31 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Demam

Ramadhan Batubara

Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Cuaca tak jelas. Bukan pancaroba tapi anomali. Panas datang dan sesaat kemudian hujan. Hujan deras sesaat kemudian kering dan terik. Mungkin inilah yang membuat beberapa orang langsung demam.

Ujung dari demam adalah kerja jadi tak maksimal. Pimpinan kerja jadi repot, anak buahnya banyak yang mangkir. Demam pun dijadikan antagonis; tokoh yang menjijikkan; tokoh yang jelek; dan, tokoh yang harus dimatikan. Padahal, kalau mau bijak, sosok antagonis adalah tokoh penting dalam sebuah cerita. Dialah yang membangkitkan citra sang tokoh protagonis. Antagonis memang diciptakan jelek agar si protagonis tampak hebat.

Demam sebagai antagonis pun begitu. Ketika di sebuah perusahaan banyak karyawannya yang demam, maka yang sehat akan makin menonjol bukan?
Soal demam memang cukup meresahkan. Dia bukan penyakit hebat, malah istilah kawan saya: demam adalah penyakit kacangan. Tapi, demam mampu membuat seseorang tumbang. Fokus jadi hilang dan bisa membuat kerja berantakan. Itulah sebab hingga muncul demam-demam lainnya seperti demam panggung, demam lapangan, dan sebagainya.

Tapi, kenapa harus demam? Ya, bukankah penyakit tidak hanya demam? Kenapa tak ada malaria panggung atau malaria lapangan?
Mungkin karena demam adalah penyakit kacanganlah dia dijadikan sebutan untuk situasi tersebut. Maksudnya, demam bukanlah penyakit akut. Dia bisa sembuh hanya dengan istirahat sebentar. Paling cuma sehari dua hari saja. Jadi, demam cenderung bersifat sementara.

Nah, belakangan ini muncul juga demam lain. Namanya demam Pilgubsu. Perhatikan saja, beberapa tokoh mulai panas dingin. Mulai meriang melihat tokoh lain yang melakukan pencitraan. Bahkan, sampai ada yang mulai siap-siap pindah perahu partai karena takut kalah dukungan.

Situasi dan kondisi pergerakan tokoh-tokoh ini bak cuaca yang tak jelas. Anomali. Jadi bukan lagi masa pancaroba yang lebih mengarah pada perubahan cuaca yang standar seperti musim hujan ke musim kemarau. Dia mengarah kepada ketidaknormalan cuaca: hujan tiba-tiba dan panas tiba-tiba.

Situasi ini bisa menjadi riskan. Pendaftaran Pilgubsu masih lama, tapi para tokoh sudah sibuk. Bak demam tinggi, para tokoh mulai gemetar, panas dingin, pusing, bahkan sampai ada yang pusing. Tidak mereka saja, para pendukung mereka pun mulai pilek dan sibuk mencari obat agar batuk tak jadi berdahak.
Maka, beberapa tokoh mulai mencari dokter. Ya, dukungan dari dokter agar demam teratasi. Suntikan dari dokter muncul. Lalu, keluarlah pernyataan: tokoh A telah mendapat obat dari dokter B. Istilah politisnya: tokoh A direstui si polan (tokoh penting seperti pimpinan partai atau sosok penting lainnya) untuk memimpin Sumatera Utara.

Begitulah, soal demam memang tak membuat nyaman. Memang dia hanya penyakit kacangan, tapi dia bisa sangat berperan dalam menentukan nasib. Jadi, jangan sampai kena demam. Itu saja. (*)

Ramadhan Batubara

Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Cuaca tak jelas. Bukan pancaroba tapi anomali. Panas datang dan sesaat kemudian hujan. Hujan deras sesaat kemudian kering dan terik. Mungkin inilah yang membuat beberapa orang langsung demam.

Ujung dari demam adalah kerja jadi tak maksimal. Pimpinan kerja jadi repot, anak buahnya banyak yang mangkir. Demam pun dijadikan antagonis; tokoh yang menjijikkan; tokoh yang jelek; dan, tokoh yang harus dimatikan. Padahal, kalau mau bijak, sosok antagonis adalah tokoh penting dalam sebuah cerita. Dialah yang membangkitkan citra sang tokoh protagonis. Antagonis memang diciptakan jelek agar si protagonis tampak hebat.

Demam sebagai antagonis pun begitu. Ketika di sebuah perusahaan banyak karyawannya yang demam, maka yang sehat akan makin menonjol bukan?
Soal demam memang cukup meresahkan. Dia bukan penyakit hebat, malah istilah kawan saya: demam adalah penyakit kacangan. Tapi, demam mampu membuat seseorang tumbang. Fokus jadi hilang dan bisa membuat kerja berantakan. Itulah sebab hingga muncul demam-demam lainnya seperti demam panggung, demam lapangan, dan sebagainya.

Tapi, kenapa harus demam? Ya, bukankah penyakit tidak hanya demam? Kenapa tak ada malaria panggung atau malaria lapangan?
Mungkin karena demam adalah penyakit kacanganlah dia dijadikan sebutan untuk situasi tersebut. Maksudnya, demam bukanlah penyakit akut. Dia bisa sembuh hanya dengan istirahat sebentar. Paling cuma sehari dua hari saja. Jadi, demam cenderung bersifat sementara.

Nah, belakangan ini muncul juga demam lain. Namanya demam Pilgubsu. Perhatikan saja, beberapa tokoh mulai panas dingin. Mulai meriang melihat tokoh lain yang melakukan pencitraan. Bahkan, sampai ada yang mulai siap-siap pindah perahu partai karena takut kalah dukungan.

Situasi dan kondisi pergerakan tokoh-tokoh ini bak cuaca yang tak jelas. Anomali. Jadi bukan lagi masa pancaroba yang lebih mengarah pada perubahan cuaca yang standar seperti musim hujan ke musim kemarau. Dia mengarah kepada ketidaknormalan cuaca: hujan tiba-tiba dan panas tiba-tiba.

Situasi ini bisa menjadi riskan. Pendaftaran Pilgubsu masih lama, tapi para tokoh sudah sibuk. Bak demam tinggi, para tokoh mulai gemetar, panas dingin, pusing, bahkan sampai ada yang pusing. Tidak mereka saja, para pendukung mereka pun mulai pilek dan sibuk mencari obat agar batuk tak jadi berdahak.
Maka, beberapa tokoh mulai mencari dokter. Ya, dukungan dari dokter agar demam teratasi. Suntikan dari dokter muncul. Lalu, keluarlah pernyataan: tokoh A telah mendapat obat dari dokter B. Istilah politisnya: tokoh A direstui si polan (tokoh penting seperti pimpinan partai atau sosok penting lainnya) untuk memimpin Sumatera Utara.

Begitulah, soal demam memang tak membuat nyaman. Memang dia hanya penyakit kacangan, tapi dia bisa sangat berperan dalam menentukan nasib. Jadi, jangan sampai kena demam. Itu saja. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/