27 C
Medan
Thursday, June 20, 2024

Pamor Survei

Pamor partai politik Islam makin drop. Hal ini diungkapkan setelah Lingkar Survei Indonesia (LSI) melakukan survei. Benarkah?

Menurut LSI hal itu adalah benar. Setidaknya, dari survei yang dilaksanakan pada 1-8 Oktober dan melibatkan 1.200 responden itu, lima besar perolehan suara didominasi partai nasionalis. Secara berturut-turut, Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan Nasdem berada pada urutan lima besar.
Sedangkan empat partai Islam penghuni DPR saat ini, yakni PKS, PAN, PKB, dan PPP, sesuai dengan hasil survei LSI diprediksi terlempar dari lima besar. “Capaian ini adalah yang terburuk sejak pemilu pertama pada 1955 digelar,” begitu kata Peneliti LSI Adjie Alfaraby.

Benarkah?

Ya, kenapa saya bolak-balik bertanya terkait keterangan itu? Saya rasa Anda pasti paham. Ini soal klaim. Ya, ketika ada yang mengatakan sesuatu tak becus, maka hal itu bisa mengganggu kestabilan rasa yang diklaim itu bukan. Di sisi lain, klaim itu bisa menambah kepercayaan diri bagi yang diklaim tadi. Untuk kasus survei LSI, partai Islam lah yang dirugikan, sementara parpol berbasis nasionalis menjadi naik daun. Maka, sebutlah PKS, PAN, PKB, dan PPP yang terkena imbas tak menyenangakan, sementara Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan Nasdem bisa senyum-senyum.

Sekali lagi, ketika pileg digelar tahun ini, benarkah hal itu bisa menjadi nyata?

Maka, perbandingannya adalah hasil survei saat Pemilihan Umum DKI Jakarta tempo hari. Adakah hasil survei mencerminkan hasil? Lihatlah, Jokowi dan Ahok yang disurvei tidak akan menang, hari ini mereka malah dilantik secara resmi menjadi gubenur dan wakil gubernur Jakarta.

Artinya, survei bukanlah segalanya. Meski Lsi mengklaim telah melibatkan 1.200 responden, bukankah angka itu masih cukup sedikit dengan jumlah rakyat Indonesia yang mencapai dua ratus juta lebih? Maksud saya, ini bukan soal keberpihakan pada pihak tertentu, namun survei, selain bisa menolong, dia juga bisa menjadi bumerang. Dan, saya rasa, semua parpol mulai percaya dengan itu.

Lalu, adakah LSI dan lembaga survei bisa disalahkan. Saya rasa tidak juga. Lembaga survei bagi saya bak komentator bola di televisi.
Seorang komentator tentnuya memiliki prediksi yang berdasarkan data statistik. Tidak itu saja, data nonteknis pun kadang jadi ulasan penting. Namun, komentar dari komentatot tetaplah menjadi komentar setelah bola mulai di tendang.

Menariknya, seorang komentator bisa dengan cepat berbalik analisisnya ketika prediksi tak sesuai. Misalnya, ketika dia memprediksi Barcelona menang dari Real Madrid saat laga belum dimulai, tapi setelah selesai pertandingan hasilnya malah berbalik, maka dia tidak akan malu untuk memuji strategi Real Madrid dalam memenangi pertandingan. Dan, dalam sepak bola, hal itu sudah bisa diterima.

Nah, bagaimana dengan survei yang notebene mirip prediksi? Adakah, LSI bisa berbalik mengatakan kalau hasil survei yang mengatakan parpol Islam makin drop adalah suatu kesalahan? Jawabnya, tidak jauh berbeda dengan sepak bola. Survei juga bisa berbalik; menyelamatkan diri.
Sejarah Indonesia mencatat, ketika Pilkada DKI, LSI memublikasikan hasil surveinya  untuk kemenangan Foke dan Nara.  Kenyataannya, Jokowi dan Ahok yang menang. Tahu apa yang dikatakan pihak LSI?

“Betul LSI ikut jadi tim pemenangan Foke, jujur harus kami sampaikan,” kata Toto Izul Fattah, salah satu peneliti LSI kepada media.
Namun, bak komentator bola, sang peneliti memberikan dalih. Kata Toto, lembaganya memiliki dua divisi yang terpisah setiap melakukan survei. Divisi riset dan divisi pemenangan.

Divisi pemenangan, bertugas mencari dana, sementara divisi riset bertugas melakukan survei. Meski dibiayai pasangan Foke-Nara, dia mengaku kedua divisi tersebut tidak saling berpengaruh.

Baiklah, jika begitu, seperti apakah survei yang baru dilakukan LSI terhadap pamor parpol di Indonesia? Bisakah diterima? (*)

Pamor partai politik Islam makin drop. Hal ini diungkapkan setelah Lingkar Survei Indonesia (LSI) melakukan survei. Benarkah?

Menurut LSI hal itu adalah benar. Setidaknya, dari survei yang dilaksanakan pada 1-8 Oktober dan melibatkan 1.200 responden itu, lima besar perolehan suara didominasi partai nasionalis. Secara berturut-turut, Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan Nasdem berada pada urutan lima besar.
Sedangkan empat partai Islam penghuni DPR saat ini, yakni PKS, PAN, PKB, dan PPP, sesuai dengan hasil survei LSI diprediksi terlempar dari lima besar. “Capaian ini adalah yang terburuk sejak pemilu pertama pada 1955 digelar,” begitu kata Peneliti LSI Adjie Alfaraby.

Benarkah?

Ya, kenapa saya bolak-balik bertanya terkait keterangan itu? Saya rasa Anda pasti paham. Ini soal klaim. Ya, ketika ada yang mengatakan sesuatu tak becus, maka hal itu bisa mengganggu kestabilan rasa yang diklaim itu bukan. Di sisi lain, klaim itu bisa menambah kepercayaan diri bagi yang diklaim tadi. Untuk kasus survei LSI, partai Islam lah yang dirugikan, sementara parpol berbasis nasionalis menjadi naik daun. Maka, sebutlah PKS, PAN, PKB, dan PPP yang terkena imbas tak menyenangakan, sementara Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan Nasdem bisa senyum-senyum.

Sekali lagi, ketika pileg digelar tahun ini, benarkah hal itu bisa menjadi nyata?

Maka, perbandingannya adalah hasil survei saat Pemilihan Umum DKI Jakarta tempo hari. Adakah hasil survei mencerminkan hasil? Lihatlah, Jokowi dan Ahok yang disurvei tidak akan menang, hari ini mereka malah dilantik secara resmi menjadi gubenur dan wakil gubernur Jakarta.

Artinya, survei bukanlah segalanya. Meski Lsi mengklaim telah melibatkan 1.200 responden, bukankah angka itu masih cukup sedikit dengan jumlah rakyat Indonesia yang mencapai dua ratus juta lebih? Maksud saya, ini bukan soal keberpihakan pada pihak tertentu, namun survei, selain bisa menolong, dia juga bisa menjadi bumerang. Dan, saya rasa, semua parpol mulai percaya dengan itu.

Lalu, adakah LSI dan lembaga survei bisa disalahkan. Saya rasa tidak juga. Lembaga survei bagi saya bak komentator bola di televisi.
Seorang komentator tentnuya memiliki prediksi yang berdasarkan data statistik. Tidak itu saja, data nonteknis pun kadang jadi ulasan penting. Namun, komentar dari komentatot tetaplah menjadi komentar setelah bola mulai di tendang.

Menariknya, seorang komentator bisa dengan cepat berbalik analisisnya ketika prediksi tak sesuai. Misalnya, ketika dia memprediksi Barcelona menang dari Real Madrid saat laga belum dimulai, tapi setelah selesai pertandingan hasilnya malah berbalik, maka dia tidak akan malu untuk memuji strategi Real Madrid dalam memenangi pertandingan. Dan, dalam sepak bola, hal itu sudah bisa diterima.

Nah, bagaimana dengan survei yang notebene mirip prediksi? Adakah, LSI bisa berbalik mengatakan kalau hasil survei yang mengatakan parpol Islam makin drop adalah suatu kesalahan? Jawabnya, tidak jauh berbeda dengan sepak bola. Survei juga bisa berbalik; menyelamatkan diri.
Sejarah Indonesia mencatat, ketika Pilkada DKI, LSI memublikasikan hasil surveinya  untuk kemenangan Foke dan Nara.  Kenyataannya, Jokowi dan Ahok yang menang. Tahu apa yang dikatakan pihak LSI?

“Betul LSI ikut jadi tim pemenangan Foke, jujur harus kami sampaikan,” kata Toto Izul Fattah, salah satu peneliti LSI kepada media.
Namun, bak komentator bola, sang peneliti memberikan dalih. Kata Toto, lembaganya memiliki dua divisi yang terpisah setiap melakukan survei. Divisi riset dan divisi pemenangan.

Divisi pemenangan, bertugas mencari dana, sementara divisi riset bertugas melakukan survei. Meski dibiayai pasangan Foke-Nara, dia mengaku kedua divisi tersebut tidak saling berpengaruh.

Baiklah, jika begitu, seperti apakah survei yang baru dilakukan LSI terhadap pamor parpol di Indonesia? Bisakah diterima? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/