29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Far and Away

Lagi, perebutan lahan eks PTPN II memakan korban. Kemarin, seorang penggarap lahan tewas mengenaskan dikeroyok penggarap lainnya. Peristiwa itu terjadi di lahan garapan Pasar X Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang. Menyedihkan. Persoalan tanah memang belum bisa dituntaskan.

Menyadari ada kejadian berulang semacam itu, saya teringat dengan sistem pembagian tanah di Benua Amerika. Dari beberapa laman yang saya kutip, menyebutkan mengenai ekspedisi Christopher Columbus yang diyakini untuk kali pertama berlayar ke Daratan Amerika. Spanyol dan Portugis dianggap founding fathers dari zaman yang disebut dalam sejarah Eropa sebagai the Age of Discovery.

Pada abad-abad berikutnya, barulah kerajaan Inggris, Prancis, Belanda, Swedia dan Denmark, mengikuti jejak langkah Spanyol dan Portugis melakukan ekspedisi yang dalam kaca mata para theoriest poskolonial disebut sebagai zaman kolonialisme itu. Tujuan kolonialisme tak lain ialah gold yang termasuk didalamnya adalah penguasaan atas tanah, gospel, dan glory.

Keadaan itu tak pelak membuat urusan tanah menjadi ruwet. Maka, pihak kolonial membuat sistem yang dianggap pas. Soal sistem pembagian ini tertuang bagus dalam film yang berjudul Far and Away. Ya, film yang dibintangi Tom Cruise dan Nicole Kidman yang diproduksi tahun 1992 itu memang bercerita soal perjuangan mendapatkan tanah impian. Tepatnya, soal pembagian tanah di Benua Amerika zaman dahulu. Dalam film tersebut digambarkan setiap kepala keluarga diberi bendera dan apabila bendera itu ditancapkan pada sebidang tanah kosong, maka tanah itu akan menjadi milik pribadi, garis luasnya pun telah ditentukan. Pemerintah kolonial lalu mencatatnya secara resmi.

Kira-kira seperti itulah pada awalnya sistem pembagian tanah di daratan Amerika seperti digambarkan dalam cerita film Far and Away. Dengan sistem seperti itu, kelak tak ada keributan atau perebutan atas tanah bagi sesama kulit putih karena pemerintah kolonial menganggapnya telah membaginya secara adil dan telah mencatatnya secara resmi.

Hasilnya? Lihatlah Amerika sekarang.

Tapi kata pribahasa, lain ladang lain belalang. Dengan kata lain, apa yang terjadi di Amerika tentunya berbeda dengan di Indonesia. Baiklah, saya tidak bicara soal tanah di era kerajaan-kerajaan zaman dulu di Nusantara. Saya ingin melihatnya sebagai kasus Indonesia saja; artinya sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 lalu.

Nah, jika merunut ke era Indonesia merdeka, maka lahan yang diperebutkan dan terus menjadi sengketa adalah lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN; terserah PTPN berapa. Namanya ‘eks’ tentunya bekas. Nah, ini bekas HGU. Namanya HGU berarti bukan milik PTPN, dia hanya memiliki hak untuk menggunakannya saja. Jadi, milik siapa tanah eks HGU PTPN II itu?

Pertanyaan di ataslah yang menjadi dasar dari semua sengketa yang sampai memakan korban nyawa tersebut. Kepemilikan lahan eks HGU tadi tak jelas. Beberapa orang menganggap tanah itu milik nenek moyang mereka yang direbut Belanda di era sebelum Indonesia merdeka. Bah, repot juga (dari tadi saya tak mau berbicara tentang sebelum Indonesia merdeka bukan?). Di sisi lain, ada pula beberapa orang yang mengaku-ngaku. Artinya, ketika HGU PTPN II habis, mereka langsung masuk dan menggarapnya. Soal luas bidang tanah yang mereka, ya, seperti film Far and Away tadi; sesuka hati. Mereka memasang pagar. Mereka membangun kebun. Dan, beberapa dari mereka yang tergabung dalam kelompok, memasang bendera dan plang alias papan nama kepemilikan. Bedanya, tanah mereka tidak dicatat seperti film Far and Away itu. Kalau pun ada pencatatan, berkasnya tidak begitu memiliki kekuatan hukum yang kuat. Tumpang tindih pencatatan pun kerap terjadi. Nah, inilah yang menambah konflik baru. Sengketa baru; sesuatu yang memakan korban seperti kejadian kemarin di Labuhan Deli itu.

Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas semua itu? Hm, entahlah, yang jelas yang menderita adalah keluarga korban. (*)

Lagi, perebutan lahan eks PTPN II memakan korban. Kemarin, seorang penggarap lahan tewas mengenaskan dikeroyok penggarap lainnya. Peristiwa itu terjadi di lahan garapan Pasar X Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang. Menyedihkan. Persoalan tanah memang belum bisa dituntaskan.

Menyadari ada kejadian berulang semacam itu, saya teringat dengan sistem pembagian tanah di Benua Amerika. Dari beberapa laman yang saya kutip, menyebutkan mengenai ekspedisi Christopher Columbus yang diyakini untuk kali pertama berlayar ke Daratan Amerika. Spanyol dan Portugis dianggap founding fathers dari zaman yang disebut dalam sejarah Eropa sebagai the Age of Discovery.

Pada abad-abad berikutnya, barulah kerajaan Inggris, Prancis, Belanda, Swedia dan Denmark, mengikuti jejak langkah Spanyol dan Portugis melakukan ekspedisi yang dalam kaca mata para theoriest poskolonial disebut sebagai zaman kolonialisme itu. Tujuan kolonialisme tak lain ialah gold yang termasuk didalamnya adalah penguasaan atas tanah, gospel, dan glory.

Keadaan itu tak pelak membuat urusan tanah menjadi ruwet. Maka, pihak kolonial membuat sistem yang dianggap pas. Soal sistem pembagian ini tertuang bagus dalam film yang berjudul Far and Away. Ya, film yang dibintangi Tom Cruise dan Nicole Kidman yang diproduksi tahun 1992 itu memang bercerita soal perjuangan mendapatkan tanah impian. Tepatnya, soal pembagian tanah di Benua Amerika zaman dahulu. Dalam film tersebut digambarkan setiap kepala keluarga diberi bendera dan apabila bendera itu ditancapkan pada sebidang tanah kosong, maka tanah itu akan menjadi milik pribadi, garis luasnya pun telah ditentukan. Pemerintah kolonial lalu mencatatnya secara resmi.

Kira-kira seperti itulah pada awalnya sistem pembagian tanah di daratan Amerika seperti digambarkan dalam cerita film Far and Away. Dengan sistem seperti itu, kelak tak ada keributan atau perebutan atas tanah bagi sesama kulit putih karena pemerintah kolonial menganggapnya telah membaginya secara adil dan telah mencatatnya secara resmi.

Hasilnya? Lihatlah Amerika sekarang.

Tapi kata pribahasa, lain ladang lain belalang. Dengan kata lain, apa yang terjadi di Amerika tentunya berbeda dengan di Indonesia. Baiklah, saya tidak bicara soal tanah di era kerajaan-kerajaan zaman dulu di Nusantara. Saya ingin melihatnya sebagai kasus Indonesia saja; artinya sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 lalu.

Nah, jika merunut ke era Indonesia merdeka, maka lahan yang diperebutkan dan terus menjadi sengketa adalah lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN; terserah PTPN berapa. Namanya ‘eks’ tentunya bekas. Nah, ini bekas HGU. Namanya HGU berarti bukan milik PTPN, dia hanya memiliki hak untuk menggunakannya saja. Jadi, milik siapa tanah eks HGU PTPN II itu?

Pertanyaan di ataslah yang menjadi dasar dari semua sengketa yang sampai memakan korban nyawa tersebut. Kepemilikan lahan eks HGU tadi tak jelas. Beberapa orang menganggap tanah itu milik nenek moyang mereka yang direbut Belanda di era sebelum Indonesia merdeka. Bah, repot juga (dari tadi saya tak mau berbicara tentang sebelum Indonesia merdeka bukan?). Di sisi lain, ada pula beberapa orang yang mengaku-ngaku. Artinya, ketika HGU PTPN II habis, mereka langsung masuk dan menggarapnya. Soal luas bidang tanah yang mereka, ya, seperti film Far and Away tadi; sesuka hati. Mereka memasang pagar. Mereka membangun kebun. Dan, beberapa dari mereka yang tergabung dalam kelompok, memasang bendera dan plang alias papan nama kepemilikan. Bedanya, tanah mereka tidak dicatat seperti film Far and Away itu. Kalau pun ada pencatatan, berkasnya tidak begitu memiliki kekuatan hukum yang kuat. Tumpang tindih pencatatan pun kerap terjadi. Nah, inilah yang menambah konflik baru. Sengketa baru; sesuatu yang memakan korban seperti kejadian kemarin di Labuhan Deli itu.

Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas semua itu? Hm, entahlah, yang jelas yang menderita adalah keluarga korban. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/