25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Orang Tipe Blockbuster

Azrul AnandaAda orang tipe Blockbuster. Ada orang tipe Managing for Margins. Anda tipe yang mana? Baik yang mana?

***

Belajar lagi, sekolah atau pelatihan atau seminar, kadang bukan ilmu baru yang didapat. Bagi yang sudah berkecimpung di dunia nyata (sekolah urut dari SD sampai universitas tidak termasuk), kadang yang didapat adalah konfirmasi.

Maksudnya, konfirmasi bahwa apa yang kita lakukan itu ternyata ada teorinya.

Setelah itu, kita juga mendapatkan nama atau judul.

Maksudnya, ternyata apa yang sudah kita kerjakan itu ada nama dan judulnya. Bukan sekadar asal kerja mengikuti insting.

Ironisnya, kadang yang menciptakan teori, lalu memberi nama dan judul atas teori tersebut, mungkin justru tidak pernah mengerjakannya sendiri. Dia mendapatkannya dari mengamati orang yang benar-benar mengerjakan.

Hebat mana? Yang mengerjakan atau membuat teori? Entahlah. Silakan menginterpretasikan dan menilai sendiri.

Kayaknya sih saling komplementer.

Baru-baru ini, saya dapat dua istilah/judul/nama baru dari pola pikir/kerja orang. Awalnya dari kelas yang saya ikuti saat di Harvard Juni lalu. Kemudian dipertajam dari buku Blockbusters karya Anita Elberse, profesor yang mendampingi saya saat sekolah itu.

Dua tipe orang itu bisa dibilang bertolak belakang. Yang satu tipe Blockbuster. Yang satu tipe Managing for Margins. Saya suka sekali perbandingan antara keduanya.

Yang jadi contoh pertama adalah tipe Managing for Margins. Nama orangnya adalah Jeff Zucker. Pada 2007, dia diangkat sebagai pimpinan NBC, network televisi yang sebelum itu paling dominan di Amerika.

Hampir semua acara serial terbaik berasal dari NBC. Serial Friends, Seinfeld, Saturday Night Life, dan The Tonight Show yang membuat kondang Jay Leno, semua muncul dari saluran itu.

Saking hebatnya, NBC itu nomor satu jauh di atas nomor dua dan selanjutnya. Slogannya pun keren dan sesuai: Must See TV (wajib tonton).

Tentu saja, semua kehebatan itu menuntut biaya tinggi. Friends misalnya, saking mahalnya, setiap bintangnya dibayar USD 1 juta per episode. Itu sampai akhir show tersebut pada 2004. Sekarang, lebih dari sepuluh tahun kemudian, sangat jarang ada show yang biayanya segila itu.

Apa yang dilakukan Zucker, yang berkarir panjang di NBC, begitu menjadi pimpinan? Dia langsung mengevaluasi semua aspek dan memangkas ongkos-ongkos yang dianggap berlebihan.

Tidak ada lagi show gila-gilaan. Hati-hati dalam merancang show baru. Semua yang dibuat harus jelas hitungannya, harus jelas untung alias margin-nya. Tingkatkan profit, kurangi risiko. ’’We are managing for margins instead of ratings.’’ Begitu kira-kira ucapan tim manajemen NBC di bawah Zucker.

Di sisi yang lain, ada sosok bernama Alan Horn. Pada 1999, dia menjadi pimpinan Warner Bros. Pada 2012, dia dicomot menjadi bos penentu semua film di Disney.

Apa yang dilakukan Horn sangat bertolak belakang dengan Zucker. Dia langsung menerapkan apa yang disebut ’’Blockbuster Strategy’’.

Sebelum Horn, studio-studio film pada dasarnya bikin banyak film, lalu berharap ada satu atau dua yang jadi ’’blockbuster’’ alias sukses besar.

Di tangan Horn, film ’’blockbuster’’ Warner Bros. (dan sekarang Disney) sudah ditetapkan sejak awal. Misalnya, ada 25 film yang rencananya dibuat. Horn lantas memilih empat atau lima sebagai andalan sejak awal. Mayoritas anggaran lantas difokuskan ke segelintir film unggulan itu. Sisanya dibagi rata ke puluhan yang lain.

Dengan memfokuskan diri pada film-film unggulan, Horn mengambil risiko besar. Kalau dua atau tiga saja film itu benar-benar ’’meledak’’, maka seluruh pemasukan dan keuntungan yang ditarget sudah tertutupi. Peduli setan dengan puluhan film ’’kecil’’ lain.

Bagi dia, ini lebih baik daripada capek memikirkan puluhan film lalu berharap ada yang meledak.

’’Di industri ini, harga (tiket bioskop) yang dibayar konsumen pada dasarnya sama, berapa pun ongkos produksinya. Baik untuk film yang dibuat seharga USD 15 juta atau USD 150 juta. Jadi, untuk mengambil keputusan seperti ini, untuk mengeluarkan uang lebih banyak, bisa dibilang counterintuitive,’’ paparnya.

Apa hasilnya?

Azrul AnandaAda orang tipe Blockbuster. Ada orang tipe Managing for Margins. Anda tipe yang mana? Baik yang mana?

***

Belajar lagi, sekolah atau pelatihan atau seminar, kadang bukan ilmu baru yang didapat. Bagi yang sudah berkecimpung di dunia nyata (sekolah urut dari SD sampai universitas tidak termasuk), kadang yang didapat adalah konfirmasi.

Maksudnya, konfirmasi bahwa apa yang kita lakukan itu ternyata ada teorinya.

Setelah itu, kita juga mendapatkan nama atau judul.

Maksudnya, ternyata apa yang sudah kita kerjakan itu ada nama dan judulnya. Bukan sekadar asal kerja mengikuti insting.

Ironisnya, kadang yang menciptakan teori, lalu memberi nama dan judul atas teori tersebut, mungkin justru tidak pernah mengerjakannya sendiri. Dia mendapatkannya dari mengamati orang yang benar-benar mengerjakan.

Hebat mana? Yang mengerjakan atau membuat teori? Entahlah. Silakan menginterpretasikan dan menilai sendiri.

Kayaknya sih saling komplementer.

Baru-baru ini, saya dapat dua istilah/judul/nama baru dari pola pikir/kerja orang. Awalnya dari kelas yang saya ikuti saat di Harvard Juni lalu. Kemudian dipertajam dari buku Blockbusters karya Anita Elberse, profesor yang mendampingi saya saat sekolah itu.

Dua tipe orang itu bisa dibilang bertolak belakang. Yang satu tipe Blockbuster. Yang satu tipe Managing for Margins. Saya suka sekali perbandingan antara keduanya.

Yang jadi contoh pertama adalah tipe Managing for Margins. Nama orangnya adalah Jeff Zucker. Pada 2007, dia diangkat sebagai pimpinan NBC, network televisi yang sebelum itu paling dominan di Amerika.

Hampir semua acara serial terbaik berasal dari NBC. Serial Friends, Seinfeld, Saturday Night Life, dan The Tonight Show yang membuat kondang Jay Leno, semua muncul dari saluran itu.

Saking hebatnya, NBC itu nomor satu jauh di atas nomor dua dan selanjutnya. Slogannya pun keren dan sesuai: Must See TV (wajib tonton).

Tentu saja, semua kehebatan itu menuntut biaya tinggi. Friends misalnya, saking mahalnya, setiap bintangnya dibayar USD 1 juta per episode. Itu sampai akhir show tersebut pada 2004. Sekarang, lebih dari sepuluh tahun kemudian, sangat jarang ada show yang biayanya segila itu.

Apa yang dilakukan Zucker, yang berkarir panjang di NBC, begitu menjadi pimpinan? Dia langsung mengevaluasi semua aspek dan memangkas ongkos-ongkos yang dianggap berlebihan.

Tidak ada lagi show gila-gilaan. Hati-hati dalam merancang show baru. Semua yang dibuat harus jelas hitungannya, harus jelas untung alias margin-nya. Tingkatkan profit, kurangi risiko. ’’We are managing for margins instead of ratings.’’ Begitu kira-kira ucapan tim manajemen NBC di bawah Zucker.

Di sisi yang lain, ada sosok bernama Alan Horn. Pada 1999, dia menjadi pimpinan Warner Bros. Pada 2012, dia dicomot menjadi bos penentu semua film di Disney.

Apa yang dilakukan Horn sangat bertolak belakang dengan Zucker. Dia langsung menerapkan apa yang disebut ’’Blockbuster Strategy’’.

Sebelum Horn, studio-studio film pada dasarnya bikin banyak film, lalu berharap ada satu atau dua yang jadi ’’blockbuster’’ alias sukses besar.

Di tangan Horn, film ’’blockbuster’’ Warner Bros. (dan sekarang Disney) sudah ditetapkan sejak awal. Misalnya, ada 25 film yang rencananya dibuat. Horn lantas memilih empat atau lima sebagai andalan sejak awal. Mayoritas anggaran lantas difokuskan ke segelintir film unggulan itu. Sisanya dibagi rata ke puluhan yang lain.

Dengan memfokuskan diri pada film-film unggulan, Horn mengambil risiko besar. Kalau dua atau tiga saja film itu benar-benar ’’meledak’’, maka seluruh pemasukan dan keuntungan yang ditarget sudah tertutupi. Peduli setan dengan puluhan film ’’kecil’’ lain.

Bagi dia, ini lebih baik daripada capek memikirkan puluhan film lalu berharap ada yang meledak.

’’Di industri ini, harga (tiket bioskop) yang dibayar konsumen pada dasarnya sama, berapa pun ongkos produksinya. Baik untuk film yang dibuat seharga USD 15 juta atau USD 150 juta. Jadi, untuk mengambil keputusan seperti ini, untuk mengeluarkan uang lebih banyak, bisa dibilang counterintuitive,’’ paparnya.

Apa hasilnya?

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/