Meski tahun ini dinyatakan sebagai tahun politik, tampaknya, kita tetap harus bekerja keras. Kehebatan kita dalam mencapai pertumbuhan ekonomi selama delapan tahun terakhir sudah mulai dikejar oleh Filipina.
Dengan sangat mengejutkan pertumbuhan ekonomi negara itu mencapai rekornya pada kuartal pertama tahun ini: 7,8 persen. Tiba-tiba saja jauh di atas pertumbuhan ekonomi kita. Padahal, selama ini kita hanya bersaing dengan Tiongkok. Kita sama sekali tidak memperhitungkan Filipina.
Waktu saya tiba di Manila, Jumat pagi (30/5), semua pemberitaan di sana riuh dengan kejutan itu. Selama ini dengan tumbuhn
6,5 persen (2012) kita sudah merasa yang tertinggi kedua setelah Tiongkok. Ternyata tanpa diduga Filipina sudah menyalip Indonesia. Bahkan, sebenarnya sejak tahun lalu. Pada 2012 Filipina ternyata tumbuh 6,7 persen, sudah di atas kita yang 6,5 persen.
Maka, ketika pagi itu saya mendampingi Utusan Khusus Presiden SBY, T.B. Silalahi, diterima Presiden Aquino di Istana Malacanang, kami lebih dulu mengucapkan selamat atas capaian tersebut. Apalagi, seperti yang dikemukakan teman lama saya, seorang pemimpin redaksi koran terbesar di Filipina, pertumbuhan ekonomi yang luar biasa tersebut murni berkat leadership Presiden Aquino.
Begitu terpilih sebagai presiden tiga tahun lalu (2010), pertumbuhan ekonomi tahun berikutnya langsung naik menjadi 4,6 persen. Tahun berikutnya lagi menjadi 6,7 dan Q1 tahun ini 7,8 persen.
“Tapi, kami tumbuh tinggi baru tiga tahun terakhir,” ujar Menteri Keuangan Filipina Cesar V Purisima yang bersama Menteri Perdagangan Gregory L. Domingo mendampingi Presiden Aquino. “Indonesia sudah mencapai pertumbuhan tinggi delapan tahun berturut-turut,” tambahnya sambil merendah.
Memang belum tentu pertumbuhan ekonomi Filipina yang melebihi kita itu akan berkelanjutan seperti di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden SBY. Tapi, sungguh menarik melihat kenyataan bahwa Filipina bisa menyalip Indonesia. Padahal, keruwetan politiknya luar biasa. Hubungan pusat dan daerahnya juga ‘ampun-ampun’. Keamanannya apalagi. Ekonomi dunia yang lagi lesu juga tidak menjadikannya alasan untuk tidak tumbuh tinggi.
Tentu saya memanfaatkan pertemuan itu untuk menanyakan kunci-kunci utama pertumbuhan tersebut. Presiden Aquino – dengan sosok yang tinggi langsing, dengan dada yang lebar dan gerak-geriknya yang gesit – mengatakan sangat mengutamakan infrastruktur ekonomi. Banyak infrastruktur dibangun untuk mengatasi sumbatan gerak ekonomi.
Memang, saya lihat, tantangan ke depan masih berat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu bisa saja justru memperparah kesenjangan ekonomi di sana yang selama ini sudah parah. Bisa jadi pertumbuhan tinggi itu lebih banyak dibuat oleh penguasa ekonomi di sana yang dimainkan oleh hanya sekitar 30 konglomerat utama.
Itulah juga yang dikhawatirkan pemerintah Filipina sendiri. Untungnya, Presiden Aquino yang sudah kaya raya sejak dari sono-nya dan memang ahli waris salah satu kerajaan bisnis terbesar di sana, dikenal sangat populis. Rakyat kecil menyukainya karena programnya yang justru prorakyat. Beliau sendiri tidak perlu memikirkan anak-anak karena sampai usianya yang 53 tahun ini tetap membujang.
Presiden Aquino masih akan berkuasa tiga tahun lagi. Masih banyak yang bisa dicapai. Apalagi, dalam pemilu sela bulan lalu calon-calon senator dari partainya menambah mayoritas kubunya di parlemen maupun di senat. Di Filipina masa jabatan presiden adalah enam tahun dan hanya boleh satu periode.
Kegesitan beliau juga terlihat dari keputusannya yang cepat pagi itu. Begitu mendapat penjelasan mengenai kemampuan BUMN Indonesia, Presiden Aquino minta kepada dua menterinya untuk sudah bisa memberikan pilihan yang bisa dikerjasamakan sebelum saya meninggalkan Manila keesokan harinya. “Besok pagi-pagi saja adakan pertemuan yang lebih rinci,” perintah Presiden Aquino kepada kedua menterinya. Akhirnya diputuskan rapat antara kami dan dua menteri itu diadakan pukul 06.30 sebelum saya menuju bandara.
Dalam rapat itulah BUMN Indonesia mendapat kesempatan untuk bekerja sama di bidang perkebunan sawit, energi, infrastruktur, dan perbankan, terutama pengembangan bank syariah di Filipina. Indonesia yang di bidang politik telah lama ikut berperan penting menyelesaikan perdamaian di wilayah muslim Filipina Selatan sebaiknya memang meneruskannya di bidang ekonomi. Apalagi, di saat ekonomi Filipina bangkit seperti sekarang ini.
Filipina memang pernah lebih maju daripada Indonesia. Sampai awal 1980-an, negeri itu masih di atas Indonesia. Banyak orang Indonesia di masa itu menjadikan Filipina sebagai tujuan wisata. Keberhasilan ekonomi Orde Baru dan kemerosotan ekonomi Filipina akibat UU Darurat Presiden Ferdinand Marcos menjadikan Indonesia jauh lebih maju daripada Filipina. Apalagi, setelah sembuh dari krisis moneter pada 1998, ekonomi Indonesia melejit sangat pesat. Lebih-lebih selama delapan tahun terakhir, di bawah Presiden SBY ekonomi Indonesia tumbuh di atas enam persen secara berturut-turut.
Apakah perkembangan terakhir di Filipina itu pertanda kebangkitan kembali Filipina” Ataukah hanya akan seperti Vietnam yang pernah tiba-tiba melejit, tapi kemudian menurun kembali”
Sebaliknya, apakah Indonesia tetap bisa tumbuh di atas enam persen atau lebih tinggi lagi”
Ternyata, ada baiknya apa yang terjadi di Filipina kita perhatikan. Negara itu juga negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 8.000. Juga sering kena bencana: mulai gempa bumi sampai taifun. Hubungan pusat-daerahnya juga ruwet. Bahkan, politiknya lebih rumit. Maka, pejabat yang sering mengeluhkan politik sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi sebaiknya menengok ke Filipina agar tidak mudah frustrasi.
Politik dinasti, misalnya, luar biasa dominannya. Di sana banyak sekali wali kota yang wakil wali kotanya anaknya sendiri atau adik kandungnya. Atau wali kota yang habis masa jabatannya (sudah tiga periode dengan setiap periode tiga tahun) digantikan oleh istri atau adik atau anak. Demikian juga gubernur. Sama seperti itu. Filipina dengan penduduk 90 juta memiliki 80 provinsi dan 1.400 kota.
Mungkin juga hanya di Filipina ada seorang presiden yang masuk penjara karena korupsi, dan setelah keluar dari penjara menjadi capres lagi. Bahkan, setelah gagal jadi presiden lagi dia langsung ikut pemilihan wali kota dan berhasil menang tipis. Itulah bintang film Joseph Estrada yang bulan lalu terpilih sebagai wali kota Manila.
Maka, sungguh menarik negara dengan politik yang seperti itu bisa tumbuh 7,8 persen. Kita bisa lebih optimistis bahwa pada tahun politik pun asal tetap kerja, kerja, kerja, bisa tetap mempertahankan pertumbuhan kita. (*)
Tahun Politik yang Tidak Harus Frustrasi
Meski tahun ini dinyatakan sebagai tahun politik, tampaknya, kita tetap harus bekerja keras. Kehebatan kita dalam mencapai pertumbuhan ekonomi selama delapan tahun terakhir sudah mulai dikejar oleh Filipina.
Dengan sangat mengejutkan pertumbuhan ekonomi negara itu mencapai rekornya pada kuartal pertama tahun ini: 7,8 persen. Tiba-tiba saja jauh di atas pertumbuhan ekonomi kita. Padahal, selama ini kita hanya bersaing dengan Tiongkok. Kita sama sekali tidak memperhitungkan Filipina.
Waktu saya tiba di Manila, Jumat pagi (30/5), semua pemberitaan di sana riuh dengan kejutan itu. Selama ini dengan tumbuhn
6,5 persen (2012) kita sudah merasa yang tertinggi kedua setelah Tiongkok. Ternyata tanpa diduga Filipina sudah menyalip Indonesia. Bahkan, sebenarnya sejak tahun lalu. Pada 2012 Filipina ternyata tumbuh 6,7 persen, sudah di atas kita yang 6,5 persen.
Maka, ketika pagi itu saya mendampingi Utusan Khusus Presiden SBY, T.B. Silalahi, diterima Presiden Aquino di Istana Malacanang, kami lebih dulu mengucapkan selamat atas capaian tersebut. Apalagi, seperti yang dikemukakan teman lama saya, seorang pemimpin redaksi koran terbesar di Filipina, pertumbuhan ekonomi yang luar biasa tersebut murni berkat leadership Presiden Aquino.
Begitu terpilih sebagai presiden tiga tahun lalu (2010), pertumbuhan ekonomi tahun berikutnya langsung naik menjadi 4,6 persen. Tahun berikutnya lagi menjadi 6,7 dan Q1 tahun ini 7,8 persen.
“Tapi, kami tumbuh tinggi baru tiga tahun terakhir,” ujar Menteri Keuangan Filipina Cesar V Purisima yang bersama Menteri Perdagangan Gregory L. Domingo mendampingi Presiden Aquino. “Indonesia sudah mencapai pertumbuhan tinggi delapan tahun berturut-turut,” tambahnya sambil merendah.
Memang belum tentu pertumbuhan ekonomi Filipina yang melebihi kita itu akan berkelanjutan seperti di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden SBY. Tapi, sungguh menarik melihat kenyataan bahwa Filipina bisa menyalip Indonesia. Padahal, keruwetan politiknya luar biasa. Hubungan pusat dan daerahnya juga ‘ampun-ampun’. Keamanannya apalagi. Ekonomi dunia yang lagi lesu juga tidak menjadikannya alasan untuk tidak tumbuh tinggi.
Tentu saya memanfaatkan pertemuan itu untuk menanyakan kunci-kunci utama pertumbuhan tersebut. Presiden Aquino – dengan sosok yang tinggi langsing, dengan dada yang lebar dan gerak-geriknya yang gesit – mengatakan sangat mengutamakan infrastruktur ekonomi. Banyak infrastruktur dibangun untuk mengatasi sumbatan gerak ekonomi.
Memang, saya lihat, tantangan ke depan masih berat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu bisa saja justru memperparah kesenjangan ekonomi di sana yang selama ini sudah parah. Bisa jadi pertumbuhan tinggi itu lebih banyak dibuat oleh penguasa ekonomi di sana yang dimainkan oleh hanya sekitar 30 konglomerat utama.
Itulah juga yang dikhawatirkan pemerintah Filipina sendiri. Untungnya, Presiden Aquino yang sudah kaya raya sejak dari sono-nya dan memang ahli waris salah satu kerajaan bisnis terbesar di sana, dikenal sangat populis. Rakyat kecil menyukainya karena programnya yang justru prorakyat. Beliau sendiri tidak perlu memikirkan anak-anak karena sampai usianya yang 53 tahun ini tetap membujang.
Presiden Aquino masih akan berkuasa tiga tahun lagi. Masih banyak yang bisa dicapai. Apalagi, dalam pemilu sela bulan lalu calon-calon senator dari partainya menambah mayoritas kubunya di parlemen maupun di senat. Di Filipina masa jabatan presiden adalah enam tahun dan hanya boleh satu periode.
Kegesitan beliau juga terlihat dari keputusannya yang cepat pagi itu. Begitu mendapat penjelasan mengenai kemampuan BUMN Indonesia, Presiden Aquino minta kepada dua menterinya untuk sudah bisa memberikan pilihan yang bisa dikerjasamakan sebelum saya meninggalkan Manila keesokan harinya. “Besok pagi-pagi saja adakan pertemuan yang lebih rinci,” perintah Presiden Aquino kepada kedua menterinya. Akhirnya diputuskan rapat antara kami dan dua menteri itu diadakan pukul 06.30 sebelum saya menuju bandara.
Dalam rapat itulah BUMN Indonesia mendapat kesempatan untuk bekerja sama di bidang perkebunan sawit, energi, infrastruktur, dan perbankan, terutama pengembangan bank syariah di Filipina. Indonesia yang di bidang politik telah lama ikut berperan penting menyelesaikan perdamaian di wilayah muslim Filipina Selatan sebaiknya memang meneruskannya di bidang ekonomi. Apalagi, di saat ekonomi Filipina bangkit seperti sekarang ini.
Filipina memang pernah lebih maju daripada Indonesia. Sampai awal 1980-an, negeri itu masih di atas Indonesia. Banyak orang Indonesia di masa itu menjadikan Filipina sebagai tujuan wisata. Keberhasilan ekonomi Orde Baru dan kemerosotan ekonomi Filipina akibat UU Darurat Presiden Ferdinand Marcos menjadikan Indonesia jauh lebih maju daripada Filipina. Apalagi, setelah sembuh dari krisis moneter pada 1998, ekonomi Indonesia melejit sangat pesat. Lebih-lebih selama delapan tahun terakhir, di bawah Presiden SBY ekonomi Indonesia tumbuh di atas enam persen secara berturut-turut.
Apakah perkembangan terakhir di Filipina itu pertanda kebangkitan kembali Filipina” Ataukah hanya akan seperti Vietnam yang pernah tiba-tiba melejit, tapi kemudian menurun kembali”
Sebaliknya, apakah Indonesia tetap bisa tumbuh di atas enam persen atau lebih tinggi lagi”
Ternyata, ada baiknya apa yang terjadi di Filipina kita perhatikan. Negara itu juga negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 8.000. Juga sering kena bencana: mulai gempa bumi sampai taifun. Hubungan pusat-daerahnya juga ruwet. Bahkan, politiknya lebih rumit. Maka, pejabat yang sering mengeluhkan politik sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi sebaiknya menengok ke Filipina agar tidak mudah frustrasi.
Politik dinasti, misalnya, luar biasa dominannya. Di sana banyak sekali wali kota yang wakil wali kotanya anaknya sendiri atau adik kandungnya. Atau wali kota yang habis masa jabatannya (sudah tiga periode dengan setiap periode tiga tahun) digantikan oleh istri atau adik atau anak. Demikian juga gubernur. Sama seperti itu. Filipina dengan penduduk 90 juta memiliki 80 provinsi dan 1.400 kota.
Mungkin juga hanya di Filipina ada seorang presiden yang masuk penjara karena korupsi, dan setelah keluar dari penjara menjadi capres lagi. Bahkan, setelah gagal jadi presiden lagi dia langsung ikut pemilihan wali kota dan berhasil menang tipis. Itulah bintang film Joseph Estrada yang bulan lalu terpilih sebagai wali kota Manila.
Maka, sungguh menarik negara dengan politik yang seperti itu bisa tumbuh 7,8 persen. Kita bisa lebih optimistis bahwa pada tahun politik pun asal tetap kerja, kerja, kerja, bisa tetap mempertahankan pertumbuhan kita. (*)