30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Saatnya Berwirausaha

Toga MH Siahaan

Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Mayday. Pada 1 Mei lalu, puluhan ribu bahkan jutaan buruh se Indonesia berunjuk rasa. Mereka menuntut haknya sebagai buruh. Hasilnya, pemerintah menyatakan menghapus system outsourcing yang dianggap selama ini salah satu faktor yang melemahkan posisi tawar buruh.
Gayung bersambut. Pengusaha langsung menyatakan setuju.

Mereka lebih senang mempekerjakan buruh atau karyawan kontrak. Satu dari sejumlah permasalahan terselesaikan. Benarkah demikian? Tunggu dulu.
Sistem outsourcing seperti yang tertuang dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bisa dengan mudah diubah. Butuh proses panjang yang melibatkan pemerintah dan DPR untuk pembahasan ulang Undang-undang tersebut. Atau bila ingin diamandemen, masih harus disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Diyakini, akan banyak tarik menarik kepentingan untuk membahas undang-undang tersebut. Jadi, belum tentu satu dari sekian banyak masalah yang melemahkan buruh akan terselesaikan. Lantas bagaimana?

Posisi tawar buruh di Indonesia memang sangat lemah. Konon lebih lemah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Filipina. Salah satu penyebabnya, ketersediaan tenaga kerja yang melimpah, sementara lapangan kerja terbatas. Kondisi industri tanah air sebagai penyedia lapangan kerja bagi buruh, juga sedang tidak baik-baik amat. Belum lagi ancaman kemungkinan letusan bubble economy, atau imbas gelembung pertumbuhan ekonomi yang semu. Bila ini terjadi, krisis ekonomi yang terjadi 2007-2008 bisa jadi akan terulang. Akan banyak terjadi PHK. Tidak hanya di level buruh, yang namanya pekerja, manajer sekali pun, berpotensi di PHK.

Apa solusi? Salah satu cara yang paling masuk akal, ya punya usaha sendiri. Berwirausaha. Istilah kerennya, entrepreneurship.
Lima hari lalu, Minggu (29/4), di Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa membuka pelatihan wirausaha maju di Surabaya, Jatim. Dalam sambutannya, Hatta Rajasa menyampaikan, Indonesia memerlukan sedikit-dikitnya empat juta wirausaha untuk mendukung sektor perekonomian bangsa agar lebih tangguh di masa depan. Ucapan Hatta ini sebenarnya pengulangan dari apa yang sering diucapkan pengusaha sekelas Ciputra.

Hatta hanya menyebut target pemerintah Indonesia pada 2025 untuk masuk jajaran 10 besar dunia sebagai negara dengan kekuatan ekonomi tangguh.
Upaya yang dilakukan pemerintah memang belumlah cukup untuk menumbuhkan kewirausahaan. Tetapi, ya sudahlah. Tidak bijak bila hanya mengharapkan dari pemerintah. Toh rakyat kita, termasuk pengusaha kecil, sudah terbiasa berjuang tanpa bantuan dan keberpihakan dari pemerintah.
Yang penting, mulai saja berusaha. Bila belum berani meninggalkan pekerjaan saat ini dan fokus di perusahaan sendiri, ya jadikan sambilan aja. Atau delegasikan pengelolaannya pada pasangan, istri atau suami, anak. Malah bisa mengkaryakan orang lain. Buka lapangan kerja baru.

Seperti teman yang tergiur dengan besarnya peluang bisnis warung kopi (warkop), nekat membuka dan mempekerjakan orang yang masih keluarganya. Cuma jual air dan kopi atau milo sachet plus mie instan plus dua pesawat televisi untuk nonton bareng. Biar klop, menu ditambah nasi goreng dan bandrek susu serta jus. Modalnya relatif terjangkau.

Atau, teman baik yang berkeinginan kuat ingin menanam ubi kayu. Permintaan ubi kayu memang belum mampu dipenuhi petani, sedang harganya cenderung terus meningkat. Intinya, menanam ubi kayu tak ada ruginya, asal tak silap menggunakan dosis pupuk atau lupa pakai kapur untuk penetral tanah. Atau seperti tetangga sebelah yang rela resign dari pekerjaan demi merealisasikan cita-cita, usaha ternak bebek.

Jangan takut gagal. Setidaknya, itu kata para pengusaha yang sudah terlebih dahulu sukses dan para motivator. Dahlan Iskan bahkan berulangkali menegaskan, bersyukurlah kalau sudah pernah gagal berwirausaha. Itu tandanya sudah di depan mata. (*)

Toga MH Siahaan

Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Mayday. Pada 1 Mei lalu, puluhan ribu bahkan jutaan buruh se Indonesia berunjuk rasa. Mereka menuntut haknya sebagai buruh. Hasilnya, pemerintah menyatakan menghapus system outsourcing yang dianggap selama ini salah satu faktor yang melemahkan posisi tawar buruh.
Gayung bersambut. Pengusaha langsung menyatakan setuju.

Mereka lebih senang mempekerjakan buruh atau karyawan kontrak. Satu dari sejumlah permasalahan terselesaikan. Benarkah demikian? Tunggu dulu.
Sistem outsourcing seperti yang tertuang dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bisa dengan mudah diubah. Butuh proses panjang yang melibatkan pemerintah dan DPR untuk pembahasan ulang Undang-undang tersebut. Atau bila ingin diamandemen, masih harus disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Diyakini, akan banyak tarik menarik kepentingan untuk membahas undang-undang tersebut. Jadi, belum tentu satu dari sekian banyak masalah yang melemahkan buruh akan terselesaikan. Lantas bagaimana?

Posisi tawar buruh di Indonesia memang sangat lemah. Konon lebih lemah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Filipina. Salah satu penyebabnya, ketersediaan tenaga kerja yang melimpah, sementara lapangan kerja terbatas. Kondisi industri tanah air sebagai penyedia lapangan kerja bagi buruh, juga sedang tidak baik-baik amat. Belum lagi ancaman kemungkinan letusan bubble economy, atau imbas gelembung pertumbuhan ekonomi yang semu. Bila ini terjadi, krisis ekonomi yang terjadi 2007-2008 bisa jadi akan terulang. Akan banyak terjadi PHK. Tidak hanya di level buruh, yang namanya pekerja, manajer sekali pun, berpotensi di PHK.

Apa solusi? Salah satu cara yang paling masuk akal, ya punya usaha sendiri. Berwirausaha. Istilah kerennya, entrepreneurship.
Lima hari lalu, Minggu (29/4), di Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa membuka pelatihan wirausaha maju di Surabaya, Jatim. Dalam sambutannya, Hatta Rajasa menyampaikan, Indonesia memerlukan sedikit-dikitnya empat juta wirausaha untuk mendukung sektor perekonomian bangsa agar lebih tangguh di masa depan. Ucapan Hatta ini sebenarnya pengulangan dari apa yang sering diucapkan pengusaha sekelas Ciputra.

Hatta hanya menyebut target pemerintah Indonesia pada 2025 untuk masuk jajaran 10 besar dunia sebagai negara dengan kekuatan ekonomi tangguh.
Upaya yang dilakukan pemerintah memang belumlah cukup untuk menumbuhkan kewirausahaan. Tetapi, ya sudahlah. Tidak bijak bila hanya mengharapkan dari pemerintah. Toh rakyat kita, termasuk pengusaha kecil, sudah terbiasa berjuang tanpa bantuan dan keberpihakan dari pemerintah.
Yang penting, mulai saja berusaha. Bila belum berani meninggalkan pekerjaan saat ini dan fokus di perusahaan sendiri, ya jadikan sambilan aja. Atau delegasikan pengelolaannya pada pasangan, istri atau suami, anak. Malah bisa mengkaryakan orang lain. Buka lapangan kerja baru.

Seperti teman yang tergiur dengan besarnya peluang bisnis warung kopi (warkop), nekat membuka dan mempekerjakan orang yang masih keluarganya. Cuma jual air dan kopi atau milo sachet plus mie instan plus dua pesawat televisi untuk nonton bareng. Biar klop, menu ditambah nasi goreng dan bandrek susu serta jus. Modalnya relatif terjangkau.

Atau, teman baik yang berkeinginan kuat ingin menanam ubi kayu. Permintaan ubi kayu memang belum mampu dipenuhi petani, sedang harganya cenderung terus meningkat. Intinya, menanam ubi kayu tak ada ruginya, asal tak silap menggunakan dosis pupuk atau lupa pakai kapur untuk penetral tanah. Atau seperti tetangga sebelah yang rela resign dari pekerjaan demi merealisasikan cita-cita, usaha ternak bebek.

Jangan takut gagal. Setidaknya, itu kata para pengusaha yang sudah terlebih dahulu sukses dan para motivator. Dahlan Iskan bahkan berulangkali menegaskan, bersyukurlah kalau sudah pernah gagal berwirausaha. Itu tandanya sudah di depan mata. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/