Melihat Konsep SEZ Setelah Lima Tahun di Cina
SECARA ekonomi, terapi untuk mengatasi persoalan pengangguran dan kemiskinan adalah dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7 persen per tahun), berkualitas, dan berkesinambungan. (Faisal Basri; 2006)
PERTUMBUHAN yang dimaksud adalah yang mampu menyediakan kesempatan kerja dalam jumlah besar, dan memberikan pendapatan memadai bagi pekerja, sehingga mereka minimal mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarganya berupa pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi yang selama ini sebagian besar bertumpu pada kegiatan konsumtif harus segera dikoreksi dengan pola pertumbuhan ekonomi yang secara dominan digerakkan sektor riil produktif serta dikerjakan oleh dan untuk kesejahteraan mayoritas rakyat.
Polemik tentang angka kemiskinan terjawab ketika Badan Pusat Statistik secara resmi mengumumkan tingkat kemiskinan pada Maret 2006 membengkak menjadi 39,05 juta orang (17,75 persen), naik 3,95 juta orang dari 35,10 juta orang (15,97 persen) per Februari 2005. (Kompas, 12/2007)
Oleh sebab itu, angka pengangguran dan kemiskinan yang dikemukakan Presiden RI dalam Pidato Kenegaraan tersebut mestinya direvisi bila hendak dijadikan dasar perumusan kebijakan dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan.
Menurut perhitungan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (2005), jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 7 persen per tahun, kondisi ekonomi seperti Malaysia saat ini baru akan dicapai Indonesia pada tahun 2035. Terlalu lama!
Besarnya jumlah orang miskin dan tanpa pekerjaan, jika tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan berbagai macam perilaku masyarakat yang kontraproduktif bagi kemajuan bangsa, seperti malas, tidak produktif, mudah tersinggung, gelap mata, anarkis, putus asa, dan perilaku kriminal lainnya.
Akibat ketiadaan lapangan pekerjaan, saat ini jutaan tenaga kerja Indonesia dari berbagai daerah menyeberang ke negeri tetangga sekadar mendapatkan pekerjaan sebagai buruh kasar di kawasan-kawasan industri dan pabrik pengilangan minyak sawit mentah.
Data menyebutkan, dari sekitar 1,2 juta tenaga kerja Indonesia di Malaysia; 600.000 orang bekerja di perkebunan sawit yang luasnya 3,5 juta ha dengan total produksi 15 juta ton CPO (peringkat ke-1 di dunia) pada tahun 2005. (Rohmin Dahuri; 2006)
Di Indonesia, khususnya darah-daerah yang potensial, keterbatasan investasi yang menerobos sektor-sektor industri ini membuat angka penyerapan tenega kerja kurang menggembirakan. Tercatat sejumlah daerah yang saat ini konsisten mendatangkan investasi adalah Tangerang, Pulau Batam, dan Pulau Bintan di Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah lain yang sebetulnya prospektif untuk dikembangkan menjadi kawasan-kawasan industri baru ternyata belum diminati oleh investor asing. Pemerintah pusat dan daerah juga terlambat mengantisipasinya dengan strategi pemasaran yang mampu menarik pemodal untuk mengembangkan kegiatan bisnis mereka di daerah-daerah potensial tersebut.Belajar dari itu, pemerintah belakangan memunculkan inovasi kebijakan ekonomi dengan instrumen strategi pengembangan FTZ (free trade zone) atau special economic zone (SEZ).Kawasan ini merupakan kawasan ekonomi bebas yang dibangun untuk menarik investasi, mengembangkan perdagangan dan ekspor, serta mengembangkan ekonomi kawasan itu secara keseluruhan.
Strategi dan kebijakan ini dilakukan dengan memberi fasilitas dan insentif fiskal yang amat menarik dan bersifat khusus sehingga investor dapat tertarik karena mendapat keuntungan ekonomi pada awal investasi diputuskan.
Selain insentif itu, pemerintah atau otorita zona harus membangun sistem infrastruktur yang baik agar investasi menjadi mudah, industri dan perdagangan kian berkembang. Bagi Indonesia hal ini menjadi masalah karena anggaran publik amat terbatas.
Tidak seperti dulu, banyak peluang dari anggaran publik untuk membangun infrastruktur seperti pernah dilakukan di Pulau Batam.
Sejumlah wilayah di Indonesia, tidak terkecuali Sumatera Utara, mulai bergegas menyambut konsep SEZ ini.
Dalam sebuah artikel di BEI News 32 Edition Year V, July-August 2006, yang bertajuk: Indonesia Special Economic Zone (Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia/KEKI): Enticement for Investors, dielaborasi konsep Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dikembangkan di Indonesia, sebagai berikut:
‘’…KEKI is a prototype special economic zone that is specially created. Going forward, this region is projected to become the center for business and industrial development for local and foreign companies (multinationals). Why are they special? A number of administrative improvements in regards to licensing and tax serve to attract investors to this region. In addition to this, a various infrastructure that support business and industry are also available. All types of facilities, that are ready to use, are available. Going forward, through this region which is characterized as the region that sells, KEKI is expected to be able to attract investor interest from within and outside of Indonesia. Once again, KEKI is the Indonesian government’s serious commitment to widely open the valves of (foreign and domestic) investment.’’
SEZ di Cina
Terciptanya Special Economic Zone (SEZ) sebagai surga investasi baru memang tidak terlepas dari keberhasilan pemerintah Cina mengembangkan kawasan ekonomi khusus di beberapa provinsi.
Strategi ini sesungguhnya sudah dilakukan di Cina yang sebelumnya belajar dari Singapura.
Dalam paper China’s Special Economic Zones: Five Years After An introduction di Asian Journal of Public Administration terbitan 13 Sepetembr 2005, yang ditulis oleh Chung-Tong Wu, seorang pembantu professor di Department of Town and Country Planning, University of Sydney, disebutkan bahwa,
‘’…The rapid physical development of Shenzhen is impressive and the achievements in providing employment and in terms of generated industrial output are considerable. Acknowledging these accomplishments does not prevent one from casting acritical eye over the achievements, raising questions about the basis of these achievements and assessing them in the light of long- term goals.’’
Dalam tulisan ini, Wu memaparkan konsep SEZ di Cina dibangun seperti membangun sarang burung Walet.
Konstruksi fisik bangunan dirancang sedemikian rupa agar burung-burung itu lebih dulu dirangsang dengan bunyi-bunyian agar tertarik membuat sarang di dalam bangunan tersebut.
Wu meyakinkan bahwa sejarah awal SEZ di kota-kota di daratan Cina pun pada awal tahun 1990-an masih dalam pembangunan, kecuali kawasan Shenzhen di bagian selatan yang berbatasan dengan Hongkong serta kawasan yang dinyatakan sebagai Zona Ekonomi Khusus.
Salah satu yang menjadi catatan Wu adalah berbagai pembangunan kota-kota di kawasan Cina, seperti Kunming di Provinsi Yunnan, Chengdu di Provinsi Sichuan, Changsha di Provinsi Hunan, Ningbo di Provinsi Zhejiang, Xiamen di Provinsi Fujian, dan kota lainnya, adalah munculnya berbagai bangunan hotel, restoran, dan tempat hiburan.
Bangunan-bangunan ini yang pertama kali muncul dan merebak di mana-mana. Ibarat membangun sarang untuk menarik burung, kota-kota di seluruh daratan Cina dirancang untuk menarik penanaman modal yang tidak hanya dicerminkan oleh berbagai kemudahan regulasi, prasarana dan sarana pembangunan bagi investasi dan lainnya, tetapi juga kesiapan berbagai kota di daratan Cina dalam memberikan kenyamanan maupun kemudahan orang-orang asing (khususnya) untuk menanamkan uangnya.
Dikatakan Wu, sejak akhir 1970-an Pemerintah Cina memutuskan untuk mereformasi ekonomi nasionalnya. Kebijakan dasar negara komunis tersebut dirombak besar-besaran kemudian melakukan reformasi secara menyeluruh bahkan dengan mengajak masuk investor asing.
Selama tahun 1980-an Pemerintah Cina melewati beberapa tahapan untuk menerapkan Kawasan Ekonomi Khusus dan juga membuka beberapa kota sebagai kawasan terbuka dengan memfokuskan kawasan pada pengembangan teknologi dan ekonomi.Pada tahun tersebut Pemerintah Cina mencoba menerapkan Kawasan Ekonomi Khusus di Shenzhen, Zhuhai, and Shantou di Provinsi Guangdong dan Xiamen di Provinsi Fujian.
Dukungan Pemerintah
Pembangunan kota-kota di daratan Cina merefleksikan adanya perubahan sikap Partai Komunis Cina (PKC) yang berkuasa terhadap sektor properti dan terhadap permintaan permukiman yang tidak pernah terungkapkan para penduduk di kawasan perkotaan.
Kota seperti Beijing sekarang penduduknya berjumlah 15 juta, Shanghai sekitar 17 juta orang, di mana sebelumnya mereka tinggal di bangunan-bangunan seperti barak.Dan, yang paling berkesan, seperti yang dituliskan Wu, adalah perubahan tata kota-kota besar-kecil serta daerah pedesaan yang mengutamakan kebersihan yang meluas dan merata.
Aspek Kebersihan yang dicapai kota seperti Beijing, Shanghai, Urumuqi, Chongqing, dan lainnya setara dengan kebersihan kota di Singapura, Tokyo, dan berbagai kota besar dunia.
SEZ memang telah membangkitkan perekonomian Cina.Komitmen kuat juga ditunjukkan oleh pemerintah. Pada Agustus 1980, Kongres Rakyat Nasional Cina meloloskan peraturan yang mengatur tentang Kawasan Ekonomi Khusus bagi Provinsi Guangdong dan Shenzhen dengan sebutan Shenzhen Special Economy Zone (SSEZ).
Empat tahun berselang Pemerintah Cina membuka KEK untuk 14 kota untuk ditawarkan ke investor swasta, yakni: Dalian, Qinhuangdao, Tianjin, Yantai, Qingdao, Lianyungang, Nantong, Shanghai, Ningbo, Wenzhou, Fuzhou, Guangzhou, Zhanjiang dan Beihai.
Di samping 14 kota tersebut, kini Cina sudah mengoleksi 15 free trade zones, 32 kawasan yang memiliki pengembangan ekonomi dan teknologi khusus, dan 53 kawasan industri berteknologi tinggi dengan ukuran menengah dan besar. Singkat kata dengan membuka seluas-luasnya investasi asing dengan model KEK perekonomian Cina pun meningkat tajam, bahkan kini menjadi salah satu negara yang disegani di bidang ekonomi.
Sebagai contoh, Provinsi Shenzhen yang memiliki kawasan industri khusus berteknologi tinggi kini mampu meraup 81.98 billion yuan atau meningkat hingga 40,5 % dari total nilai industri dari berbagai kawasan. Begitu juga KEK Shanghai Pudong yang didirikan sejak 1992, pada tahun 1999 penghasilan kotor provinsi tersebut mencapai 145 billion yuan. Suatu angka yang menakjubkan.
Wu melaporkan, akibat kemajuan ekonomi yang tumbuh 9 persen berturut-turut dalam kurun waktu dua dekade, muncul juga kebutuhan di kalangan kelas menengah untuk menikmati arti kemajuan dan kesejahteraan ekonomi.Dengan demikian, tidak mengherankan jika ratusan pekerja terlihat sibuk di berbagai proyek bangunan dan prasarana umum di berbagai kota. Cina pun menjadi sebuah negara yang paling sibuk dalam pembangunan. Dan, pembangunan berbagai wilayah di seantero daratan Cina ditujukan untuk mengekspresikan kemajuan-kemajuan yang selama ini dicapai.TDEDalam konteks SEZ, landasan teori yang dianggap cukup tepat menggambarkannya adalah penjelasan atas tiga model pembangunan.
Model pembangunan yang tepat untuk mendeskripsikan SEZ adalah model yang berorientasi pada pertumbuhan (economic growth), dalam hal ini meningkatkan pertumbuhan investasi asing dengan melahirkan kawasan-kawasan ekonomi khusus.
Model ini menjelaskan kenaikan pendapatan nasional dalam jangka waktu misal per tahun.
Tingkat pertumbuhan ekonomi mempengaruhi penyerapan tenaga kerja.Oleh karena itu, proses pembangunan menjadi terpusat pada produksi, antara lain melalui:
a. Akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan SDM.
b. Peningkatan tenaga kerja baik secara kuantitas maupun kualitas
c. Kemajuan teknologi yakni cara baru untuk menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tradisional.
Dalam konsep economic growth, maka trickle down effect (TDE) menjadi sasaran utama karena menyebabkan rembesan kemakmuran ke bawah.
Misalnya, investor yang diberikan kemudahan fasilitas pajak atau perizinan akan membangun kawasan-kawasan industri yang menyerap ribuan tenaga kerja.
Setelah itu rembesan akan menghidupkan kawasan sekitar dengan hidupnya sektor-sektor ekonomi informal, seperti warung, tukang ojek, atau rumah kontrakan.TDE ini juga akan merembet terhadap munculnya sub-sub industri yang menyuplai langsung kebutuhan kawasan-kawasan industri.
Penciptaan kawasan-kawasan pertumbuhan ini pada akhirnya melahirkan perputaran uang dalam volume yang besar. (**N)
Gambaran Tiga Model Pembangunan Dalam Teori
Karakteristik |
Strategi |
||
Economic Growth | Basic Needs | People Centered | |
Fokus | Industri | Pelayanan Public Service | Manusia Empowering |
Nilai | Berpusat pada industri | Berkiblat pada manusia | Berpusat pada manusia |
Indikator | Ekonomi makro (pertumb.nya brp %) | Indikator sosial | Hub. manusia dg sbr daya |
Peran Pemerintah | Entrepreneur | Service Provider | Enabler/Facilitator |
Sumber Utama | Modal | Kreativitas & Komitmen | Administratif & Anggaran |
Kendala | Konsentrasi & marginalisasi konsentrasi pada fasilitas beberapa konglomerat dehumanisasi: tidak memanusiakanManusia | Keterbatasan anggaran | Struktur & Prosedur ygmendukung |