Gila. Edan. Sableng. Masih banyak lagi sebutan untuk orang yeng menderita penyakit itu bukan?
Sosiolog M Iqbal bertahan dengan istilah sosial disorder. Saya lebih memilih kata pesong untuk penyakit itu. Intinya, semua mengarah pada sebuah penyakit jiwa. Jadi, apapun istilahnya tetap saja sama.
Ceritanya, soal gila ini makin banyak di Sumatera Utara. Data dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Sumatera Utara cukup mengejutkan, naik seratus persen lebih dari tahun lalu. Jika pada 2011 masih 500-an pasien yang dirawat, per Juli 2012 malah sudah mencapai 1.200-an. Makin parah, kapasitas rumah sakit itu terbatas. Tak pelak, pasien harus berbagi tempat tidur. Jadi, bisa bayangkan mereka harus berbagi tempat tidur. Gila gak tuh?
Menurut pihak rumah sakit, seandainya pihak keluarga langsung membawa pulang pasien yang sudah tenang, over kapasitas tidak akan tercipta. Pergantian pasien pun akan dengan lancar. Tapi, itu tadi, keluarga tak juga menjemput anggota keluarga mereka yang sakit. Mereka pun nyantai karena punya kartu kesehatan; tidak repot soal anggaran. Dengan kata lain, keluarga mereka yang dirawat di rumah sakit itu aman dan tenteram.
Kenyataan ini akhirnya membuat pihak rumah sakit resah. Ini bukan soal biaya, tapi lebih pada kenyamanan pasiennya. Merawat orang yang mengalami kelainan jiwa kan tidak seperti merawat orang sakit biasa. Untuk orang biasa saja butuh perawatan yang serius, penuh kenyamanan, dan sebagainya agar cepat sembuh (meski yang disembuhkan adalah fisiknya). Nah, bagaimana dengan orang berpenyakit jiwa, bisakah mereka sembuh ketika tidak ada kenyamanan? Ayolah, yang disembuhkan itu kan jiwa, jadi bagaimana bisa sembuh kalau dia tidak nyaman.
Pertanyaanya, kenapa makin banyak orang yang berpenyakit jiwa? Iqbal, sang sosiolog itu, menjelaskan kalau itu bisa tercipta karena Sumatera Utara atau khususnya Medan memang sudah gila. Dengan kata lain, kondisi daerah memiliki peran penting dalam pembentukan jiwa seseorang. Jalan kota Medan yang supermacet dan pelaku pengguna jalan yang tidak disiplin adalah salah satu unsur pemicu sosial disorder tadi. “Tapi, harapan terlalu besar sementara kenyataan terlalu jauh dari pikiran adalah pemicu terbesar sosial disorder. Dan, ini tidak mengenal profesi seseorang, siapapun bisa kena,” begitu kata si Iqbal.
Sejujurnya saya sepakat dengan sosiolog dari Medan itu. Perubahan zaman tidak selalu baik bagi manusia. Ketika manusia tidak siap maka yang muncul adalah sebuah kelainan. Contohnya ketika ada remaja yang memakai baju yang sudah ketinggalan zaman, dia langsung diejek rekannya. Dikatanlah dia tidak gaul dan sebagainya. Ujung-ujungnya, anak yang diejek itu langsung terpinggirkan dalam pergaulan. Tak lama kemudian, dia jadi penyendiri. Nah, saat menyendiri ini munculah sekian pikiran; bisa dendam maupun khayalan. Makin dia hayati pikirannya itu, maka dia akan berubah menjadi pesong!
Persis dengan yang dicontohkan oleh Iqbal, ketika mengalami kemacetan dan lalu-lintas yang krodit, sesorang cenderung menjadi responsif. Klakson menjadi senjatanya. Ujung-ujungnya, lampu merah pun dia klakson. Pesong kan?
Itulah sebab, ketika mengetahui rumah sakit jiwa over kapasitas, saya menjadi dua kali berpikir. Siapa yang pesong? Siapa yang mengalami sosial disorder? Benarkah pasien yang dirawat di rumah sakit itu atau malah siapa? Ya, membiarkan mereka menumpuk dalam kamar yang berkapasitas sedikit adalah sebuah kepesongan tersendiri bukan? (*)