29 C
Medan
Tuesday, May 7, 2024

Muslim Love Story

Film romantic comedy Hollywood biasanya soal bule ganteng-cantik. Tahun ini ada pergeseran hebat. Sebuah film menuai pujian besar (dan mengocok perut), tentang cinta laki-laki muslim dan perempuan bule.

***

Semoga Anda tidak terkecoh dengan judul Muslim Love Story di atas tulisan ini. Karena ini memang bukan tentang film berjudul Cinta Berkopiah atau Rembulan di Atas Masjid. Juga bukan tentang film-film Timur Tengah yang muncul di televisi.

Ini seratus persen tentang film Hollywood. Dunia yang menghibur kita lewat The Avengers, Star Wars, Beauty and the Beast, dan konco-konconya. Dunia yang dalam perjalanannya menjadi ’’pencatat’’ sejarah. Minimal, indikator realitas dan emosi orang di era saat film itu keluar.

Misalnya, bagaimana semakin lama orang semakin terbiasa dan menerima dengan cara berdandan. Bagaimana orang sedunia tiba-tiba bisa punya selera sama tentang suatu hal. Karena film-film Hollywood punya kemampuan untuk terus ’’push the boundaries’’, mendorong atau mendobrak batasan-batasan yang ada di sekeliling masyarakat di seluruh dunia.

Baru-baru ini, ada film-film yang secara tidak disadari melakukan itu. Sadar tidak, kalau di film Power Rangers, ada jagoan perempuan yang LGBT di dalamnya? Tidak dibicarakan secara blak-blakan, tapi disinggung di dalamnya.

Film itu juga yang pertama menampilkan superhero yang masuk kategori difabel (salah satu jagoannya juga autis). Saya tidak bilang itu positif atau negatif, itu tergantung persepsi masing-masing orang yang melihatnya.

Enaknya film Hollywood, kalau tidak suka ya sudah, mereka tidak akan membeli tiket. Tapi, kalau ternyata memang tetap banyak yang membeli tiket, itu menunjukkan kalau batasan-batasan tersebut sudah kembali bergeser. Kekuatan komersial yang menilai dan menentukan. Bukan cuitan atau koar-koar di medsos.

Nah, tidak lama lagi, akhir Juni awal Juli 2017 nanti, akan beredar (di Amerika) sebuah film lagi yang ikut mendorong batasan-batasan tersebut. Judulnya The Big Sick. Sebuah komedi romantis, yang kadar komedinya lebih tinggi dari romantisnya. Bahkan mungkin sebenarnya masuk kategori yang komedinya agak berani, bukan komedi ’’sopan-standar’’.

Sebuah film Hollywood mainstream yang menampilkan laki-laki Pakistan-muslim sebagai aktor utama, menceritakan kisah cintanya (yang dramatis dan lucu) dengan seorang perempuan bule. Film ini menjalani premiere di Sundance Film Festival, 20 Januari lalu, dan langsung menjadi bintang. Beberapa studio berebut haknya, dan pada akhirnya dicomot oleh Lionsgate dan Amazon dengan nilai USD 12 juta, rekor tertinggi kedua di festival kondang tersebut.

Kemudian, Maret lalu, film ini meraih penghargaan Audience Award (pilihan penonton) di South by Southwest (SXSW), festival sangat bergengsi di Amerika. Ini menurut saya spektakuler. Film yang menampilkan aktor Pakistan-muslim meraih sukses di Sundance, yang diselenggarakan di Negara Bagian Utah. Lalu sukses lagi di SXSW, yang berlangsung di Negara Bagian Texas.

Utah dan Texas itu ’’putih’’ banget kalau di Amerika. Dua-duanya memilih Donald Trump sebagai presiden. Dengan nilai Rotten Tomatoes 97 persen, dan Metacritic 86 persen, film ini menunjukkan tingkat penerimaan masyarakat AS terhadap sesuatu yang ’’muslim’’ sudah bergeser secara konkret (bukti meningkatnya toleransi?).

Film romantic comedy Hollywood biasanya soal bule ganteng-cantik. Tahun ini ada pergeseran hebat. Sebuah film menuai pujian besar (dan mengocok perut), tentang cinta laki-laki muslim dan perempuan bule.

***

Semoga Anda tidak terkecoh dengan judul Muslim Love Story di atas tulisan ini. Karena ini memang bukan tentang film berjudul Cinta Berkopiah atau Rembulan di Atas Masjid. Juga bukan tentang film-film Timur Tengah yang muncul di televisi.

Ini seratus persen tentang film Hollywood. Dunia yang menghibur kita lewat The Avengers, Star Wars, Beauty and the Beast, dan konco-konconya. Dunia yang dalam perjalanannya menjadi ’’pencatat’’ sejarah. Minimal, indikator realitas dan emosi orang di era saat film itu keluar.

Misalnya, bagaimana semakin lama orang semakin terbiasa dan menerima dengan cara berdandan. Bagaimana orang sedunia tiba-tiba bisa punya selera sama tentang suatu hal. Karena film-film Hollywood punya kemampuan untuk terus ’’push the boundaries’’, mendorong atau mendobrak batasan-batasan yang ada di sekeliling masyarakat di seluruh dunia.

Baru-baru ini, ada film-film yang secara tidak disadari melakukan itu. Sadar tidak, kalau di film Power Rangers, ada jagoan perempuan yang LGBT di dalamnya? Tidak dibicarakan secara blak-blakan, tapi disinggung di dalamnya.

Film itu juga yang pertama menampilkan superhero yang masuk kategori difabel (salah satu jagoannya juga autis). Saya tidak bilang itu positif atau negatif, itu tergantung persepsi masing-masing orang yang melihatnya.

Enaknya film Hollywood, kalau tidak suka ya sudah, mereka tidak akan membeli tiket. Tapi, kalau ternyata memang tetap banyak yang membeli tiket, itu menunjukkan kalau batasan-batasan tersebut sudah kembali bergeser. Kekuatan komersial yang menilai dan menentukan. Bukan cuitan atau koar-koar di medsos.

Nah, tidak lama lagi, akhir Juni awal Juli 2017 nanti, akan beredar (di Amerika) sebuah film lagi yang ikut mendorong batasan-batasan tersebut. Judulnya The Big Sick. Sebuah komedi romantis, yang kadar komedinya lebih tinggi dari romantisnya. Bahkan mungkin sebenarnya masuk kategori yang komedinya agak berani, bukan komedi ’’sopan-standar’’.

Sebuah film Hollywood mainstream yang menampilkan laki-laki Pakistan-muslim sebagai aktor utama, menceritakan kisah cintanya (yang dramatis dan lucu) dengan seorang perempuan bule. Film ini menjalani premiere di Sundance Film Festival, 20 Januari lalu, dan langsung menjadi bintang. Beberapa studio berebut haknya, dan pada akhirnya dicomot oleh Lionsgate dan Amazon dengan nilai USD 12 juta, rekor tertinggi kedua di festival kondang tersebut.

Kemudian, Maret lalu, film ini meraih penghargaan Audience Award (pilihan penonton) di South by Southwest (SXSW), festival sangat bergengsi di Amerika. Ini menurut saya spektakuler. Film yang menampilkan aktor Pakistan-muslim meraih sukses di Sundance, yang diselenggarakan di Negara Bagian Utah. Lalu sukses lagi di SXSW, yang berlangsung di Negara Bagian Texas.

Utah dan Texas itu ’’putih’’ banget kalau di Amerika. Dua-duanya memilih Donald Trump sebagai presiden. Dengan nilai Rotten Tomatoes 97 persen, dan Metacritic 86 persen, film ini menunjukkan tingkat penerimaan masyarakat AS terhadap sesuatu yang ’’muslim’’ sudah bergeser secara konkret (bukti meningkatnya toleransi?).

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/