Yang paling bikin saya geleng-geleng kepala adalah jalan yang katanya milik negara alias pusat. Karena pemerintah kota tidak bertanggung jawab, pemerintah provinsi juga tidak.
Ngeri juga kalau dibayangkan bahwa yang bertanggung jawab atas jalan itu adalah mereka yang sama sekali tidak pernah melihatnya, apalagi melewatinya!
Gubernur, bupati, dan wali kota sudah melobi ke pusat, tapi tetap saja harus menunggu paling cepat sebulan lagi jalan itu diperbaiki.
Padahal, dalam hitungan menit, bahkan detik, kerusakan itu bisa makan korban jiwa!
Maaf, untuk hal-hal seperti ini, saya harus mengacu lagi pada kisah-kisah di luar negeri.
Bagaimana jalan rusak langsung diperbaiki pada hari yang sama. Bagaimana lubang begitu besar bisa tuntas dalam hitungan jam. Masyarakat aktif melaporkan, yang berwenang aktif memperbaiki.
Seorang cyclist terjatuh karena lubang jalan di kawasan Dartford, Inggris. Dia langsung menuntut pemerintah dan mendapatkan uang pengganti yang kalau dirupiahkan bernilai ratusan juta.
Bayangkan kalau setiap yang jatuh di sini diberi uang ganti rugi, biayanya pasti jauh lebih mahal daripada memperbaiki lubang jalan itu.
Dan sebenarnya, sekarang masyarakat sudah membayar jauh lebih mahal. Misalnya, biaya rumah sakit kalau jatuh. Biaya perbaikan suspensi atau ban mobil atau motor. Biaya bahan bakar yang lebih boros karena harus lebih sering gas rem untuk menghindari lubang. Belum lagi kalau ternyata masalah di jalan itu berbuntut urusan dengan yang berwenang, dan ternyata ada lagi biaya-biaya lainnya.
Ini belum menghitung manfaat ekonomi yang didapat kalau jalan itu mulus dan lancar. Barang dapat diantar lebih cepat, segala acara dan pertemuan yang menentukan ekonomi bisa berjalan lebih lancar, dan sebagainya.
Karena itu, saya harus menegaskan lagi betapa hebatnya toleransi masyarakat kita terhadap lubang jalan!
Sekarang kembali ke pelajaran dari guru ngaji saya dulu. Kalau kita mengambil paku di jalan mendapatkan pahala, maka kalau membiarkan jalan rusak, sebesar apa dosanya?
Kalau pembunuhan bisa berbuntut penjara puluhan tahun, bahkan seumur hidup, lalai merawat jalan mungkin seharusnya bisa berbuntut hukuman sepuluh kali seumur hidup. Karena jumlah korbannya bisa jauh lebih banyak… (*)