30 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Monumen Bu Risma

Mohon izin, tulisan ini saya dedikasikan untuk Bu Risma dan Kota Surabaya yang 31 Mei ini merayakan ulang tahun. Kalau yang di kota lain tersinggung, ya mohon maaf. He he he…

***

Saya rasa hampir semua orang akan bangga dengan kotanya sendiri. Apalagi kalau itu kota tempat kelahirannya. Bagaimanapun, tidak ada tempat yang lebih nyaman daripada kampung halaman sendiri.

Dan saya rasa kita harus bangga dengan orang yang bangga pada kota atau daerahnya sendiri. Walau itu bisa pertanda dua.

Satu: Dia akan berjuang untuk memastikan kota atau daerahnya maju, dan lebih maju dari yang lain.

Atau: Dia dibutakan oleh cinta, sehingga tidak bisa melihat kalau kotanya sendiri sebenarnya tertinggal jauh dan tak pernah maju. Dan dia tetap bangga membela yang tidak maju-maju. He he he…

Masalah di negara kita ini, dan mungkin di banyak negara berkembang atau terbelakang, adalah masyarakatnya punya minim referensi terhadap apa itu kota yang maju, enak, dan nyaman untuk ditinggali.

Jangankan ke luar negeri untuk melihat kota di negara maju, pergi ke kota lain di Indonesia saja belum tentu pernah. Dan itu berlaku pula bagi mereka yang sebenarnya tinggal di kota terbesar, yang seharusnya paling maju.

Mohon maaf bagi yang tinggal di ibu kota, kita yang tidak tinggal di sana bisa tersinggung apabila Anda-Anda semua bilang ke luar kota itu ”pergi ke daerah”. Seolah-olah daerah itu tertinggalnya gimanaaaa gitu.

Apalagi, sampai sekarang saya masih sering bertemu orang Jakarta, yang kalau pergi ke Surabaya bilangnya ”mau pergi ke Jawa”. Lha emangnya Jakarta itu ada di pulau apa?

Orang yang bicara seperti itu tidak sekadar terkesan sombong, tapi sebenarnya juga minim pengetahuan geografis, bukan?

Kebetulan, karena jaringan perusahaan, saya termasuk yang sudah traveling ke hampir semua kota di Indonesia. Belum semua, tapi sudah lebih banyak dari kebanyakan orang.

Setiap kota punya charm-nya sendiri. Ada yang di kota itu makanannya dijamin enak-enak, tapi penataan kotanya minta ampun berantakan. Ada yang memang suasananya benar-benar damai, tapi sulit membayangkan kota itu bakal maju dengan pola masyarakat dan pemerintahannya.

Dan memang kita harus bisa merasakan sendiri charm setiap kota itu apa. Karena penilaian lewat penghargaan –apalagi kalau itu penghargaan dari Indonesia sendiri– rasanya sudah sulit dipercaya. Baru-baru ini saya baru terbang ke kota yang barusan menang Adipura. Tapi, setelah keliling kota tersebut, saya justru bertanya-tanya. Adipura itu penghargaan untuk apa? Wong kota ini semrawut dan sampahnya di mana-mana…

Tanpa bermaksud menyinggung warga kota lain, khusus di tulisan ini saya akan menyampaikan betapa bangga dan cintanya saya pada kota tempat tinggal saya sendiri. Kota Surabaya dengan wali kotanya yang sudah saya kagumi sejak dahulu kala.

Bagi warga kota lain, kalau kurang suka, saya tidak keberatan kalau Anda tidak melanjutkan membaca. Tapi, kalau memilih terus membaca, siapa tahu tulisan ini bisa memberi perspektif yang berbeda.

Mohon izin, tulisan ini saya dedikasikan untuk Bu Risma dan Kota Surabaya yang 31 Mei ini merayakan ulang tahun. Kalau yang di kota lain tersinggung, ya mohon maaf. He he he…

***

Saya rasa hampir semua orang akan bangga dengan kotanya sendiri. Apalagi kalau itu kota tempat kelahirannya. Bagaimanapun, tidak ada tempat yang lebih nyaman daripada kampung halaman sendiri.

Dan saya rasa kita harus bangga dengan orang yang bangga pada kota atau daerahnya sendiri. Walau itu bisa pertanda dua.

Satu: Dia akan berjuang untuk memastikan kota atau daerahnya maju, dan lebih maju dari yang lain.

Atau: Dia dibutakan oleh cinta, sehingga tidak bisa melihat kalau kotanya sendiri sebenarnya tertinggal jauh dan tak pernah maju. Dan dia tetap bangga membela yang tidak maju-maju. He he he…

Masalah di negara kita ini, dan mungkin di banyak negara berkembang atau terbelakang, adalah masyarakatnya punya minim referensi terhadap apa itu kota yang maju, enak, dan nyaman untuk ditinggali.

Jangankan ke luar negeri untuk melihat kota di negara maju, pergi ke kota lain di Indonesia saja belum tentu pernah. Dan itu berlaku pula bagi mereka yang sebenarnya tinggal di kota terbesar, yang seharusnya paling maju.

Mohon maaf bagi yang tinggal di ibu kota, kita yang tidak tinggal di sana bisa tersinggung apabila Anda-Anda semua bilang ke luar kota itu ”pergi ke daerah”. Seolah-olah daerah itu tertinggalnya gimanaaaa gitu.

Apalagi, sampai sekarang saya masih sering bertemu orang Jakarta, yang kalau pergi ke Surabaya bilangnya ”mau pergi ke Jawa”. Lha emangnya Jakarta itu ada di pulau apa?

Orang yang bicara seperti itu tidak sekadar terkesan sombong, tapi sebenarnya juga minim pengetahuan geografis, bukan?

Kebetulan, karena jaringan perusahaan, saya termasuk yang sudah traveling ke hampir semua kota di Indonesia. Belum semua, tapi sudah lebih banyak dari kebanyakan orang.

Setiap kota punya charm-nya sendiri. Ada yang di kota itu makanannya dijamin enak-enak, tapi penataan kotanya minta ampun berantakan. Ada yang memang suasananya benar-benar damai, tapi sulit membayangkan kota itu bakal maju dengan pola masyarakat dan pemerintahannya.

Dan memang kita harus bisa merasakan sendiri charm setiap kota itu apa. Karena penilaian lewat penghargaan –apalagi kalau itu penghargaan dari Indonesia sendiri– rasanya sudah sulit dipercaya. Baru-baru ini saya baru terbang ke kota yang barusan menang Adipura. Tapi, setelah keliling kota tersebut, saya justru bertanya-tanya. Adipura itu penghargaan untuk apa? Wong kota ini semrawut dan sampahnya di mana-mana…

Tanpa bermaksud menyinggung warga kota lain, khusus di tulisan ini saya akan menyampaikan betapa bangga dan cintanya saya pada kota tempat tinggal saya sendiri. Kota Surabaya dengan wali kotanya yang sudah saya kagumi sejak dahulu kala.

Bagi warga kota lain, kalau kurang suka, saya tidak keberatan kalau Anda tidak melanjutkan membaca. Tapi, kalau memilih terus membaca, siapa tahu tulisan ini bisa memberi perspektif yang berbeda.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/