30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bus Kota dan Penegak Hukum

Sesama bus kota katanya tidak boleh saling mendahului. Kalimat klasik ini sangat ‘hidup’ di antara para sopir bus kota bukan? Ya, semacam kode etik (yang tak tertulis) di antara mereka agar tidak ada saling ‘bentrok’.

Sejatinya kalimat di atas tidak saya maknai sebagai etika antara sopir bus di jalanan kota semata. Saya melihatnya lebih luas lagi. Maksudnya, pesan dari kalimat klasik itu bisa disesuaikan dengan profesi atau pekerjaan lain.  Satu di antaranya adalah pada lembaga penegak hukum. Yang terbaru adalah antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Belakangan ini ‘perseteruan’ antara Polri dan KPK kembali mengemuka. Adalah kasus korupsi proyek pengadaan simulator SIM yang menjadi penyebab. KPK yang mengaku telah memantau dugaan korupsi ini sejak Januari 2012 silam, melakukan aksi mengejutkan dalam dua hari ke belakang. Mereka menggerebek Mabes Polri, tepatnya gedung Korp Lalu Lintas (Korlantas). Mereka pun menjadikan Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka korupsi.  Wow! Bisa bayangkan lembaga penegak hukum malah diincar oleh lembaga penegak hukum lainnya.

Itulah sebab, ketika KPK berusaha mencari bukti di Mabes Polri mereka mendapat sedikit perlawanan.  Kondisi malam itu sempat memanas. Tidak itu saja, barang bukti pun sempat ditahan. Bahkan, petugas KPK malah sempat ‘dikurung’.

Beruntung, para ‘Sopir Bus’ itu tak saling bertengkar hingga lalu lintas macet. Mereka menahan diri dan membiarkan ‘para pemilik perusahaan bus’ saling berdialog. Ya, para petinggi KPK dan Polri akhirnya berembuk soal penuntasan kasus itu. Pasalnya, di sisi lain, pihak Polri ternyata sedang mengusut kasus itu juga. Namun, pihak Polri belum menetapkan tersangka, sementara KPK telah lebih dulu melakukan itu.

Terserahlah. Yang jelas, ‘saling salip’ antara ‘bus kota’ ini sempat menimbulkan kecurigaan lain. Ya, ada ketakutan ‘para sopir bus’ akan bentrok seperti zaman dulu. Yakni di era kasus yang melibatkan Komjen Susno Duaji atau yang lebih dikenal dengan istilah cicak versus buaya. Untuk hal ini, Menko Polhukam Djoko Suyanto sampai buka suara. Katanya, “Jangan sampai nuansa seperti zaman lalu, cicak buaya, kpk vs polri tidak terjadi lagi.”

Akhirnya, ‘para pemilik bus kota’ telah berembuk. Ya, pimpinan KPK telah menggelar rapat dengan Kapolri Timur Pradopo. Hasilnya? kedua pihak sepakat adanya joint investigation atau penyidikan gabungan antara KPK dan Mabes Polri.

Selesai. Hm, bagi saya tidak. Bagaimana tidak, kalau ada ‘dua bus’ jalan beriringan di sebuah jalan raya, apakah jalan itu akan muat? Ya, bagaimana dengan pengendara lain bisa lewat, bukankah akan tercipta sebuah kemacetan. Hm semoga saja jalan itu lebar ya… (*)

Sesama bus kota katanya tidak boleh saling mendahului. Kalimat klasik ini sangat ‘hidup’ di antara para sopir bus kota bukan? Ya, semacam kode etik (yang tak tertulis) di antara mereka agar tidak ada saling ‘bentrok’.

Sejatinya kalimat di atas tidak saya maknai sebagai etika antara sopir bus di jalanan kota semata. Saya melihatnya lebih luas lagi. Maksudnya, pesan dari kalimat klasik itu bisa disesuaikan dengan profesi atau pekerjaan lain.  Satu di antaranya adalah pada lembaga penegak hukum. Yang terbaru adalah antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Belakangan ini ‘perseteruan’ antara Polri dan KPK kembali mengemuka. Adalah kasus korupsi proyek pengadaan simulator SIM yang menjadi penyebab. KPK yang mengaku telah memantau dugaan korupsi ini sejak Januari 2012 silam, melakukan aksi mengejutkan dalam dua hari ke belakang. Mereka menggerebek Mabes Polri, tepatnya gedung Korp Lalu Lintas (Korlantas). Mereka pun menjadikan Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka korupsi.  Wow! Bisa bayangkan lembaga penegak hukum malah diincar oleh lembaga penegak hukum lainnya.

Itulah sebab, ketika KPK berusaha mencari bukti di Mabes Polri mereka mendapat sedikit perlawanan.  Kondisi malam itu sempat memanas. Tidak itu saja, barang bukti pun sempat ditahan. Bahkan, petugas KPK malah sempat ‘dikurung’.

Beruntung, para ‘Sopir Bus’ itu tak saling bertengkar hingga lalu lintas macet. Mereka menahan diri dan membiarkan ‘para pemilik perusahaan bus’ saling berdialog. Ya, para petinggi KPK dan Polri akhirnya berembuk soal penuntasan kasus itu. Pasalnya, di sisi lain, pihak Polri ternyata sedang mengusut kasus itu juga. Namun, pihak Polri belum menetapkan tersangka, sementara KPK telah lebih dulu melakukan itu.

Terserahlah. Yang jelas, ‘saling salip’ antara ‘bus kota’ ini sempat menimbulkan kecurigaan lain. Ya, ada ketakutan ‘para sopir bus’ akan bentrok seperti zaman dulu. Yakni di era kasus yang melibatkan Komjen Susno Duaji atau yang lebih dikenal dengan istilah cicak versus buaya. Untuk hal ini, Menko Polhukam Djoko Suyanto sampai buka suara. Katanya, “Jangan sampai nuansa seperti zaman lalu, cicak buaya, kpk vs polri tidak terjadi lagi.”

Akhirnya, ‘para pemilik bus kota’ telah berembuk. Ya, pimpinan KPK telah menggelar rapat dengan Kapolri Timur Pradopo. Hasilnya? kedua pihak sepakat adanya joint investigation atau penyidikan gabungan antara KPK dan Mabes Polri.

Selesai. Hm, bagi saya tidak. Bagaimana tidak, kalau ada ‘dua bus’ jalan beriringan di sebuah jalan raya, apakah jalan itu akan muat? Ya, bagaimana dengan pengendara lain bisa lewat, bukankah akan tercipta sebuah kemacetan. Hm semoga saja jalan itu lebar ya… (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/