ke saku celana.

Setelah semua klir, rombongan menuju ruang isolasi, tempat para terpidana mati tinggal. Tapi, sebelum sampai, rombongan mesti melewati dua pos penjaga di kiri dan kanan jalan. Pos itu berhadapan. Di dalamnya terdapat dua ruangan. Satu ruangan untuk petugas, ruangan yang lain (yang lebih besar) untuk ruang besuk. Nah, di situlah para pengacara bertemu klien masing-masing.

Di ruangan tersebut sudah menunggu Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Raheem Agbaje. Ketika kami datang, ketiganya tengah asyik mengobrol. Dengan tenang mereka menyalami para pembesuknya. ”Nice to meet you,” ujar Andrew sambil menjabat tangan saya. Raheem melakukan hal serupa.

Seorang sipir (petugas lapas) mengawal dan mengawasi kami selama pertemuan itu. Namun, lantaran keterbatasan tempat, akhirnya pertemuan Andrew dan Myuran dengan tim pengacaranya dipindah ke ruang pembinaan. ”Biar tidak sumpek,” ucap salah seorang sipir.

Sementara itu, saya ikut mendampingi pengacara Utomo Karim menemui Raheem. Dia pun menumpahkan unek-unek kepada pembelanya. Setelah sejam pertemuan, terjadi pergantian penjaga di pos yang kami tempati. Kondisi tersebut memungkinkan kami untuk mengabadikan pertemuan langka itu. Akhirnya, handphone (HP) yang berhasil kami bawa kami keluarkan. Secepatnya kami memotret tiga kali.

Rupanya, peristiwa tersebut menimbulkan kecurigaan petugas yang tiba-tiba masuk. HP langsung kami amankan. Namun, tidak berapa lama Raheem meminta dipotret kali terakhir. Akhirnya, dengan nekat HP kami keluarkan untuk menjepret momentum pertemuan itu. Sayang, si petugas yang berjaga di luar pos penjaga mengetahuinya. ”Bawa handphone ya?” teriaknya.

Sipir dengan pangkat lebih tinggi ikut nimbrung dan langsung meminta HP milik pengacara Raheem tersebut. Dia lalu meminta izin untuk menghapus foto-foto itu. ”Maaf, aturannya tidak boleh bawa handphone. Kami harus menghapus foto-fotonya,” tegas dia. Akhirnya, semua foto hangus di tangan sipir dan HP disimpan di loker.

Tidak berapa lama kemudian seorang petugas kembali memeriksa HP yang sudah disita itu. Dia ingin mengetahui apakah foto-foto tersebut sudah dikirim ke orang lain atau belum. ”Maaf, kalau sudah dikirim ke orang lain, tolong dihapus,” ujarnya.

Peristiwa itu membuat Kalapas Besi Yudi Suseno memanggil para pengacara. Dia menegaskan bahwa pengunjung membawa HP itu pelanggaran aturan lapas. Apalagi mengambil foto di dalamnya. ”Tolong jangan dilakukan dan bila masih ada, jangan disebarkan. Hapus,” tegasnya.

Menurut Yudi, bisa jadi foto itu bermasalah di belakang hari. ”Saya tidak ingin mengganggu, tapi juga hormati kerja kami. Kami hanya mencari makan,” ucapnya.

Dengan legawa para pengacara akhirnya meminta maaf. Hasilnya, hanya bisa foto bareng di depan Lapas Besi. Seusai pertemuan selama tiga jam itu, rombongan pengacara meninggalkan Lapas Besi dan meluncur ke Dermada Wijaya Pura kembali. (c10/c9/ari/jpnn/rbb)

Wartawan Jawa Pos, Ilham Wancoko di Nusakambangan.
Wartawan Jawa Pos, Ilham Wancoko di Nusakambangan.

ILHAM WANCOKO, Nusakambangan

Puluhan wartawan semburat begitu mobil rombongan pengacara terpidana mati tiba di Dermaga Wijaya Pura, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat pagi (6/3). Begitu para advokat itu turun dari mobil, kilatan kamera menyambut. Moncong kamera wartawan TV ikut menyodok-nyodok ke depan wajah si pengacara. Mereka mewawancarai para pembela hukum tersebut.

Saya ikut dalam rombongan pengacara itu. Dengan demikian, saya tidak perlu turut berebut untuk meminta komentar para pengacara karena sudah mendapatkannya. Sampai di situ, kondisi masih aman-aman saja.

Suasana mulai tegang saat rombongan masuk ruang penjagaan dermaga. Sejumlah petugas dengan tegas tidak memberikan izin masuk ke Pulau Nusakambangan meski para pengacara telah menunjukkan dokumen yang diperlukan. Perdebatan sempat terjadi karena petugas tetap keukeuh melarang kami masuk.

Izin baru keluar sekitar dua jam kemudian. Itu pun setelah para pengacara mengontak ke berbagai pihak, termasuk ke Kejaksaan Agung di Jakarta. Ada delapan pengacara dan empat perwakilan Kedutaan Besar Australia yang diperbolehkan masuk. Saya menjadi satu-satunya wartawan yang lolos screening itu.

Tampak dalam rombongan adalah Ronald dkk, advokat duo Bali Nine; Utomo Karim, pengacara Raheem Abagje; dan Novarita, pembela Sylvester Obiekwe. Satu per satu mereka diperiksa superketat. Pengunjung laki-laki di bilik tersendiri, pengunjung perempuan di bilik satunya.

Begitu mereka masuk bilik, pintu ditutup. Pakaian pengunjung diperiksa dengan detail, mulai saku baju hingga saku celana tak lepas dari rambatan tangan petugas. Bila ada yang mencurigakan, petugas akan memeriksanya lebih teliti lagi dengan sejumlah pertanyaan. ”Pemeriksaannya ketat sekali,” kata salah seorang pengacara.

Petugas melarang rombongan membawa barang apa pun saat masuk. Terutama handphone (HP), kamera, dan barang-barang sensitif lainnya. Maka, barang-barang pengunjung harus dimasukkan loker yang disediakan di ruang itu.

Pemeriksaan belum berakhir. Petugas meminta pengunjung untuk mengangkat ujung celana yang dikenakan, kaus kaki dibuka dan diraba. Ikat pinggang juga diperiksa bolak-balik. ”Pemeriksaan ini sangat berbeda dengan saat eksekusi gelombang pertama Januari lalu, ya,” ujar Dimaz, salah seorang asisten pengacara.

Saya yang dikira pengacara juga tak luput dari pemeriksaan itu. Untung, saya lolos. Bahkan, handphone saya bisa masuk. Kok bias? Rupanya, petugas lupa memeriksa jaket yang saya letakkan di atas meja pemeriksaan. Padahal, di dalam jaket tersebut ada handphone-nya.

Menggunakan perahu kayu bermesin, kami lalu menyeberang ke pulau yang rimbun dengan pepohonan tersebut. Suara mesinnya memekakkan telinga. Sekitar pukul 11.00 kami menginjakkan kaki di pulau yang dipisahkan Selat Segoro Anakan itu.

Tidak lama dua mobil menjemput kami di dermaga Pulau Nusakambangan. Mobil diarahkan ke Lapas Besi, tempat dua terpidana mati Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, serta Raheem Abagje diisolasi. Satu mobil lainnya bergerak ke Lapas Batu, tempat terpidana mati Sylvester berada. Selain Lapas Besi dan Batu, di Nusakambangan terdapat Lapas Terbuka, Narkotika, Pasir putih, Kembangkuning, dan Permisan.

Tak lama keluar dari pos penjagaan dermaga, mobil kami melewati pos polisi (pospol) Nusakambangan yang dahulu merupakan Lapas Limusbuntu. Menurut cerita sang sopir, di balik pospol itu terdapat Lapangan Tembak Tunggal Panaluan. Lapangan tersebut merupakan lokasi untuk mengeksekusi lima terpidana mati gelombang pertama 18 Januari silam. Lapangan tersebut saat ini sedang direnovasi. Bisa jadi di tempat itu pula eksekusi gelombang kedua akan dilakukan.

”Ya, mungkin juga di situ. Soalnya, sekarang sedang diperbaiki,” ujar lelaki paro baya kelahiran Nusakambangan tersebut.

Begitu sampai di Lapas Besi, kami langsung menuju pintu masuk. Setelah pintu diketuk berulang-ulang, seorang petugas mengintip dari balik jendela di pintu tersebut. ”Siapa ya, ada perlu apa,” ujarnya.

Tanpa basa-basi, seorang pengacara menyebutkan bahwa kami rombongan kuasa hukum terpidana mati dan perwakilan dari Kedutaan Australia. Langsung saja, petugas membukakan pintu. Kepala Lapas Besi Yudi Suseno menyambut langsung tamunya. Lelaki berbadan tegap tersebut menyalami para tamu. Setelah itu, dia memerintah para sipir untuk memeriksa kembali para pengunjung.

”Maaf, ini sesuai aturan di sini. Barang-barang bisa dimasukkan loker atau laci khusus pengunjung,” kataYudi.

Dalam pemeriksaan kali ini, saya tidak berkutik. Handphone yang di pemeriksaan pertama bisa lolos kali ini harus dimasukkan loker yang disediakan. Juga, dompet dan alat tulis. Pemeriksaan kedua ini lebih detail dan tidak pandang bulu. Bahkan, pengunjung harus membuka baju dan celana untuk memastikan tidak ada barang yang menempel di kulit tubuh. Rambut dan bagian belakang telinga juga diraba. ”Oke, sudah bersih. Silakan keluar,” ujar petugas itu.

Begitu di luar bilik, ternyata salah seorang pengacara tampak gugup. Dia berbisik kepada saya bahwa dia membawa handphone. Akhirnya, handphone itu dititipkan ke saya. ”Kamu sudah diperiksa tho, ini bawa,” ujarnya pelan. Dengan harap-harap cemas, saya masukkan handphone itu ke saku celana.

Setelah semua klir, rombongan menuju ruang isolasi, tempat para terpidana mati tinggal. Tapi, sebelum sampai, rombongan mesti melewati dua pos penjaga di kiri dan kanan jalan. Pos itu berhadapan. Di dalamnya terdapat dua ruangan. Satu ruangan untuk petugas, ruangan yang lain (yang lebih besar) untuk ruang besuk. Nah, di situlah para pengacara bertemu klien masing-masing.

Di ruangan tersebut sudah menunggu Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Raheem Agbaje. Ketika kami datang, ketiganya tengah asyik mengobrol. Dengan tenang mereka menyalami para pembesuknya. ”Nice to meet you,” ujar Andrew sambil menjabat tangan saya. Raheem melakukan hal serupa.

Seorang sipir (petugas lapas) mengawal dan mengawasi kami selama pertemuan itu. Namun, lantaran keterbatasan tempat, akhirnya pertemuan Andrew dan Myuran dengan tim pengacaranya dipindah ke ruang pembinaan. ”Biar tidak sumpek,” ucap salah seorang sipir.

Sementara itu, saya ikut mendampingi pengacara Utomo Karim menemui Raheem. Dia pun menumpahkan unek-unek kepada pembelanya. Setelah sejam pertemuan, terjadi pergantian penjaga di pos yang kami tempati. Kondisi tersebut memungkinkan kami untuk mengabadikan pertemuan langka itu. Akhirnya, handphone (HP) yang berhasil kami bawa kami keluarkan. Secepatnya kami memotret tiga kali.

Rupanya, peristiwa tersebut menimbulkan kecurigaan petugas yang tiba-tiba masuk. HP langsung kami amankan. Namun, tidak berapa lama Raheem meminta dipotret kali terakhir. Akhirnya, dengan nekat HP kami keluarkan untuk menjepret momentum pertemuan itu. Sayang, si petugas yang berjaga di luar pos penjaga mengetahuinya. ”Bawa handphone ya?” teriaknya.

Sipir dengan pangkat lebih tinggi ikut nimbrung dan langsung meminta HP milik pengacara Raheem tersebut. Dia lalu meminta izin untuk menghapus foto-foto itu. ”Maaf, aturannya tidak boleh bawa handphone. Kami harus menghapus foto-fotonya,” tegas dia. Akhirnya, semua foto hangus di tangan sipir dan HP disimpan di loker.

Tidak berapa lama kemudian seorang petugas kembali memeriksa HP yang sudah disita itu. Dia ingin mengetahui apakah foto-foto tersebut sudah dikirim ke orang lain atau belum. ”Maaf, kalau sudah dikirim ke orang lain, tolong dihapus,” ujarnya.

Peristiwa itu membuat Kalapas Besi Yudi Suseno memanggil para pengacara. Dia menegaskan bahwa pengunjung membawa HP itu pelanggaran aturan lapas. Apalagi mengambil foto di dalamnya. ”Tolong jangan dilakukan dan bila masih ada, jangan disebarkan. Hapus,” tegasnya.

Menurut Yudi, bisa jadi foto itu bermasalah di belakang hari. ”Saya tidak ingin mengganggu, tapi juga hormati kerja kami. Kami hanya mencari makan,” ucapnya.

Dengan legawa para pengacara akhirnya meminta maaf. Hasilnya, hanya bisa foto bareng di depan Lapas Besi. Seusai pertemuan selama tiga jam itu, rombongan pengacara meninggalkan Lapas Besi dan meluncur ke Dermada Wijaya Pura kembali. (c10/c9/ari/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/