28 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Tsunami Bang Maman

GEMPA berkekuatan hebat kembali melanda negeri ini. Daerah yang dilanda gempa masih tetap sama, NAD. Ya, sebelumnya, pada 26 Desember 2004 lalu daerah ini dilanda gempa berkekuatan 9,2 skala richter yang disusul dengan tsunami.

Nah, Rabu (11/2) kemarin, meski hanya berkekuatan 8,5 skala richter, namun gempa yang melanda Bumi Serambi Mekah tetap membuat masyarakatnya panik dan kalang kabut.

Bisa dimaklumi jika saudara-saudara kita yang ada di sana bersikap seperti itu. Masalahnya, meski sewindu lalu mereka telah kehilangan orang tua, saudara bahkan pacar akibat tsunami, namun ternyata hingga kini pemerintah belum mampu memberi rasa nyaman lewat kemampuan mendeteksi kapan gempa dan badai tsunami terjadi.

Sungguh ironis, ternyata waktu sewindu tak cukup bagi pemerintah untuk menyiapkan orang yang dapat mengetahui kapan gempa berpotensi tsunami terjadi di negeri ini.

Adakah ini karena kualitas pendidikan di negeri ini masih rendah atau memang pemerintah yang tidak memiliki niat untuk menggodok para pelajar ataupun mahasiswanya untuk mengetahui kapan tsunami terjadi?

Jangan bilang jika itu sesuatu yang mustahil terjadi. Pasalnya, sama kita ketahui jika pada 11 Maret 2011 lalu Jepang juga dilanda gempa yang diakhiri dengan tsunami.
Hebatnya, tsunami yang melanda Negeri Matahari Terbit itu hanya menjadi tontonan mengasyikkan bagi masyarakat Jepang. Dengan santai sambil menyeruput segelas kopi, mereka melihat detik demi detik proses tsunami melanda negeri itu.

Okelah jika ada yang menyimpulkan bahwa teknologi yang dimiliki Negeri Matahari Terbit itu jauh lebih hebat dari yang kita miliki. Namun perlu juga sadari bahwa rentang waktu tujuh tahun, terhitung sejak bencana tsunami di Aceh, bukanlah waktu yang singkat untuk melakukan sebuah upaya penanggulangan bencana tsunami.

Sebuah apologi kembali mencuat ke permukaan yang mengatakan bahwa pendidikan di negeri ini masih rendah. Benarkah seperti itu? Bukankah fakta membuktikan jika mutu pendidikan di negeri ini sudah sangat tinggi. Tak percaya? Lihatlah apa yang didapati sejumlah orangtua pada buku lembar kerja siswa (LKS) ‘Ceria, Cermat Siswa Aktif. Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta terbitan CV Media Kreasi.

Sungguh sangat mengecewakan di buku yang sejatinya menjadi santapan siswa sekolah dasar itu disusupi kisah tentang kehidupan orang dewasa dengan segala problematika kehidupannya.

Kita semua pantas terhenyak saat membaca kisah “Bang Maman dari Kali Pasir” yang menceritakan bagaimana dirinya meminta seorang perempuan bernama Patme untuk mengaku sebagai istri simpanan Salim.

Ah… sungguh kisah di atas terlalu kompleks dan berat untuk dicerna oleh alam fikir siswa sekolah dasar, meski secara jujur kita dapat menangkap isyarat jika pada beberapa bagian di cerita itu ada kisah yang perlu dicermati yakni tentang sikap jujur dan rasa bersyukur atas semua nikmat yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

Namun, itu semua tak serta merta membuat para siswa dapat memahami secara kompleks apa yang ada di balik kisah Bang Maman tadi. Ya, usia dan alam fikir yang belum memadai menjadi penghalang bagi para siswa SD untuk menarik hikmah positif di balik cerita itu.

Nah, jika untuk urusan yang seperti ini para siswa kerap dijejali dengan sebuah kisah superberat dan hebat, namun untuk urusan teknologi (seperti bagaiman cara membuat alat pendeteksi gempa dan tsunami), kenapa orang-orang pintar di negeri ini, bahkan para penerbit terkesan sungkan (bila tak ingin dikatakan tak mampu) menyajikan kisah super berat yang dapat menggugah minat baca para siswa SD tadi. Sekali lagi… sungguh ironis. (*)

GEMPA berkekuatan hebat kembali melanda negeri ini. Daerah yang dilanda gempa masih tetap sama, NAD. Ya, sebelumnya, pada 26 Desember 2004 lalu daerah ini dilanda gempa berkekuatan 9,2 skala richter yang disusul dengan tsunami.

Nah, Rabu (11/2) kemarin, meski hanya berkekuatan 8,5 skala richter, namun gempa yang melanda Bumi Serambi Mekah tetap membuat masyarakatnya panik dan kalang kabut.

Bisa dimaklumi jika saudara-saudara kita yang ada di sana bersikap seperti itu. Masalahnya, meski sewindu lalu mereka telah kehilangan orang tua, saudara bahkan pacar akibat tsunami, namun ternyata hingga kini pemerintah belum mampu memberi rasa nyaman lewat kemampuan mendeteksi kapan gempa dan badai tsunami terjadi.

Sungguh ironis, ternyata waktu sewindu tak cukup bagi pemerintah untuk menyiapkan orang yang dapat mengetahui kapan gempa berpotensi tsunami terjadi di negeri ini.

Adakah ini karena kualitas pendidikan di negeri ini masih rendah atau memang pemerintah yang tidak memiliki niat untuk menggodok para pelajar ataupun mahasiswanya untuk mengetahui kapan tsunami terjadi?

Jangan bilang jika itu sesuatu yang mustahil terjadi. Pasalnya, sama kita ketahui jika pada 11 Maret 2011 lalu Jepang juga dilanda gempa yang diakhiri dengan tsunami.
Hebatnya, tsunami yang melanda Negeri Matahari Terbit itu hanya menjadi tontonan mengasyikkan bagi masyarakat Jepang. Dengan santai sambil menyeruput segelas kopi, mereka melihat detik demi detik proses tsunami melanda negeri itu.

Okelah jika ada yang menyimpulkan bahwa teknologi yang dimiliki Negeri Matahari Terbit itu jauh lebih hebat dari yang kita miliki. Namun perlu juga sadari bahwa rentang waktu tujuh tahun, terhitung sejak bencana tsunami di Aceh, bukanlah waktu yang singkat untuk melakukan sebuah upaya penanggulangan bencana tsunami.

Sebuah apologi kembali mencuat ke permukaan yang mengatakan bahwa pendidikan di negeri ini masih rendah. Benarkah seperti itu? Bukankah fakta membuktikan jika mutu pendidikan di negeri ini sudah sangat tinggi. Tak percaya? Lihatlah apa yang didapati sejumlah orangtua pada buku lembar kerja siswa (LKS) ‘Ceria, Cermat Siswa Aktif. Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta terbitan CV Media Kreasi.

Sungguh sangat mengecewakan di buku yang sejatinya menjadi santapan siswa sekolah dasar itu disusupi kisah tentang kehidupan orang dewasa dengan segala problematika kehidupannya.

Kita semua pantas terhenyak saat membaca kisah “Bang Maman dari Kali Pasir” yang menceritakan bagaimana dirinya meminta seorang perempuan bernama Patme untuk mengaku sebagai istri simpanan Salim.

Ah… sungguh kisah di atas terlalu kompleks dan berat untuk dicerna oleh alam fikir siswa sekolah dasar, meski secara jujur kita dapat menangkap isyarat jika pada beberapa bagian di cerita itu ada kisah yang perlu dicermati yakni tentang sikap jujur dan rasa bersyukur atas semua nikmat yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

Namun, itu semua tak serta merta membuat para siswa dapat memahami secara kompleks apa yang ada di balik kisah Bang Maman tadi. Ya, usia dan alam fikir yang belum memadai menjadi penghalang bagi para siswa SD untuk menarik hikmah positif di balik cerita itu.

Nah, jika untuk urusan yang seperti ini para siswa kerap dijejali dengan sebuah kisah superberat dan hebat, namun untuk urusan teknologi (seperti bagaiman cara membuat alat pendeteksi gempa dan tsunami), kenapa orang-orang pintar di negeri ini, bahkan para penerbit terkesan sungkan (bila tak ingin dikatakan tak mampu) menyajikan kisah super berat yang dapat menggugah minat baca para siswa SD tadi. Sekali lagi… sungguh ironis. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/