27.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Lebih Happy atau Lebih Baik

’’Yang penting happy.’’ Sering sekali saya mendengar orang bicara seperti itu. Terus terang, alarm saya langsung berbunyi, dan merasa geli.

’’Yang penting happy.’’

Saya yakin pembaca juga sering mendengar ucapan seperti itu.

Misalnya, kalau ada orang sedang makan berlebihan, misalnya makan sate sampai 50 tusuk. Kalau diingatkan bahwa itu tidak sehat, mungkin balasannya adalah: ’’Yang penting happy.’’

Misalnya, ketika ada acara gerak jalan, tapi ada yang memilih duduk-duduk santai tidak mau berkeringat terlalu banyak. Kalau dibilang kenapa tidak mau berpartisipasi seperti yang lain, mungkin jawabannya adalah: ’’Yang penting happy.’’

Ya memang tidak ada salahnya mengejar kebahagiaan. Salah satu dasar negara di Amerika saja sampai melindungi hak untuk mengejar kebahagiaan itu (in pursuit of happiness).

Tapi, geli juga mendengarnya. Apalagi, orang-orang yang sering ngomong seperti itu biasanya memang tipe yang mengasyikkan. Asyik diajak nongkrong, asyik diajak ngobrol, sangat bisa menghibur.

Dalam hidup saya, ada banyak kok kenalan saya yang modelnya seperti itu. Mereka sangat asyik diajak kumpul. Tapi, ketika akan melakukan sesuatu yang lebih merepotkan atau melelahkan, mereka langsung mengelak, menghindar, atau bahkan tidak menampakkan batang hidung.

Lalu, saat ada yang menegur kenapa kok tidak mau ikutan, jawabannya ya seperti di atas. ’’Buat apa repot-repot? Yang penting happy.’’

Wkwkwkwk…

Karena namanya teman, ya masak lalu mau dipecat jadi teman? Lagi pula, fungsi mereka memang kadang ya untuk menghibur, bukan untuk diajak repot bersama. Bukankah untuk mencapai keseimbangan, dalam sebuah grup harus ada yang serius, lalu harus ada yang berfungsi jadi badutnya?

Wkwkwkwk…

Karena fungsi mereka jadi penghibur, dan memang tidak pernah mau repot, maka sebenarnya yang kehilangan opportunity ya mereka sendiri.

Banyak bisnis atau kemajuan terbentuk dari pertemanan. Kalau bukan teman dekat, minimal dari perasaan saling percaya, saling merasa yakin atas kemampuan dan keseriusan sang partner.

Kalau sudah begitu, ya sudah, yang maunya happy saja mungkin tidak usah diajak join. Nanti kita yang repot, dan mau terus repot, tapi dianya maunya cuman happy saja.

Daripada nantinya malah merusak pertemanan, dan jadinya malah tidak happy semua…

’’Yang penting happy.’’ Sering sekali saya mendengar orang bicara seperti itu. Terus terang, alarm saya langsung berbunyi, dan merasa geli.

’’Yang penting happy.’’

Saya yakin pembaca juga sering mendengar ucapan seperti itu.

Misalnya, kalau ada orang sedang makan berlebihan, misalnya makan sate sampai 50 tusuk. Kalau diingatkan bahwa itu tidak sehat, mungkin balasannya adalah: ’’Yang penting happy.’’

Misalnya, ketika ada acara gerak jalan, tapi ada yang memilih duduk-duduk santai tidak mau berkeringat terlalu banyak. Kalau dibilang kenapa tidak mau berpartisipasi seperti yang lain, mungkin jawabannya adalah: ’’Yang penting happy.’’

Ya memang tidak ada salahnya mengejar kebahagiaan. Salah satu dasar negara di Amerika saja sampai melindungi hak untuk mengejar kebahagiaan itu (in pursuit of happiness).

Tapi, geli juga mendengarnya. Apalagi, orang-orang yang sering ngomong seperti itu biasanya memang tipe yang mengasyikkan. Asyik diajak nongkrong, asyik diajak ngobrol, sangat bisa menghibur.

Dalam hidup saya, ada banyak kok kenalan saya yang modelnya seperti itu. Mereka sangat asyik diajak kumpul. Tapi, ketika akan melakukan sesuatu yang lebih merepotkan atau melelahkan, mereka langsung mengelak, menghindar, atau bahkan tidak menampakkan batang hidung.

Lalu, saat ada yang menegur kenapa kok tidak mau ikutan, jawabannya ya seperti di atas. ’’Buat apa repot-repot? Yang penting happy.’’

Wkwkwkwk…

Karena namanya teman, ya masak lalu mau dipecat jadi teman? Lagi pula, fungsi mereka memang kadang ya untuk menghibur, bukan untuk diajak repot bersama. Bukankah untuk mencapai keseimbangan, dalam sebuah grup harus ada yang serius, lalu harus ada yang berfungsi jadi badutnya?

Wkwkwkwk…

Karena fungsi mereka jadi penghibur, dan memang tidak pernah mau repot, maka sebenarnya yang kehilangan opportunity ya mereka sendiri.

Banyak bisnis atau kemajuan terbentuk dari pertemanan. Kalau bukan teman dekat, minimal dari perasaan saling percaya, saling merasa yakin atas kemampuan dan keseriusan sang partner.

Kalau sudah begitu, ya sudah, yang maunya happy saja mungkin tidak usah diajak join. Nanti kita yang repot, dan mau terus repot, tapi dianya maunya cuman happy saja.

Daripada nantinya malah merusak pertemanan, dan jadinya malah tidak happy semua…

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/