30 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Boraspati

Orang Mandailing di Malaysia mengajukan permohonan untuk pengakuan tarian Tortor dan Gordang Sembilan di Malaysia. Mereka ingin kesenian tersebut berdiri setara dengan kebudayaan Jawa, Minang, dan Banjar di Malaysia.

Lalu, mereka pun berharap kesenian itu dicatatkan pada Akta Warisan Kebangsaan Malaysia tahun 2005 ayat 67.
Nah, hal inilah yang membuat Mandailing dan Batak pada umumnya yang berada di Indonesia resah. Pun, yang bukan Batak kebakaran jenggot.
Ujung-ujungnya keluar kalimat: Ganyang Malaysia!

Sah-sah saja bukan? Pasalnya, sudah berulang kali Malaysia menyinggung Indonesia. Klaim dari Malaysia pun dicurigai.

Menariknya, kalau dilihat lebih dalam, soal ini sejatinya lumayan lucu. Setidaknya perhatikan pembelaan Ramli Abdul Karim Hasibuan, presiden Persatuan Halak Mandailing Malaysia. “Saya jelaskan perlakuan di dalam akta ini. Apabila tarian Tortor sudah terdaftar, maka kami akan mendapatkan anggaran dari kementerian untuk melestarikan budaya ini. Atau bahkan kementerian akan membuat satu perkumpulan tari Tortor dan Gordang Sembilan,” kata Ramli kepada media di Indonesia.

Jawaban ini secara langsung mengatakan kalau Tortor dan Gordang Sambilan ternyata tidak diakui dan tidak terorganisir dengan baik. Para pekerja seni Tortor dan Gordang Sambilan pun tidak mendapat anggaran. Maka, mereka yang berada di sana ingin mendapat anggaran agar bisa melestarikan Tortor dan Gordang Sambilan tadi. Jika begitu, bukankah itu bagus?

Kenyataan soal Tortor dan Gordang Sambilan di Malaysia mirip dengan di Indonesia bukan? Ya, di negeri yang permai ini, dua kesenian itu juga tidak mendapat perlakuan khusus dalam pelestariannya. Beruntunglah orang Mandailing di Malaysia, setidaknya pemerintah mereka telah menyediakan fasilitas bagi warisan budaya mereka. Jika pengajuan Ramli Abdul Karim Hasibuan dkk tadi berhasil, maka mereka bisa melestarikan dua kesenian tadi dengan tenang dan nyaman. Adakah Indonesia menyediakan fasilitas semacam itu? Jika ada, ayo orang Mandailing di Indonesia segera ajukan hal itu!
Lalu, ada perdebatan, kedua kesenian tadi kan milik Indonesia, maka Malaysia tidak bisa semena-mena?

Harus diingat, Mandailing bukanlah negara. Keberadaan Ramli Abdul Karim Hasibuan dan orang Mandailing lainnya di Malaysia pada pohon silsilah adat tidak berbeda dengan Hasibuan lain yang ada di Papua bukan? Atau, Hasibuan yang berada di Meksiko, Amerika, hingga Janjilobi di Padanglawas. Dengan kata lain, tidak ada garis politis antara sesama orang Mandailing. Bahkan, orang Mandailing yang berhasil di perantauan dianggap hebat bagi orang Mandailing di kampung asal.

Lucunya, atas nama negara, tali darah Mandailing seakan digugat; dipecah belah dengan nama Indonesia dan Malaysia. “Kami orang Mandailing dan tanah leluhur kami Utara Indonesia,” tegas Ramli saat diwawancari televisi swasta Indonesia.

Ayolah, Ramli dkk kan merantau ke negeri jiran. Dan, hal itu adalah wajar. Malah, konsep merantau sudah demikian mengakar bagi orang Mandailing dan Batak pada umumnya. Hal itu sesuai dengan filosofi hidup orang Batak; Boraspati. Ya, Boraspati adalah simbol orang Batak. Secara nyata dia hadir sebagai salah satu ornamen yang ada pada ulos, rumah adat, dan sebagainya. Benar, dia adalah cicak!

Secara filosofi, cicak yang lengket di berbagai bentuk permukaan itu menjadi inspirasi bagi orang Batak masa lalu untuk menjadikannya sebagai jalan atau cara hidup. Cicak yang lengket di mana saja bila diaplikasikan dalam kehidupan orang Batak, berarti lengket dan bisa masuk ke mana saja tanpa bermasalah; seseorang yang merantau, bisa lengket di kampung orang lain berarti bisa hidup dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di kampung lain. Dahulu, dengan bergaya hidup seperti Boraspati, yang bergerak lincah dan dapat diterima di berbagai lapisan masyarakat, orang Batak meyakini akan dapat mencapai sukses dan tidak akan jatuh.

Nah, jika begitu, bukankah apa yang dilakukan Persatuan Halak Mandailing Malaysia tidak sepenuhnya salah? Tapi, jika memang Malaysia sebagai negara mengklaim kesenian itu milik mereka dan tidak berasal dari tanah leluhur Mandailing yang berada di Indonesia, itu baru cari masalah. Bukankah begitu? (*)

Orang Mandailing di Malaysia mengajukan permohonan untuk pengakuan tarian Tortor dan Gordang Sembilan di Malaysia. Mereka ingin kesenian tersebut berdiri setara dengan kebudayaan Jawa, Minang, dan Banjar di Malaysia.

Lalu, mereka pun berharap kesenian itu dicatatkan pada Akta Warisan Kebangsaan Malaysia tahun 2005 ayat 67.
Nah, hal inilah yang membuat Mandailing dan Batak pada umumnya yang berada di Indonesia resah. Pun, yang bukan Batak kebakaran jenggot.
Ujung-ujungnya keluar kalimat: Ganyang Malaysia!

Sah-sah saja bukan? Pasalnya, sudah berulang kali Malaysia menyinggung Indonesia. Klaim dari Malaysia pun dicurigai.

Menariknya, kalau dilihat lebih dalam, soal ini sejatinya lumayan lucu. Setidaknya perhatikan pembelaan Ramli Abdul Karim Hasibuan, presiden Persatuan Halak Mandailing Malaysia. “Saya jelaskan perlakuan di dalam akta ini. Apabila tarian Tortor sudah terdaftar, maka kami akan mendapatkan anggaran dari kementerian untuk melestarikan budaya ini. Atau bahkan kementerian akan membuat satu perkumpulan tari Tortor dan Gordang Sembilan,” kata Ramli kepada media di Indonesia.

Jawaban ini secara langsung mengatakan kalau Tortor dan Gordang Sambilan ternyata tidak diakui dan tidak terorganisir dengan baik. Para pekerja seni Tortor dan Gordang Sambilan pun tidak mendapat anggaran. Maka, mereka yang berada di sana ingin mendapat anggaran agar bisa melestarikan Tortor dan Gordang Sambilan tadi. Jika begitu, bukankah itu bagus?

Kenyataan soal Tortor dan Gordang Sambilan di Malaysia mirip dengan di Indonesia bukan? Ya, di negeri yang permai ini, dua kesenian itu juga tidak mendapat perlakuan khusus dalam pelestariannya. Beruntunglah orang Mandailing di Malaysia, setidaknya pemerintah mereka telah menyediakan fasilitas bagi warisan budaya mereka. Jika pengajuan Ramli Abdul Karim Hasibuan dkk tadi berhasil, maka mereka bisa melestarikan dua kesenian tadi dengan tenang dan nyaman. Adakah Indonesia menyediakan fasilitas semacam itu? Jika ada, ayo orang Mandailing di Indonesia segera ajukan hal itu!
Lalu, ada perdebatan, kedua kesenian tadi kan milik Indonesia, maka Malaysia tidak bisa semena-mena?

Harus diingat, Mandailing bukanlah negara. Keberadaan Ramli Abdul Karim Hasibuan dan orang Mandailing lainnya di Malaysia pada pohon silsilah adat tidak berbeda dengan Hasibuan lain yang ada di Papua bukan? Atau, Hasibuan yang berada di Meksiko, Amerika, hingga Janjilobi di Padanglawas. Dengan kata lain, tidak ada garis politis antara sesama orang Mandailing. Bahkan, orang Mandailing yang berhasil di perantauan dianggap hebat bagi orang Mandailing di kampung asal.

Lucunya, atas nama negara, tali darah Mandailing seakan digugat; dipecah belah dengan nama Indonesia dan Malaysia. “Kami orang Mandailing dan tanah leluhur kami Utara Indonesia,” tegas Ramli saat diwawancari televisi swasta Indonesia.

Ayolah, Ramli dkk kan merantau ke negeri jiran. Dan, hal itu adalah wajar. Malah, konsep merantau sudah demikian mengakar bagi orang Mandailing dan Batak pada umumnya. Hal itu sesuai dengan filosofi hidup orang Batak; Boraspati. Ya, Boraspati adalah simbol orang Batak. Secara nyata dia hadir sebagai salah satu ornamen yang ada pada ulos, rumah adat, dan sebagainya. Benar, dia adalah cicak!

Secara filosofi, cicak yang lengket di berbagai bentuk permukaan itu menjadi inspirasi bagi orang Batak masa lalu untuk menjadikannya sebagai jalan atau cara hidup. Cicak yang lengket di mana saja bila diaplikasikan dalam kehidupan orang Batak, berarti lengket dan bisa masuk ke mana saja tanpa bermasalah; seseorang yang merantau, bisa lengket di kampung orang lain berarti bisa hidup dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di kampung lain. Dahulu, dengan bergaya hidup seperti Boraspati, yang bergerak lincah dan dapat diterima di berbagai lapisan masyarakat, orang Batak meyakini akan dapat mencapai sukses dan tidak akan jatuh.

Nah, jika begitu, bukankah apa yang dilakukan Persatuan Halak Mandailing Malaysia tidak sepenuhnya salah? Tapi, jika memang Malaysia sebagai negara mengklaim kesenian itu milik mereka dan tidak berasal dari tanah leluhur Mandailing yang berada di Indonesia, itu baru cari masalah. Bukankah begitu? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/