26.7 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Gerakan Antijalan Kaki

Azrul Ananda

Oleh: AZRUL ANANDA

Ironi merupakan bahan penting untuk komedi. Untuk bahan tulisan ini saja bisa berseri-seri. Karena kalau kita lihat sekeliling, hidup kita ini sangat penuh dengan ironi. Paling gampang: Soal jalan kaki.

***

Ironi tidak perlu terlalu puitis. Tidak perlu terlalu berimajinasi. Tidak perlu berat-berat. Banyak sekali hal kecil dalam hidup kita ini yang sebenarnya ironis. Kita saja tidak sadar, tidak memedulikan, dan ketika akhirnya sadar kemudian memutuskan untuk tetap membiarkan terjadi.

Mungkin dalam pekan-pekan ke depan akan banyak tulisan Happy Wednesday ini yang bicara soal ironi. Tapi, soal jalan kaki saja mungkin sudah memberi cukup bahan untuk membuat tulisan ini kepanjangan.

Serius. Indonesia ini punya masalah soal jalan kaki. Khususnya di kota-kota besar, dan sebenarnya di wilayah-wilayah yang lebih kecil pun sekarang sama.

Saking parahnya, seolah-olah sekarang ini seperti terjadi ”Gerakan Antijalan Kaki”.

Tidak perlu dicanangkan pemerintah, tidak perlu diiklankan. Karena sudah banyak dipromosikan di pusat-pusat perbelanjaan, bahkan di sekolah-sekolah!

Karena saya tinggal di kota besar, kampaye antijalan itu banyak terlihat di mal-mal atau di bandara atau di tempat-tempat publik lain yang keluar-masuk kendaraannya tinggi.

Kalau di mal, entah mengapa, semua selalu berebut mencari area parkir paling dekat dengan pintu masuk ke mal. Rela menunggu, berputar-putar, daripada parkir di tempat yang dianggap jauh dari pintu masuk mal.

Rela membakar bahan bakar lebih banyak, rela membuang quality time lama. ”Daripada jalan terlalu jauh.” Biasanya begitu yang muncul di hati.

Jalan terlalu jauh? Emang jauh itu seberapa? Hanya gara-gara tidak mau berjalan 25 langkah, rela muter-muter cari parkir yang lebih ”dekat”.

Saya yakin, Anda, atau orang yang Anda kenal, perilakunya seperti itu ketika pergi ke mal.

Ketika ke bandara juga begitu. Yang bikin ribet adalah ketika semua mobil mencoba berhenti di tempat yang paling dekat dengan pintu masuk bandara. Rela menunggu bermenit-menit sambil menggerutu, lalu berhenti, bertumpukan di dekat jalan masuk yang diinginkan.

Padahal, kalau dia mau berhenti di tempat sebelumnya atau mau maju ke setelahnya, tidak akan menambah signifikan jarak yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Paling nambah 10 sampai 30 langkah.

Azrul Ananda

Oleh: AZRUL ANANDA

Ironi merupakan bahan penting untuk komedi. Untuk bahan tulisan ini saja bisa berseri-seri. Karena kalau kita lihat sekeliling, hidup kita ini sangat penuh dengan ironi. Paling gampang: Soal jalan kaki.

***

Ironi tidak perlu terlalu puitis. Tidak perlu terlalu berimajinasi. Tidak perlu berat-berat. Banyak sekali hal kecil dalam hidup kita ini yang sebenarnya ironis. Kita saja tidak sadar, tidak memedulikan, dan ketika akhirnya sadar kemudian memutuskan untuk tetap membiarkan terjadi.

Mungkin dalam pekan-pekan ke depan akan banyak tulisan Happy Wednesday ini yang bicara soal ironi. Tapi, soal jalan kaki saja mungkin sudah memberi cukup bahan untuk membuat tulisan ini kepanjangan.

Serius. Indonesia ini punya masalah soal jalan kaki. Khususnya di kota-kota besar, dan sebenarnya di wilayah-wilayah yang lebih kecil pun sekarang sama.

Saking parahnya, seolah-olah sekarang ini seperti terjadi ”Gerakan Antijalan Kaki”.

Tidak perlu dicanangkan pemerintah, tidak perlu diiklankan. Karena sudah banyak dipromosikan di pusat-pusat perbelanjaan, bahkan di sekolah-sekolah!

Karena saya tinggal di kota besar, kampaye antijalan itu banyak terlihat di mal-mal atau di bandara atau di tempat-tempat publik lain yang keluar-masuk kendaraannya tinggi.

Kalau di mal, entah mengapa, semua selalu berebut mencari area parkir paling dekat dengan pintu masuk ke mal. Rela menunggu, berputar-putar, daripada parkir di tempat yang dianggap jauh dari pintu masuk mal.

Rela membakar bahan bakar lebih banyak, rela membuang quality time lama. ”Daripada jalan terlalu jauh.” Biasanya begitu yang muncul di hati.

Jalan terlalu jauh? Emang jauh itu seberapa? Hanya gara-gara tidak mau berjalan 25 langkah, rela muter-muter cari parkir yang lebih ”dekat”.

Saya yakin, Anda, atau orang yang Anda kenal, perilakunya seperti itu ketika pergi ke mal.

Ketika ke bandara juga begitu. Yang bikin ribet adalah ketika semua mobil mencoba berhenti di tempat yang paling dekat dengan pintu masuk bandara. Rela menunggu bermenit-menit sambil menggerutu, lalu berhenti, bertumpukan di dekat jalan masuk yang diinginkan.

Padahal, kalau dia mau berhenti di tempat sebelumnya atau mau maju ke setelahnya, tidak akan menambah signifikan jarak yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Paling nambah 10 sampai 30 langkah.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/