33.6 C
Medan
Tuesday, June 25, 2024

Harta Rampasan

Uang senilai tujuh puluh miliar lebih yang katanya hasil korupsi Syamsul Arifin dan kawan-kawan dikembalikan ke Kabupaten Langkat. Sebelumnya dana itu disita oleh KPK. Nah, setelah ada putusan terhadap kasus Syamsul Arifin, maka KPK pun mengembalikan uang tersebut ke Pemkab Langkat. Wajar, pasalnya dana yang dikorupsi memang bersumber dari kabupaten tersebut.

Sayangnya, pengembalian dana itu ternyata tidak selesai begitu saja. Muncul pertanyaan sederhana, setelah dikembalikan dana itu mau digunakan untuk apa? Maka, ada yang menjawab, gunakan saja untuk kepentingan rakyat; bangun fasilitas dan berikan pelayanan maksimal. Tentu saja jawaban itu sangat bijak. Makin bijak karena yang mengungkapkan ide itu adalah seorang anggota dewan di kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Naggroe Aceh Darussalam tersebut.
Sang anggota dewan pun tegas menggarisbawahi agar dana tersebut jangan digunakan untuk belanja pegawai. Maksudnya, bayar gaji PNS dan sebagainya. Setidaknya, bagi sang anggota dewan, kebutuhan publik lebih urgen. Ya, seorang kawan juga anggap begitu, setidaknya ketika uang korupsi tersebut belum dikembalikan, PNS tetap gajian bukan? Menariknya, kawan lain sempat berkata kalau PNS dan honorer di Kabupaten Langkat memang menunggu pengembalian dana tersebut. Katanya, abdi negara di sana terancam tak gajian.

Di sisi lain, dari Jakarta malah ada suara agar dana tersebut ditahan dulu. Artinya, jangan digunakan. Pasalnya, Syamsul masih memiliki peluang untuk bebas murni dalam PK. Nah, jika bebas murni, maka uang itu akan kembali ke Syamsul.
Bah, entah mana yang benar, yang jelas kasus ini bagi saya mirip dengan harta rampasan perang. Seperti sama-sama kita paham, harta rampasan perang adalah segala barang, benda berharga dan perabotan yang diambil secara paksa dari pemiliknya yang sah melalui penjarahan selama atau setelah peperangan. Biasa rampasan perang juga diakukan berdasarkan keinginan para prajurit yang sedang terlibat langsung dalam peperangan dan bukan oleh kesepakatan dari kedua belah pihak.

Pertanyaannya, apakah dana yang dikembalikan ke Pemkab Langkat merupakan harta rampasan perang dari Syamsul Arifin? Sekilas tampaknya begitu, setidak pihak pemerintah daerah dan anggota dewan daerah bak prajurit di dapur umum yang menyambut prajurit lainnya yang baru pulang perang dengan harta rampasan yang banyak. Dan, prajurit yang melakukan perampasan adalah KPK.

Padahal, harta itu bukan milik Syamsul Arifin. Dari berita yang beredar hingga kini dan putusan pengadilan, harta itu adalah milik Pemkab Langkat. Jika begitu Syamsul adalah prajurit di medan perang yang melakukan perampasan sekehendak hati dan terjadi secara cepat. Jadi, Pemkab Langkat adalah sosok yang ‘kalah’ perang.

Lucunya, suara dari Jakarta malah mengaburkan itu lagi. Ya, seperti yang saya katakan tadi, Pemkab Langkat diminta untuk menunda penggunaan dana tersebut karena Syamsul memiliki peluang bebas murni. Dengan kalimat itu, bukankah Syamsul bak sosok yang kalah perang; dana yang dikembalikan ke Pemkab Langkat adalah rampasan perang bukan? Akhirnya, negara atau yang lebih tepatnya KPK adalah prajurit yang melakukan perampasan.

Tapi sudahlah, yang jelas, dana sebanyak puluhan miliar itu kini bisa menjadi sangat menggiurkan bukan? Ayolah, setidaknya dana itu sempat dianggap hilang dan banyak kasus korupsi yang dananya entah berada di mana.
Kelebihan Syamsul adalah mengembalikan dana itu. Dan, kelebihan Syamsul lagi adalah membuat khalayak bingung untuk menggunakan uang itu. Seorang kawan malah mengatakan Syamsul memang pintar. Bayangkan saja, dia tidak hanya membuat pemerintah repot dengan uang yang dikorupsinya, tapi dia juga mampu membuat pemerintah repot dengan uang yang dikembalikannya. (*)

Uang senilai tujuh puluh miliar lebih yang katanya hasil korupsi Syamsul Arifin dan kawan-kawan dikembalikan ke Kabupaten Langkat. Sebelumnya dana itu disita oleh KPK. Nah, setelah ada putusan terhadap kasus Syamsul Arifin, maka KPK pun mengembalikan uang tersebut ke Pemkab Langkat. Wajar, pasalnya dana yang dikorupsi memang bersumber dari kabupaten tersebut.

Sayangnya, pengembalian dana itu ternyata tidak selesai begitu saja. Muncul pertanyaan sederhana, setelah dikembalikan dana itu mau digunakan untuk apa? Maka, ada yang menjawab, gunakan saja untuk kepentingan rakyat; bangun fasilitas dan berikan pelayanan maksimal. Tentu saja jawaban itu sangat bijak. Makin bijak karena yang mengungkapkan ide itu adalah seorang anggota dewan di kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Naggroe Aceh Darussalam tersebut.
Sang anggota dewan pun tegas menggarisbawahi agar dana tersebut jangan digunakan untuk belanja pegawai. Maksudnya, bayar gaji PNS dan sebagainya. Setidaknya, bagi sang anggota dewan, kebutuhan publik lebih urgen. Ya, seorang kawan juga anggap begitu, setidaknya ketika uang korupsi tersebut belum dikembalikan, PNS tetap gajian bukan? Menariknya, kawan lain sempat berkata kalau PNS dan honorer di Kabupaten Langkat memang menunggu pengembalian dana tersebut. Katanya, abdi negara di sana terancam tak gajian.

Di sisi lain, dari Jakarta malah ada suara agar dana tersebut ditahan dulu. Artinya, jangan digunakan. Pasalnya, Syamsul masih memiliki peluang untuk bebas murni dalam PK. Nah, jika bebas murni, maka uang itu akan kembali ke Syamsul.
Bah, entah mana yang benar, yang jelas kasus ini bagi saya mirip dengan harta rampasan perang. Seperti sama-sama kita paham, harta rampasan perang adalah segala barang, benda berharga dan perabotan yang diambil secara paksa dari pemiliknya yang sah melalui penjarahan selama atau setelah peperangan. Biasa rampasan perang juga diakukan berdasarkan keinginan para prajurit yang sedang terlibat langsung dalam peperangan dan bukan oleh kesepakatan dari kedua belah pihak.

Pertanyaannya, apakah dana yang dikembalikan ke Pemkab Langkat merupakan harta rampasan perang dari Syamsul Arifin? Sekilas tampaknya begitu, setidak pihak pemerintah daerah dan anggota dewan daerah bak prajurit di dapur umum yang menyambut prajurit lainnya yang baru pulang perang dengan harta rampasan yang banyak. Dan, prajurit yang melakukan perampasan adalah KPK.

Padahal, harta itu bukan milik Syamsul Arifin. Dari berita yang beredar hingga kini dan putusan pengadilan, harta itu adalah milik Pemkab Langkat. Jika begitu Syamsul adalah prajurit di medan perang yang melakukan perampasan sekehendak hati dan terjadi secara cepat. Jadi, Pemkab Langkat adalah sosok yang ‘kalah’ perang.

Lucunya, suara dari Jakarta malah mengaburkan itu lagi. Ya, seperti yang saya katakan tadi, Pemkab Langkat diminta untuk menunda penggunaan dana tersebut karena Syamsul memiliki peluang bebas murni. Dengan kalimat itu, bukankah Syamsul bak sosok yang kalah perang; dana yang dikembalikan ke Pemkab Langkat adalah rampasan perang bukan? Akhirnya, negara atau yang lebih tepatnya KPK adalah prajurit yang melakukan perampasan.

Tapi sudahlah, yang jelas, dana sebanyak puluhan miliar itu kini bisa menjadi sangat menggiurkan bukan? Ayolah, setidaknya dana itu sempat dianggap hilang dan banyak kasus korupsi yang dananya entah berada di mana.
Kelebihan Syamsul adalah mengembalikan dana itu. Dan, kelebihan Syamsul lagi adalah membuat khalayak bingung untuk menggunakan uang itu. Seorang kawan malah mengatakan Syamsul memang pintar. Bayangkan saja, dia tidak hanya membuat pemerintah repot dengan uang yang dikorupsinya, tapi dia juga mampu membuat pemerintah repot dengan uang yang dikembalikannya. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/