26.7 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Medan tak Genit Lagi?

Oleh: Herdiansyah
Wakil Pemimpin Redaksi Sumut Pos

“Medan tak indah lagi.” Demikian kalimat pendek yang dikirim seorang teman lama melalui short message service (SMS). Awalnya saya tak menghiraukannya. Saya juga tak berniat membalas pesan singkat tersebut.

“Mana lampu hias yang gemerlap dan taman yang indah dulu?” SMS keduanya juga tak saya jawab. Dan, memang saya merasa tak berwenang menjawabnya.

Saya bukan pejabat, apalagi penentu kebijakan di kota ini.

Meski SMS yang dikirim teman lama itu tak saya jawab, SMS ketiga, keempat dan selanjutnya terus masuk ke handphone saya. Isinya tentang kesannya selama tiga hari terakhir berada di Medan, setelah bertahun-tahun mengadu nasib ke bagian timur Indonesia.
Dia protes, kemudian membanding-bandingkan keindahan kota di Indonesia timur, tempatnya merantau dengan kota tempatnya dilahirkan dan dibesarkan. Dia juga membandingkan wajah Kota Medan saat dinahkodai Drs H Abdillah Ak MBA, dan kondisi saat ini.

Banyak protes disampaikannya kepada saya yang tentu saja salah alamat. Protes atau tepatnya masukan itu, sejatinya disampaikan kepada penentu kebijakan di kota ini. Tapi dia bingung ke mana menyampaikan ‘aspirasi’ tersebut. “Ya, nanti kita sampaikan kepada yang berkompeten bos!” Balasan SMS saya akhirnya menghentikan SMS yang dikirimnya secara bertubi-tubi.

Bagi orang Medan yang lama tak pulang kampung memang akan segera merasakan atmosfer berbeda begitu menjejakkan kaki di kota ini. Kota yang sejak tahun 2000 lalu rajin bersolek, kini terlihat tak ‘genit’ lagi.

Taman-taman di kota ini dibiarkan terlantar. Tak dirawat sama sekali. Aneka tanaman hias yang dulu menghias pedestrian dan persimpangan, kini telah musnah. Kalau pun masih ada, kondisinya lebih mirip semak belukar. Pemangkasan pohon pelindung di jalanan, juga tak lagi memperhatikan unsur estetika.

Con block yang dulu melapisi seluruh trotoar, kini telah berganti dengan lapisan semen permanen. Wajar saja jika sekarang banyak jalan yang mudah tergenang saat hujan turun. Pasalnya,  lapisan semen tak lagi mampu menyerap guyuran air yang turun dari langit. Akar pepohonan yang ada di sepanjang trotoar, juga tak ‘leluasa’ lagi mendapatkan air.

Lampu hias yang dulu menjadikan Medan ‘mandi’ bianglala saat malam menyambut, kini dibiarkan menjadi besi tua. Sebagian memang telah ditertibkan, namun sebagian lagi masih dibiarkan mangkrak. Lihat saja lampu hias berbentuk buruk merak di perempatan Jalan Imam Bonjol-Jalan Sudirman. Kepala burungnya telah hilang, tinggal pantatnya. Saat ini, gemerlap lampu hias memang masih terlihat, tapi hanya di sedikit tempat. Itupun dalam bentuk yang sangat biasa.

Saya memahami dan memaklumi uneg-uneg teman lama itu. Dia baru tiga hari tiba di Medan. Jadi wajar jika dia tak banyak tahu soal Kota Medan saat ini. Maaf juga bila dia tak tahu gebrakan yang telah dilakukan Wali Kota Medan, Drs H Rahudman Harahap MM.

Persoalan di Medan bukan hanya lampu hias dan taman. Banyak persoalan lain yang sebenarnya lebih penting dan menjadi  prioritas. Ah, nanti saat ketemu teman lama itu akan saya ceritakan bagaimana gebrakan yang telah dilakukan penerus Abdillah itu. Mulai gerakan bersih-bersih, penghijauan, hingga peningkatan pelayanan publik.

Teman saya pasti terkejut kalau saya ceritakan di Medan saat ini ada ambulan sampah. Dia juga mungkin tak percaya soal perahu dan petugasnya yang membersihkan sampah dari sungai-sungai yang membelah kota ini. Saya juga akan ceritakan bagaimana keberhasilan penataan pedagang kaki lima (PKL) di berbagai titik yang sebelumnya gagal dilakukan para pendahulunya.  (*)

Oleh: Herdiansyah
Wakil Pemimpin Redaksi Sumut Pos

“Medan tak indah lagi.” Demikian kalimat pendek yang dikirim seorang teman lama melalui short message service (SMS). Awalnya saya tak menghiraukannya. Saya juga tak berniat membalas pesan singkat tersebut.

“Mana lampu hias yang gemerlap dan taman yang indah dulu?” SMS keduanya juga tak saya jawab. Dan, memang saya merasa tak berwenang menjawabnya.

Saya bukan pejabat, apalagi penentu kebijakan di kota ini.

Meski SMS yang dikirim teman lama itu tak saya jawab, SMS ketiga, keempat dan selanjutnya terus masuk ke handphone saya. Isinya tentang kesannya selama tiga hari terakhir berada di Medan, setelah bertahun-tahun mengadu nasib ke bagian timur Indonesia.
Dia protes, kemudian membanding-bandingkan keindahan kota di Indonesia timur, tempatnya merantau dengan kota tempatnya dilahirkan dan dibesarkan. Dia juga membandingkan wajah Kota Medan saat dinahkodai Drs H Abdillah Ak MBA, dan kondisi saat ini.

Banyak protes disampaikannya kepada saya yang tentu saja salah alamat. Protes atau tepatnya masukan itu, sejatinya disampaikan kepada penentu kebijakan di kota ini. Tapi dia bingung ke mana menyampaikan ‘aspirasi’ tersebut. “Ya, nanti kita sampaikan kepada yang berkompeten bos!” Balasan SMS saya akhirnya menghentikan SMS yang dikirimnya secara bertubi-tubi.

Bagi orang Medan yang lama tak pulang kampung memang akan segera merasakan atmosfer berbeda begitu menjejakkan kaki di kota ini. Kota yang sejak tahun 2000 lalu rajin bersolek, kini terlihat tak ‘genit’ lagi.

Taman-taman di kota ini dibiarkan terlantar. Tak dirawat sama sekali. Aneka tanaman hias yang dulu menghias pedestrian dan persimpangan, kini telah musnah. Kalau pun masih ada, kondisinya lebih mirip semak belukar. Pemangkasan pohon pelindung di jalanan, juga tak lagi memperhatikan unsur estetika.

Con block yang dulu melapisi seluruh trotoar, kini telah berganti dengan lapisan semen permanen. Wajar saja jika sekarang banyak jalan yang mudah tergenang saat hujan turun. Pasalnya,  lapisan semen tak lagi mampu menyerap guyuran air yang turun dari langit. Akar pepohonan yang ada di sepanjang trotoar, juga tak ‘leluasa’ lagi mendapatkan air.

Lampu hias yang dulu menjadikan Medan ‘mandi’ bianglala saat malam menyambut, kini dibiarkan menjadi besi tua. Sebagian memang telah ditertibkan, namun sebagian lagi masih dibiarkan mangkrak. Lihat saja lampu hias berbentuk buruk merak di perempatan Jalan Imam Bonjol-Jalan Sudirman. Kepala burungnya telah hilang, tinggal pantatnya. Saat ini, gemerlap lampu hias memang masih terlihat, tapi hanya di sedikit tempat. Itupun dalam bentuk yang sangat biasa.

Saya memahami dan memaklumi uneg-uneg teman lama itu. Dia baru tiga hari tiba di Medan. Jadi wajar jika dia tak banyak tahu soal Kota Medan saat ini. Maaf juga bila dia tak tahu gebrakan yang telah dilakukan Wali Kota Medan, Drs H Rahudman Harahap MM.

Persoalan di Medan bukan hanya lampu hias dan taman. Banyak persoalan lain yang sebenarnya lebih penting dan menjadi  prioritas. Ah, nanti saat ketemu teman lama itu akan saya ceritakan bagaimana gebrakan yang telah dilakukan penerus Abdillah itu. Mulai gerakan bersih-bersih, penghijauan, hingga peningkatan pelayanan publik.

Teman saya pasti terkejut kalau saya ceritakan di Medan saat ini ada ambulan sampah. Dia juga mungkin tak percaya soal perahu dan petugasnya yang membersihkan sampah dari sungai-sungai yang membelah kota ini. Saya juga akan ceritakan bagaimana keberhasilan penataan pedagang kaki lima (PKL) di berbagai titik yang sebelumnya gagal dilakukan para pendahulunya.  (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/