Oleh : Herdiansyah
Wakil Pemimpin Redaksi Sumut Pos
Sejumlah jalan di pinggiran kota yang Desember lalu diaspal mulus, terlihat mulai retak bagian pinggirnya. Retakan menyebar di beberapa titik. Bila tak dilapis ulang, dalam setahun jalan kelas tiga itu dipastikan bakal berlubang lagi. Kondisi serupa juga terjadi di beberapa ruas jalan lainnya, terutama di kawasan pinggiran kota.
Retaknya jalan-jalan beraspal mulus itu, mungkin karena kurangnya pengawasan. Sehingga truk-truk bertonase lebih, bebas lalu lalang. Sejatinya truk-truk harus memiliki izin melintas dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Medan, sehingga tak seenak perutnya melintasi jalanan di kota ini. Apalagi sampai mengacak-acak jalan kelas tiga.
Tapi petugas Dishub pun tak bisa disalahkan. Sopir truk tentu tahu jumlah personel Dishub yang terbatas, sehingga tahu pengawasan tak terlalu ketat dan bisa melintas pada jam-jam tertentu. Kalau pun tertangkap juga, mungkin masih bisa damai di tempat. Apalagi para sopir mafhum benar, kalau petugas Dishub kita sangat ‘pemaaf’.
Okelah. Jangan buru-buru menyalahkan petugas Dishub yang lelah mengamankan jalanan di kota ini. Mungkin rusaknya jalan-jalan di kawasan pinggiran bukan salah mereka. Mungkin saja rusaknya jalan-jalan itu akibat kualitas pengaspalan yang buruk. Sangat tipis, sehingga hanya dilalui angkot pun, lapisan aspalnya sudah retak.
Kalau memang buruknya kualitas pengaspalan sebagai penyebab, pemborong tak langsung bisa disalahkan. Lho kok? Lantas siapa yang harus disalahkan? Sulit menyebut siapa yang patut disalahkan. Sejak awal pemborong memang tahu kualitas pengaspalan bakal tak maksimal. Tapi menimpakan semua kesalahan kepada pemborong juga sangat tidak bijak.
Pemborong atau kontraktor hanya pengusaha yang ingin survive dan profit tentunya. Untuk mendapatkan proyek dengan pagu tertentu, mereka harus mengeluarkan dana pendahuluan sebesar tertentu pula. Setelah proyek didapat, dana ‘pengamanan’ pun harus mereka gelontorkan lagi. Bila tidak, meski telah mengeluarkan dana pendahuluan, tak ada jaminan proyek bakal ada di tangan.
Okelah, tender, pemilihan langsung atau penunjukan langsung telah dimenangkan. Sembari proyek berjalan, dana susulan harus kembali dikeluarkan untuk ‘pemilik’ proyek, panitia kegiatan dan jangan lupa pajak. Oknum LSM hingga oknum pemuda setempat (PS), juga harus diamankan agar pengerjaan proyek berjalan lancar.
Darimana dana pengeluaran itu ditutupi oleh pemborong? Ya, dari nilai proyek ia dapatkan, tentunya setelah perhitungan keuntungan atau profit dilakukan. Dari setiap proyek, rata-rata hampir 30 persen menguap untuk menutupi dana-dana siluman itu. Ini masih perhitungan minimal, karena untuk beberapa kasus banyak yang terpotong hingga 40 persen.
Dengan anggaran yang tinggal 60-70 persen, kualitas pengaspalan pasti jauh dari yang diharapkan. Dalam setahun pun sudah rusak kembali dan harus diaspal lagi. Bagi warga ini musibah, tapi bagi pemborong lain ceritanya. “Kalau bisa tiap tahun jalan yang diaspal rusak lagi, jadi banyak proyek lagi,” ujar seorang kawan pemborong. (*)