Panen. Petani bersorak. Uang berlimpah. Dengan kata lain, adakah yang lebih indah bagi seorang petani selain panen yang berhasil?
Tapi, jika sebaliknya, petani bisa saja bunuh diri bukan? Bagaimana tidak, dia telah menginvestasikan dana, waktu, dan tenaga untuk panen yang dimimpikan. Apalagi, untuk mencapai panen itu, dia harus berutang. Ya, untuk sekadar membeli pupuk dan biaya kehidupan sehari-hari. Fiuh, panen yang gagal memang selalu dijauhi. Lucunya, bagaimana jika ada petani yang menunda panen?
Begini ceritanya, akhir-akhir ini harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit sedang turun. Dari harga yang rata-rata Rp1.200-an, tiba-tiba turun menjadi Rp800. Penurunan harga itu jelas membuat petani sawit merugi. Harga tak bisa menutupi angka produksi. Ujung-ujungnya, petani pun pusing tujuh keliling. Meski sejatinya mereka cenderung pasrah.
Permasalahannya, menurut kabar, harga itu turun karena ulah petani itu sendiri. Ya, mereka menunda panen hingga hasil panen menumpuk. Dengan banyaknya hasil panen, maka harga akan turun; sesuai hukum ekonomi.
Tapi, kenapa mereka menunda panen? Jawabnya, ini semua bukan karena sok atau merasa tak butuh panen. Seperti diketahui, beberapa waktu lalu ada libur panjang karena momen Lebaran. Nah, saat lebaran tentunya petani libur memanen TBS mereka. Di saat bersamaan, pihak perkebunan juga melakukan hal yang sama. Maka, setelah libur Lebaran usai, secara bersamaan juga mereka semua memanen sawit; petani dan pegawai perkebunan itu. Tentu saja TBS berlimpah. Pihak perkebunan yang biasanya membeli TBS petani langsung membatasi penerimaan TBS untuk pabrik kelapa sawit (PKS) mereka. Kenapa? Ya, karena TBS yang dihasilkan dari perkebunan mereka juga berlimpah. Contohnya di Nagori Sordang Bolon, Simalungun, yakni PKS Tinjowan. Biasanya pabrik itu menerima sawit petani sebanyak 150 ton per hari. Nah, pascalebaran, mereka hanya menerima 50 ton per hari. Dengan kata lain, di PKS Tinjowan saja ada 100 ton sawit yang mereka tolak, yakni sawit milik petani. Coba bayangkan berapa PKS yang ada di Sumut dan berapa ton yang mereka tolak akibat panen ‘raya’ usai hari raya itu.
Itulah sebab, pihak Asosiasi Petani/Pedagang Kelapa Sawit Indonesia buka suara. Menurut mereka, masalah turunnya harga sawit bukan karena ulah petani, tapi lebih pada kekurangan PKS. Menurut mereka, kalau saja PKS di Sumut berjumlah banyak, tentunya semua sawit petani bisa diterima. Karena itu, solusi satu-satunya adalah dengan menambah jumlah PKS.
Tapi, membangun PKS kan tidak segampang membuat sarapan pagi; tinggal ceplok telur. Ketika PKS dibangun dia harus bisa mengcover minimal 2.000 hektar lahan sawit. Pun, letaknya tidak bisa terpusat, dia harus menyebar sesuai lahan atau kebun sawit yang tersedia. Terlepas dari itu, petani tetaplah merugi. Hasil panen mereka yang ditolak PKS rawan busuk. Truk-truk yang mengangkut TBS mereka harus mengantre di PKS, berharap diterima dan tidak menjadi busuk. Fiuh. Menyedihkan. Bak sawah yang sudah menguning tiba-tiba ada banjir, dia hanyut, gabahnya tak bisa diselematkan. Ah, seandainya saja panen bisa diasuransikan, tentu petani tidak akan sesedih sekarang bukan? (*)