Oleh: AZRUL ANANDA
Pernahkah Anda “dalam hal apa pun” mem-push diri sendiri hingga batas kemampuan? Lalu, berapa kali mengulanginya?
John R. Mohn, ayah kedua saya yang tinggal di Amerika Serikat, mungkin adalah orang yang paling berjasa dalam membuka mata dan pikiran saya. Sekaligus menemukan cara untuk “unlock” potensi yang ada pada diri saya.
Ayah angkat saya saat SMA di Kansas itu memang tidak punya anak laki-laki, jadi setiap hari menemani saya, menunjukkan dan mengajari banyak hal.
Yang paling berguna buat saya sekarang tentu bagaimana menjadi fotografer yang baik untuk koran sekolah maupun koran lokal yang dia pimpin. Plus bagaimana menjadi lay-outer yang baik, serta prinsip-prinsip dasar jurnalistik.
Selain itu, bagaimana menjadi kicker yang baik dalam permainan American Football, serta mengajari bagaimana menembak menggunakan pistol dan shot gun (wkwkwkwk), juga bagaimana memotong kayu perapian memakai kapak (seperti dalam film The Avengers: Age of Ultron).
Dan lain sebagainya.
Karena saya tinggal di kota kecil yang penduduknya tidak sampai 3.000 orang, dia pula teman terdekat saya selama setahun menjadi peserta exchange student (pertukaran pelajar) di Kansas itu.
Ketika kali pertama datang di rumahnya, saya tidak tahu bahwa dia ternyata juga keluarga media. Mungkin garis tangan saya harus selalu tinggal bersama keluarga media.
Dan karena kemampuan bahasa Inggris saya belum jago, maka dia menjadikan saya fotografer di koran sekolah (yang dia bantu didik dan kelola), plus membantu jadi fotografer di koran yang dia pegang.
“Kamera adalah alat yang baik supaya kamu bisa bertemu dengan orang, dan orang berbicara dengan kamu,” katanya waktu itu.
Sebuah kamera Nikon FM-2 pun selalu terkalung di leher saya selama bulan-bulan pertama SMA di Amerika.
Bagaimana hasil fotonya? Namanya anak superkurus umur 16 tahun, dengan kamera berat yang full manual, dan dengan mata yang minusnya terus mendekati angka 10, tentu saya bukanlah fotografer terbaik.
Masalah utama saya menurut John: Camera movement. Tangan tidak bisa tenang saat menge-klik. Ketajaman foto tidak bisa optimal.
Skill saya dalam memproses film dan mencetak foto di ruang gelap juga bukan yang terbaik.
Masalah utama saya menurut John: Tidak sabaran.
Meski demikian, kata John, saya ini termasuk yang tidak mau menyerah. Tidak pernah menghitung waktu. Tidak mau berhenti sampai pekerjaan tuntas.
Dan itu, kata dia, akan membuat saya lebih baik daripada fotografer sekolah lain saat itu.
“Bakat kamu ada di sini,” kata John sambil memosisikan tangannya sejajar dengan dada. “Orang lain ada yang di sini,” tambahnya lagi sambil menempatkan tangan di atas kepala.
Walau level talenta saya tidak setinggi yang lain, John bilang tidak perlu khawatir. Asal kita terus bekerja di batas kemampuan, maka upaya kita itu akan terus membentur atap batas kemampuan tersebut. Ketika terus dibentur-benturkan, atap batas kemampuan itu pun terdorong ke atas terus-menerus.
John lantas menempatkan lagi tangan kanannya sejajar dengan dada, lalu tangan kirinya memukul-mukul telapak tangan kanan itu pelan-pelan ke atas.
***