Oleh: Iwan Junaidi
Redaktur Pelaksana Sumut Pos
MIRIS hati ini saat dua hari lalu tim kebangaan warga Kota Medan, PSMS dinyatakan kalah WO di ajang Indonesia Super League. Mungkin akan bisa dimaklumi jika yang menjadi penyebab adalah suasana tidak kondusif dan membahayakan jiwa pemain jelang pertandingan berlangsung.
Namun faktanya tidak demikan, sebab kesalahan membeli tiket dengan jurusan berbeda ditengarai menjadi penyebab kenapa para pemain PSMS tidak berada di tengah lapangan saat pertandingan akan digelar.
Dari berbagai informasi disebutkan jika manajemen PSMS membeli tiket dengan jurusan Medan-Jayapura, dan bukan Medan-Sorong. Padahal dua daerah ini meski sama-sama berada di wilayah Papua, namun jarak yang terbentang di antara kedua wilayah itu bukanlah dekat.
Imbasnya, arang habis besi binasa. Ya, sudah habis uang berjuta-juta untuk membeli tiket, namun tempat yang dituju ternyata bukan tempat yang menjadi ajang bagi Persiram Raja Ampat dan PSMS saling jajal di ajang ISL.
Mungkin masih bisa diterima akal sehat jika kesalahan itu dilakukan oleh masyarakat awam yang sama sekali belum pernah menjejakkan kakinya di Bumi Cendrawasih itu. Tapi bila kesalahan itu dilakukan oleh seorang (yang mengaku) profesional, bahkan sudah sering ke Tanah Papua, pantaskah kesalahan itu terjadi? Sungguh ironis.
Membicakan masalah salah alamat seperti yang dialami PSMS ini sontak membuat angan melayang mengingat kasus salah alamat terhadap penyalahgunaan dana Jamkesmas yang terjadi di RSU Djoelham Binjai.
Betapa tidak, dana yang seyogianya diperuntukkan bagi masyarakat miskin itu ternyata mengalir ke alamat yang salah, yakni ke saku pribadi pejabat daerah setempat, yang pastinya hidup serba berkecukupan.
Pertanyaannya, sudah separah itukah mental para pejabat di negeri ini? Ingat, kasus serupa bukan kali ini terjadi. Di lingkungan pemerintah provinsi Sumatera Utara pun hal yang sama juga terjadi, bahkan beberapa pelakunya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Bermain api dengan membuat ratusan proposal yang melibatkan institusi yang fiktif untuk mengeruk keuntungan pribadi seakan bukan sesuatu yang tabu untuk dilakukan.
Rehabilitasi rumah ibadah pun kerap dijadikan alasan untuk mengeruk uang yang berasal dari kas pemerintah provinsi, seakan mereka tak lagi takut bukan saja dengan undang-undang, tapi juga sudah tak takut dengan Tuhan YME. Ups…
Sudahlah, dari pusing-pusing memikirkan kecurangan orang-orang yang sudah tak takut dengan Tuhan YME, lebih baik mendendangkan lagi milik si Ayu Ting Ting. Ke mana, ke mana, ke mana. Kuharus mencari ke mana. Kekasih tercinta tak tahu rimbanya. Lama tak datang ke rumah. (*)