22.8 C
Medan
Saturday, June 22, 2024

Pahlawan yang tak Tercatat Sejarah

Sejarah selalu mencatat peristiwa dan orang-orang besar Peristiwa dan orang-orang kecil akan cepat dilupakan dan tak tercatat dalam sejarah. Ini dianggap lazim.

Padahal, di masa lalu, berdirinya bangsa ini, juga bangsa-bangsa lainnya, peran “orang-orang kecil” dan “peristiwa kecil” sangat menentukan.
Tetapi, menjadi amat lucu dan menarik, jika seorang Ir Soekarno dan Mohammad Hatta, dua orang wakil bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, baru tahun 2012 ini ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional.

Meskipun diangkat atau tidak sebagai Pahlawan Nasional,  orang tahu siapa keduanya. Pahlawan selalu lahir di mana saja.
Di jalan raya, banyak orang dengan sukarela membantu orang-orang tua untuk menyeberang jalan.

Di bus kota atau kereta api, banyak anak-anak muda yang rela berdiri dan berkeringat untuk memberikan tempat duduknya kepada anak kecil, perempuan, orang tua, atau ibu hamil.

Di jalanan, banyak orang yang rela babak-belur  melawan pencopet yang mencopet seorang ibu, misalnya. Dan sebagainya. Mereka adalah pahlawan, tetapi tak akan pernah tercatat dalam sejarah.

Pergilah ke lokasi bencana alam, seperti saat tsunami atau gempa Bumi,  gunung meletus, atau di  lokasi bencana lainnya.

Saat tsunami melanda Aceh akhir tahun 2004 misalnya, puluhan ribu relawan datang ke sana, tanpa digaji dan setiap hari hanya makan nasi pakai mei instan dan ikan asin, tetapi mereka setiap hari ikut melakukan evakuasi mayat yang bergelimpangan, membantu memperbaiki rumah, ikut mengembalikan kepercayaan dan psikologis anak-anak akibat gempa di tenda-tenda, menjadi guru darurat,  memikirkan pembuatan sumber air bersih, dan pekerjaan lainnya tanpa pamrih apapun.

Mereka banyak yang cuti dari pekerjaannya hanya untuk menjadi tenaga sukarela. Mereka banyak yang berlatar belakang eksekutif di kantornya, pimpinan perusahaan, dan jabatan penting lainnya.

Tetapi di lapangan, mereka menjadi orang biasa yang merasa bahwa tenaganya sangat diperlukan oleh korban bencana itu.

Saat gempa di Sumatera Barat, saat Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus, saat banjir melanda banyak daerah, dan hampir di semua bencana terjadi, selalu muncul para pahlawan yang digerakkan oleh nuraninya untuk membantu sesamanya tanpa imbalan apapun.
Mereka tak memikirkan perbedaan agama, etnis, bangsa, dan sebagainya.

Mereka tidur di tenda-tenda darurat, makan apa adanya di dapur umum, kadang tak sempat mandi, kadang tidurnya hanya beberapa jam dalam sehari-semalam.

Mereka adalah pahlawan yang tak akan pernah dicatat oleh sejarah.

Para “pahlawan” itu hidup dalam suasana kemanusiaan. Mereka menganggap beban dan bencana orang lain adalah beban dan bencana mereka.
Seandainya pemikiran seperti itu ada dalam benak setiap orang, alangkah penuhnya dunia ini dengan kebaikan.

Seandainya semua orang bersatu dan saling menolong bukan hanya saat bencana terjadi, alangkah indahnya kehidupan ini. Seandainya para wakil rakyat tak memeras uang rakyatnya sendiri, alangkah gagahnya mereka.

Seandainya para pejabat negara tak mengemplang uang negara yang berasal dari pajak rakyat, alangkah terhormatnya mereka di mata rakyatnya.
Pasti rakyat semakin cinta dan mendoakan agar mereka hidup bahagia dan bergelimang segala kebaikan.

Seandainya para pemimpin mendahulukan kepentingan rakyatnya daripada kepentingannya, pasti rakyat akan makmur.
Pasti tak ada kemiskinan, tak ada penjahat yang merampok karena kekurangan ekonomi.

Hari Pahlawan 10 November ini, mestinya menjadi renungan bagi kita: pernahkah kita menjadi pahlawan bagi orang lain, meski itu hanya hal kecil yang kita lakukan?***

Sejarah selalu mencatat peristiwa dan orang-orang besar Peristiwa dan orang-orang kecil akan cepat dilupakan dan tak tercatat dalam sejarah. Ini dianggap lazim.

Padahal, di masa lalu, berdirinya bangsa ini, juga bangsa-bangsa lainnya, peran “orang-orang kecil” dan “peristiwa kecil” sangat menentukan.
Tetapi, menjadi amat lucu dan menarik, jika seorang Ir Soekarno dan Mohammad Hatta, dua orang wakil bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, baru tahun 2012 ini ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional.

Meskipun diangkat atau tidak sebagai Pahlawan Nasional,  orang tahu siapa keduanya. Pahlawan selalu lahir di mana saja.
Di jalan raya, banyak orang dengan sukarela membantu orang-orang tua untuk menyeberang jalan.

Di bus kota atau kereta api, banyak anak-anak muda yang rela berdiri dan berkeringat untuk memberikan tempat duduknya kepada anak kecil, perempuan, orang tua, atau ibu hamil.

Di jalanan, banyak orang yang rela babak-belur  melawan pencopet yang mencopet seorang ibu, misalnya. Dan sebagainya. Mereka adalah pahlawan, tetapi tak akan pernah tercatat dalam sejarah.

Pergilah ke lokasi bencana alam, seperti saat tsunami atau gempa Bumi,  gunung meletus, atau di  lokasi bencana lainnya.

Saat tsunami melanda Aceh akhir tahun 2004 misalnya, puluhan ribu relawan datang ke sana, tanpa digaji dan setiap hari hanya makan nasi pakai mei instan dan ikan asin, tetapi mereka setiap hari ikut melakukan evakuasi mayat yang bergelimpangan, membantu memperbaiki rumah, ikut mengembalikan kepercayaan dan psikologis anak-anak akibat gempa di tenda-tenda, menjadi guru darurat,  memikirkan pembuatan sumber air bersih, dan pekerjaan lainnya tanpa pamrih apapun.

Mereka banyak yang cuti dari pekerjaannya hanya untuk menjadi tenaga sukarela. Mereka banyak yang berlatar belakang eksekutif di kantornya, pimpinan perusahaan, dan jabatan penting lainnya.

Tetapi di lapangan, mereka menjadi orang biasa yang merasa bahwa tenaganya sangat diperlukan oleh korban bencana itu.

Saat gempa di Sumatera Barat, saat Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus, saat banjir melanda banyak daerah, dan hampir di semua bencana terjadi, selalu muncul para pahlawan yang digerakkan oleh nuraninya untuk membantu sesamanya tanpa imbalan apapun.
Mereka tak memikirkan perbedaan agama, etnis, bangsa, dan sebagainya.

Mereka tidur di tenda-tenda darurat, makan apa adanya di dapur umum, kadang tak sempat mandi, kadang tidurnya hanya beberapa jam dalam sehari-semalam.

Mereka adalah pahlawan yang tak akan pernah dicatat oleh sejarah.

Para “pahlawan” itu hidup dalam suasana kemanusiaan. Mereka menganggap beban dan bencana orang lain adalah beban dan bencana mereka.
Seandainya pemikiran seperti itu ada dalam benak setiap orang, alangkah penuhnya dunia ini dengan kebaikan.

Seandainya semua orang bersatu dan saling menolong bukan hanya saat bencana terjadi, alangkah indahnya kehidupan ini. Seandainya para wakil rakyat tak memeras uang rakyatnya sendiri, alangkah gagahnya mereka.

Seandainya para pejabat negara tak mengemplang uang negara yang berasal dari pajak rakyat, alangkah terhormatnya mereka di mata rakyatnya.
Pasti rakyat semakin cinta dan mendoakan agar mereka hidup bahagia dan bergelimang segala kebaikan.

Seandainya para pemimpin mendahulukan kepentingan rakyatnya daripada kepentingannya, pasti rakyat akan makmur.
Pasti tak ada kemiskinan, tak ada penjahat yang merampok karena kekurangan ekonomi.

Hari Pahlawan 10 November ini, mestinya menjadi renungan bagi kita: pernahkah kita menjadi pahlawan bagi orang lain, meski itu hanya hal kecil yang kita lakukan?***

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/