Lalu, mereka berteriak. Pedagang-pedagang yang berada di Pasa Helvetia Medan histeris. Usaha mereka yang telah dirintis sekian waktu ludes dalam sekejap. Api memang merayap dengan cepat tadi malam.
Setelah satu jam, setelah 27 mobil pemadam kebakaran hadir, api baru bisa dipadamkan. Apa lacur, barang dagangan telah berubah bentuk; menghitam dan tak bisa lagi dijual seperti sedia kala.
Ada dua los pasar yang terbakar. Satu los berjumlah 20 hingga 25 kios. Artinya, sedikitnya kebakaran tadi malam membakar 50 kios. Berbagai pihak memprediksi kerugian mencapai ratusan juta rupiah, bagi saya pasti lebih. Ini bukan soal barang yang terbakar saja, tapi coba bayangkan berapa manusia yang menderita akibat kebakaran itu.
Anggap saja satu kios itu menghidupi sepuluh orang. Angka ini saya ambil dengan rumus; pemilik kios memiliki istri atau suami dengan dua anak; penjaga kios berjumlah 3 dan masing-masing belum punya anak tapi sudah punya istri atau suami. Artinya, satu kios diharapkan oleh sepuluh orang. Maka, minimal ada 500 warga yang dirugikan atas kebakaran itu bukan? Ingat, ini angka minimal, bisa saja pemilik kios memiliki empat anak. Di sisi lain, bisa saja penjaga kios hanya berjumlah dua tapi semuanya telah berkeluarga dan memiliki anak. Nah, seandainya saja dari 500 orang itu mendapat berkah dari setiap kiosnya Rp10.000 rupiah saja dalam sehari, maka ada uang lima juta rupiah yang entah kemana bukan? Kemudian dikalikan berapa hari kios itu nganggur setelah kebakaran. Anggaplah sebulan. Maka akan ada 150 juta uang yang melayang. Nah, bayangkan jika tidak sepuluh ribu yang didapat mereka, pemilik kioas misalnya mendapat untung dalam sehari 50 ribu, bisa bayangkan jumlahnya. Angka itu kemudian dilipatkan lagi dengan modal; barang yang terbakar dan bangunan yang ludes. Apakah angka kerugian masih di ratusan juta?
Belum lagi ketika kita bicara soal kerugian yang nonmateriil. Misalnya, asa yang terhempas akibat kebakaran itu. Ya, bisa saja gara-gara kebakaran itu ada orangtua yang bekerja di pasar tersebut jadi tak mampu menyekolahkan anaknya. Coba bayangkan besar asa yang dimiliki oleh sang orangtua tersebut? Pikirkan juga mimpi sang anak yang ingin pintar melalui pendidikan di sekolah? Satu lagi, jika kita mampu melihat masa depan, bisa saja anak yang seharusnya menjadi gubernur Sumatera Utara beberapa tahun ke depan jadi gagal gara-gara kebakaran itu. Ya, gara-gara kebakaran itu bapaknya tidak bisa membiayai sekolahnya. Dia jadi putus asa dan sibuk menghabiskan waktu di jalanan. Fiuh, terlalu jauh analogi saya ya.
Tapi, begitulah, soal kebakaran memang bukan sekadar cepat atau lambatnya api merayap. Kebakaran adalah musibah. Dan musibah adalah sesuatu yang kompleks hingga tak bisa dipetakan kerugiannya.
Lalu, apa yang harus dilakukan agar kebakaran tak merugikan. Tentu, jawabannya, hindarilah kebakaran. Hindari sesuatu yang bisa membakar. Waspadailah kecenderungan yang bisa mengakibatkan kebakaran. Kalaupun tetap terbakar, ya, jangan biarkan api merayap dengan cepat. Bukankah begitu? (*)