SHANGHAI, SUMUTPOS.CO – Waktu di Shanghai saya terkesima dengan berita ini: orang antre beli rumah mewah. Yang disebut ‘rumah’ di sana berarti apartemen.
Apartemen mewah jadi kacang goreng. Baru terjadi dua minggu lalu. Menjelang saya berangkat ke Amerika.
Misalnya di proyek Qiantan Ocean One yang dibangun Joy City Property. Dia hanya jual 437 unit. Sedangkan yang antre membeli 3.100 orang.
Padahal harga per meter perseginya selangit: 93.800 Renminbi. Atau sekitar Rp 190 juta/m2. Berati satu rumah yang luasnya 290 m2 itu harganya Rp55 miliar.
Mengapa begitu laris? Ternyata harga itu dianggap murah. Itulah harga maksimum yang ditetapkan pemerintah. Untuk kawasan itu. Untuk kelas itu. Harga pasarnya 20 persen lebih tinggi.
Apakah di Shanghai pemerintah menetapkan harga? Yang tidak boleh dilanggar? Begitulah.
Itu peraturan baru. Untuk mengendalikan gilanya kenaikan harga rumah. Tak tertahankan. Sudah menjadi keluhan nasional: rakyat tidak akan lagi mampu beli rumah. Sebesar apa pun UMR-nya.
Anak-anak muda stress berat. Padahal untuk berani melamar (calon istri) harus sudah bisa beli rumah (mencicil). Malu.
Saya lihat di Tiongkok tidak ada budaya menjadi kontraktor: pengantin baru mengontrak rumah.
Peraturan baru itu diharap bisa ikut mengendalikan gilanya kenaikan harga apartemen. Tapi banyak pula yang skeptis: mana bisa. Peraturan itu dibuat hanya untuk disiasati.
Harga maksimum itu benar-benar jauh dari harga pasar. Bahkan, kata teman-teman saya, lebih murah dari harga rumah di pasar second hand.
Antrean serupa juga terjadi di proyek baru Daning Jianmao Palace. Juga di Shanghai yang Sabtu dua minggu lalu melakukan penjualan 382 unit. Harga per unitnya sekitar Rp40 miliar. Yang mendaftar 751 orang.
Padahal untuk mendaftar saja sudah harus menyetor uang Rp2 miliar. Juga harus menunjukkan bukti punya deposito minimal Rp 6 miliar. Baru sisanya akan dibiayai dari pinjaman bank.
SHANGHAI, SUMUTPOS.CO – Waktu di Shanghai saya terkesima dengan berita ini: orang antre beli rumah mewah. Yang disebut ‘rumah’ di sana berarti apartemen.
Apartemen mewah jadi kacang goreng. Baru terjadi dua minggu lalu. Menjelang saya berangkat ke Amerika.
Misalnya di proyek Qiantan Ocean One yang dibangun Joy City Property. Dia hanya jual 437 unit. Sedangkan yang antre membeli 3.100 orang.
Padahal harga per meter perseginya selangit: 93.800 Renminbi. Atau sekitar Rp 190 juta/m2. Berati satu rumah yang luasnya 290 m2 itu harganya Rp55 miliar.
Mengapa begitu laris? Ternyata harga itu dianggap murah. Itulah harga maksimum yang ditetapkan pemerintah. Untuk kawasan itu. Untuk kelas itu. Harga pasarnya 20 persen lebih tinggi.
Apakah di Shanghai pemerintah menetapkan harga? Yang tidak boleh dilanggar? Begitulah.
Itu peraturan baru. Untuk mengendalikan gilanya kenaikan harga rumah. Tak tertahankan. Sudah menjadi keluhan nasional: rakyat tidak akan lagi mampu beli rumah. Sebesar apa pun UMR-nya.
Anak-anak muda stress berat. Padahal untuk berani melamar (calon istri) harus sudah bisa beli rumah (mencicil). Malu.
Saya lihat di Tiongkok tidak ada budaya menjadi kontraktor: pengantin baru mengontrak rumah.
Peraturan baru itu diharap bisa ikut mengendalikan gilanya kenaikan harga apartemen. Tapi banyak pula yang skeptis: mana bisa. Peraturan itu dibuat hanya untuk disiasati.
Harga maksimum itu benar-benar jauh dari harga pasar. Bahkan, kata teman-teman saya, lebih murah dari harga rumah di pasar second hand.
Antrean serupa juga terjadi di proyek baru Daning Jianmao Palace. Juga di Shanghai yang Sabtu dua minggu lalu melakukan penjualan 382 unit. Harga per unitnya sekitar Rp40 miliar. Yang mendaftar 751 orang.
Padahal untuk mendaftar saja sudah harus menyetor uang Rp2 miliar. Juga harus menunjukkan bukti punya deposito minimal Rp 6 miliar. Baru sisanya akan dibiayai dari pinjaman bank.