31 C
Medan
Wednesday, May 29, 2024

People Power

Sudah bukan rahasia lagi kalau Jokowi dan Ahok terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Dan, bukan rahasia lagi kalau pasangan itu ternyata mampu mengalahkan koalisi partai yang mendukung Foke dan Nara pada Pemilukada DKI Putaran 1 dan 2. Rahasianya? Kekuatan Rakyat!

Ya, people power istilah kerennya. Soal kekuatan rakyat ini pun bukan cerita baru. Sejarah mencatat Soeharto pun ‘takluk’ dengan hal itu. Itulah sebab, seorang pemimpin harus bisa membaca kekuatan yang dimaksud tadi. Misalnya apa yang dilakukan Belanda dalam menaklukan Aceh. Dikirimkanlah Christiaan Snouck Hurgronje untuk mengungkap kekuatan rakyat Aceh sesungguhnya.

Seperti disiarkan di Wikipedia, selama tujuh bulan Snouck berada di Aceh, sejak 8 Juli 1891. Di Aceh, dia dibantu beberapa orang pelayannya. Baru pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasihat strategi kemiliteran Snouck. Intinya, laporan itu mengisahkan tentang kekuatan rakyat Aceh.

Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai 1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya.

Nasihat Snouck mematahkan perlawanan para ulama, karena awalnya Snouck sudah melemparkan isu bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang, tapi ulama yang dekat dengan rakyat kecil. Komponen paling menentukan sudah pecah, rakyat berdiri di belakang ulama, lalu Belanda mengerasi ulama dengan harapan rakyat yang sudah berposisi di sana menjadi takut. Untuk waktu yang singkat, metode yang dipakai berhasil. Snouck pun mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa agama. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan politik Divide et impera. Demi kepentingan keagamaan, ia berkotbah untuk menjauhkan agama dan politik.
Lihatlah, seperti apa Belanda dalam meruntuhkan Aceh. Kekuatan rakyat terlebih dahulu diberantasnya.

Nah, soal kekuatan rakyat belakangan ini kembali mengemuka. Setelah Jokowi dan Ahok mampu menunjukkan itu dalam Pilkada DKI, beberapa hari ke belakang KPK pun kebagian ‘rezeki’ kekuatan rakyat tadi.
Adalah kisruh penangkapan Kompol Novel puncak itu semua. Polisi dianggap sebagai pihak yang menghalangi KPK dalam bekerja memberantas korupsi. Tak pelak, rakyat berang. Rakyat ramai-ramai mendukung KPK, bahkan ada yang langsung ke gedung KPK di kawasan Kuningan Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, petani Sumut asal Labuhanbatu Utara pun sampai berorasi di kantor KPK. Selain itu, 44 organisasi yang ada di Sumut – meski tidak ke Jakarta – langsung meminta Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo dicopot. Dengan kata lain, nyaris di setiap sudut Indonesia ada dukungan untuk KPK. Dunia maya pun tidak ketinggalan, Facebook dan Tweeter serta jejaring sosial lainnya berisikan dukungan pada lembaga antikorupsi itu. Kekuatan rakyat muncul, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  harus bersikap.

Dan, tadi malam, SBY menunjukkan sikapnya. Sikap yang memang harus dia ambil karena jika tidak bisa mengerikan. Ya, dia mengikuti kekuatan rakyat tadi. Dia ‘jewer’ Kapolri yang ‘nakal’. KPK pun diberi keleluasaan untuk segera bertindak.
Kemenangan milik rakyat! Kekuatan rakyat kembali menunjukkan taringnya. Tapi, benarkah itu?

Pertanyaan ini memang bernada pesimis. Pasalnya, untuk menumpas korupsi – apalagi yang melibatkan pejabat-pejabat penting – tidak segampang membuka lemari baju bukan? Ada sistem yang sudah lama tercipta, dia terkunci dengan rapi.
Itulah sebab, setelah rakyat bertindak, kini KPK harus menunjukkan diri. Di pundak KPK lah harapan rakyat berada. Ya, tuntaskan semua kasus korupsi, kalau bisa sampai akar-akarnya. Bukankah begitu? (*)

Sudah bukan rahasia lagi kalau Jokowi dan Ahok terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Dan, bukan rahasia lagi kalau pasangan itu ternyata mampu mengalahkan koalisi partai yang mendukung Foke dan Nara pada Pemilukada DKI Putaran 1 dan 2. Rahasianya? Kekuatan Rakyat!

Ya, people power istilah kerennya. Soal kekuatan rakyat ini pun bukan cerita baru. Sejarah mencatat Soeharto pun ‘takluk’ dengan hal itu. Itulah sebab, seorang pemimpin harus bisa membaca kekuatan yang dimaksud tadi. Misalnya apa yang dilakukan Belanda dalam menaklukan Aceh. Dikirimkanlah Christiaan Snouck Hurgronje untuk mengungkap kekuatan rakyat Aceh sesungguhnya.

Seperti disiarkan di Wikipedia, selama tujuh bulan Snouck berada di Aceh, sejak 8 Juli 1891. Di Aceh, dia dibantu beberapa orang pelayannya. Baru pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasihat strategi kemiliteran Snouck. Intinya, laporan itu mengisahkan tentang kekuatan rakyat Aceh.

Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai 1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya.

Nasihat Snouck mematahkan perlawanan para ulama, karena awalnya Snouck sudah melemparkan isu bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang, tapi ulama yang dekat dengan rakyat kecil. Komponen paling menentukan sudah pecah, rakyat berdiri di belakang ulama, lalu Belanda mengerasi ulama dengan harapan rakyat yang sudah berposisi di sana menjadi takut. Untuk waktu yang singkat, metode yang dipakai berhasil. Snouck pun mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa agama. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan politik Divide et impera. Demi kepentingan keagamaan, ia berkotbah untuk menjauhkan agama dan politik.
Lihatlah, seperti apa Belanda dalam meruntuhkan Aceh. Kekuatan rakyat terlebih dahulu diberantasnya.

Nah, soal kekuatan rakyat belakangan ini kembali mengemuka. Setelah Jokowi dan Ahok mampu menunjukkan itu dalam Pilkada DKI, beberapa hari ke belakang KPK pun kebagian ‘rezeki’ kekuatan rakyat tadi.
Adalah kisruh penangkapan Kompol Novel puncak itu semua. Polisi dianggap sebagai pihak yang menghalangi KPK dalam bekerja memberantas korupsi. Tak pelak, rakyat berang. Rakyat ramai-ramai mendukung KPK, bahkan ada yang langsung ke gedung KPK di kawasan Kuningan Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, petani Sumut asal Labuhanbatu Utara pun sampai berorasi di kantor KPK. Selain itu, 44 organisasi yang ada di Sumut – meski tidak ke Jakarta – langsung meminta Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo dicopot. Dengan kata lain, nyaris di setiap sudut Indonesia ada dukungan untuk KPK. Dunia maya pun tidak ketinggalan, Facebook dan Tweeter serta jejaring sosial lainnya berisikan dukungan pada lembaga antikorupsi itu. Kekuatan rakyat muncul, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  harus bersikap.

Dan, tadi malam, SBY menunjukkan sikapnya. Sikap yang memang harus dia ambil karena jika tidak bisa mengerikan. Ya, dia mengikuti kekuatan rakyat tadi. Dia ‘jewer’ Kapolri yang ‘nakal’. KPK pun diberi keleluasaan untuk segera bertindak.
Kemenangan milik rakyat! Kekuatan rakyat kembali menunjukkan taringnya. Tapi, benarkah itu?

Pertanyaan ini memang bernada pesimis. Pasalnya, untuk menumpas korupsi – apalagi yang melibatkan pejabat-pejabat penting – tidak segampang membuka lemari baju bukan? Ada sistem yang sudah lama tercipta, dia terkunci dengan rapi.
Itulah sebab, setelah rakyat bertindak, kini KPK harus menunjukkan diri. Di pundak KPK lah harapan rakyat berada. Ya, tuntaskan semua kasus korupsi, kalau bisa sampai akar-akarnya. Bukankah begitu? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/