Ada apa dengan nasi?
Saya bukan ahli gizi. Jadi –seperti biasa dalam tulisan-tulisan lain– saya tidak akan sok tahu soal gizi. Yang pasti, kualitas kesehatan saya membaik setelah mengurangi makan nasi putih. Performa dalam berolahraga juga meningkat setelah lebih mengurangi atau mengatur makan nasi.
Bagi anak muda mungkin tidak masalah. Bagi yang tua-tua, rasanya, kok mereka yang sehat rata-rata merekomendasikan untuk mengurangi nasi.
Karena saya bukan ahli gizi, dan saya tidak ingin orang asal ikut-ikutan dengan apa yang tertulis di tulisan ini, maka saya akan menuliskan sebuah disclaimer: Bahwa tulisan ini tujuan utamanya untuk menggelitik pikiran dan semoga bisa menghibur. Jadi, mohon maaf kalau di kelanjutan tulisan ini ada ngocol dan ngawurnya. Tolong jangan tersinggung.
Nah, sekali lagi, ada apa dengan nasi?
Jangan-jangan negara kita ini tidak bisa maju karena masyarakatnya makan nasi. Paling tidak kalau dibandingkan dengan negara-negara yang lebih maju.
Di negara-negara maju, Amerika misalnya, yang direkomendasikan untuk makan lebih sehat adalah mengurangi makanan berminyak dan berlemak. Bukan mengurangi makanan secara spesifik, seperti mengurangi nasi.
Tapi, di negara-negara Barat itu, pada dasarnya memang tidak makan nasi.
Tentu sulit untuk membandingkan kualitas kesehatan manusia dari satu negara dengan yang lain. Dan kalau mau dipikir-pikir, tiap negara dan budaya makan juga punya masalah kesehatan yang beda-beda.
Di negara maju, mungkin masalahnya kanker. Jangan-jangan karena tradisi mengonsumsi makanan yang diproses?
Di negara Timur Tengah, mungkin masalahnya jantung. Jangan-jangan karena makanannya daging terus?
Di negara lain, masalahnya lain lagi. Termasuk Indonesia.
Tapi, sebenarnya mungkin ada cara untuk mengukur kualitas performa manusia. Yaitu lewat prestasi olahraga.
Caranya, melihat klasemen akhir Olimpiade.