25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sewindu

Oleh: Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Riza Fauzi warga Pantonlabu, Aceh Utara, sewindu yang lalu nyaris tak bisa berkata. Riza yang saat itu masih menjadi mahasiswa Teknik Geodesi UGM Jogjakarta terdiam mendengar kabar. Banda Aceh hancur lebur akibat gempa dan tsunami. Ya, saat itu 26 Desember 2004.

Kampung Riza di Pantonlabu berjarak kurang lebih tujuh jam perjalanan dari ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam itu, namun bukan berarti dia tidak panik. Di Kutaraja – nama lain Banda Aceh – ada pujaan hatinya. Seorang mahasiswa Teknik Kimia Unsyiah. Dan, sang kekasih tinggal di kawasan Darussalam yang jelas-jelas dikabarkan hancur.

Sekian waktu berjalan, sang kekasih juga tak memberi kabar. Riza terus mencari tahu, tapi kekasihnya itu bak ditelan bumi.

Hingga setelah beberapa pekan terlewati, Riza mendapat kabar. Kekasihnya itu terlihat di sebuah penampungan pengungsi yang ada di Banda Aceh. Seorang kerabat melihat kekasihnya itu duduk di depan tenda sambil memeluk boneka. Riza langsung pulang ke Aceh.

Selang sebulan, Riza kembali lagi ke Jogja. Meski tak berhasil menemukan, tapi dia yakin kekasihnya itu masih hidup. Dia menyerah mencari tapi tidak menyerah untuk menanti kabar. “Boneka yang dipeluknya itu, boneka yang kukasih,” kata Riza saat itu pada saya, matanya terlihat berkaca.
Sayang, ketika saya dan Riza berpisah empat tahun lalu, kekasihnya itu juga belum ditemukan.

Kini, setelah delapan tahun berlalu, gempa hebat kembali menghajar Aceh. Saya hubungi Riza, tetapi telepon selulernya tidak aktif. Saya mencari tahu kabarnya dari sekian kawan, juga nihil. Setahu saya, tempo hari dia telah diterima sebagai pegawai Negeri Sipil di Jakarta.

Begitulah, dua gempa hebat dan disusul sekian gempa lainnya yang terjadi kemarin langsung membangkitkan memori saya pada bencana 2004 lalu. Masih terbayang dalam ingatan saya bagaimana warga yang berlari, menaiki gedung, hingga berlindung di masjid. Belum lagi, korban yang mencapai ratusan ribu nyawa. Bayangkan, ratusan ribu nyawa!

Mungkin perasaan saya dirasakan sebagian besar warga di Medan. Setidaknya, saya melihat kepanikan yang luar biasa. Mereka yang ada di mal, hotel, gedung pemerintahan, dan gedung lainnya berhamburan. Wajar kalau ada gempa orang keluar gedung atau rumah, tapi suasana kemarin memang cukup berbeda.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun langsung buka suara. Dia yang melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Inggris, David Cameron, mengungkapkan kelegaannya karena kejadian tersebut tidak seperti 2004 lalu. “Situasinya terkendali, under control,” katanya.

Kenyataannya, warga Medan tetap saja panik. Memori 2004 memang masih terjaga baik di kepala. Pun, kisah yang dialami Riza tadi bagi saya. Dan, semua itu bagi saya adalah hal baik. Setidaknya, kejadian ini menyadarkan warga dan pemerintah kota kalau jalan untuk selamat adalah sesuatu yang penting. Tangga darurat atau pintu darurat di setiap gedung adalah mutlak. Itu saja. (*)

Oleh: Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Riza Fauzi warga Pantonlabu, Aceh Utara, sewindu yang lalu nyaris tak bisa berkata. Riza yang saat itu masih menjadi mahasiswa Teknik Geodesi UGM Jogjakarta terdiam mendengar kabar. Banda Aceh hancur lebur akibat gempa dan tsunami. Ya, saat itu 26 Desember 2004.

Kampung Riza di Pantonlabu berjarak kurang lebih tujuh jam perjalanan dari ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam itu, namun bukan berarti dia tidak panik. Di Kutaraja – nama lain Banda Aceh – ada pujaan hatinya. Seorang mahasiswa Teknik Kimia Unsyiah. Dan, sang kekasih tinggal di kawasan Darussalam yang jelas-jelas dikabarkan hancur.

Sekian waktu berjalan, sang kekasih juga tak memberi kabar. Riza terus mencari tahu, tapi kekasihnya itu bak ditelan bumi.

Hingga setelah beberapa pekan terlewati, Riza mendapat kabar. Kekasihnya itu terlihat di sebuah penampungan pengungsi yang ada di Banda Aceh. Seorang kerabat melihat kekasihnya itu duduk di depan tenda sambil memeluk boneka. Riza langsung pulang ke Aceh.

Selang sebulan, Riza kembali lagi ke Jogja. Meski tak berhasil menemukan, tapi dia yakin kekasihnya itu masih hidup. Dia menyerah mencari tapi tidak menyerah untuk menanti kabar. “Boneka yang dipeluknya itu, boneka yang kukasih,” kata Riza saat itu pada saya, matanya terlihat berkaca.
Sayang, ketika saya dan Riza berpisah empat tahun lalu, kekasihnya itu juga belum ditemukan.

Kini, setelah delapan tahun berlalu, gempa hebat kembali menghajar Aceh. Saya hubungi Riza, tetapi telepon selulernya tidak aktif. Saya mencari tahu kabarnya dari sekian kawan, juga nihil. Setahu saya, tempo hari dia telah diterima sebagai pegawai Negeri Sipil di Jakarta.

Begitulah, dua gempa hebat dan disusul sekian gempa lainnya yang terjadi kemarin langsung membangkitkan memori saya pada bencana 2004 lalu. Masih terbayang dalam ingatan saya bagaimana warga yang berlari, menaiki gedung, hingga berlindung di masjid. Belum lagi, korban yang mencapai ratusan ribu nyawa. Bayangkan, ratusan ribu nyawa!

Mungkin perasaan saya dirasakan sebagian besar warga di Medan. Setidaknya, saya melihat kepanikan yang luar biasa. Mereka yang ada di mal, hotel, gedung pemerintahan, dan gedung lainnya berhamburan. Wajar kalau ada gempa orang keluar gedung atau rumah, tapi suasana kemarin memang cukup berbeda.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun langsung buka suara. Dia yang melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Inggris, David Cameron, mengungkapkan kelegaannya karena kejadian tersebut tidak seperti 2004 lalu. “Situasinya terkendali, under control,” katanya.

Kenyataannya, warga Medan tetap saja panik. Memori 2004 memang masih terjaga baik di kepala. Pun, kisah yang dialami Riza tadi bagi saya. Dan, semua itu bagi saya adalah hal baik. Setidaknya, kejadian ini menyadarkan warga dan pemerintah kota kalau jalan untuk selamat adalah sesuatu yang penting. Tangga darurat atau pintu darurat di setiap gedung adalah mutlak. Itu saja. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/