Oleh: Valdesz J. Nainggolan
Kepala Koordinator Liputan Sumut Pos
SEBUAH yurisprudensi kembali menghiasi dunia hukum kita. Senin (14/5) PTUN Jakarta mengabulkan permohonan putusan sela Gubernur Bengkulu non-aktif Agusrin M. Najamudin dalam sengketa melawan Presiden RI dan Mendagri. Putusan yang mengejutkan karena tergolong langka Keppres dibatalkan pengadilan Keppres No 48/P Tahun 2012 yang mengesahkan pengangkatan Wagub Junaidi Hamsyah sebagai gubernur defenitif.
Tidak hilang akal, Agusrin minta bantuan hukum mantan Menkumham Yusril Ihza Mahendra. Yusril, yang mengantongi kartu advokat, menggugat Keppres tersebut. Agusrin menang! PTUN memerintahkan para pihak menaati putusan sela tersebut. Kendati pokok perkara belum dikabulkan, namun putusan sela PTUN itu memutus perkara ini menjadi status quo.
Yurisprudensi ini bukan hanya mengejutkan masyarakat Bengkulu, tapi juga masyarakat lain di negeri ini. Kasus Agusrin menjadi relevan manakala ditarik lebih jauh dalam konteks Sumut. Setelah melewati putusan pengadilan tingkat pertama dan kedua, MA menghukum Gubsu non-aktif Syamsul Arifin enam tahun penjara. Syamsul terbukti terlibat kasus korupsi dana APBD Langkat sebesar Rp98,7 miliar. Kemendagri sudah mengirim sinyal akan adanya perubahan status Gatot dengan putusan MA ini. Selangkah lagi Gatot menjabat kursi defenitif. Toh garis tangan rupa-rupanya berkehendak lain.
Kasus Agusrin di Bengkulu adalah pelajaran lain bagaimana hukum kita masih punya banyak ‘celah’. Langkah Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Agusrin dan Syamsul justru dilihat PTUN sebagai bagian dari hukum yang belum final. Ada kemungkinan menjungkirbalikkan putusan sebelumnya meskipun ia memerlukan novum alias bukti baru sebagai syarat utama.
Sekali lagi, pelajaran dari Bengkulu membuka mata ternyata vonis MA atas Syamsul belum punya kekuatan hukum tetap alias inkracht. PT masih bagian dari upaya hukum yang harus dihormati bersama. Bayangkan, Depdagri saja bisa salah kaprah terhadap tahapan hukum di wilayah tugasnya!
By the way, jikapun kasus Agusrin tidak tercatat sebagai yurisprudensi, saya justru pesimistis Gatot lenggang-kangkung menjabat gubernur defenitif. Begitu banyak kerikil yang menghadangnya sampai ke situ. Ibarat lagu ‘’The Long and Winding Road’’: begitu panjang perjalanan Gatot sampai ke ‘tahta’ terakhir itu. Konstelasi politik nasional dan dinamika politik lokal akan menjegal seluruh langkah Gatot dan PKS ke arah sana.
Pertama, jika mengacu UU 32/2004 tentang Pemda, Gatot harus menunggu dua Keppres, yakni pemberhentian Syamsul dan pengangkatannya sebagai Gubsu defenitif. Jelas kita tahu relasi PKS dan Demokrat di Setgab sedang buruk-buruknya saat ini. Sikap PKS yang menolak rencana kenaikan BBM menjadi klimaks tak harmonisnya komunikasi dua partai ini.
Saya berpikir apa mungkin Keppres itu keluar dengan cepat dan mulus? Tentulah mendapatkan Keppres itu tak semudah di atas kertas mengingat hubungan kedua partai yang senantiasa ‘saling mengintip’ atas kepentingan masing-masing? Saya kok yakin Presiden SBY pasti buying time untuk menerbitkan dua Keppres tersebut. Kedua, jikapun Presiden SBY ‘rela’ menerbitkan dua Keppres itu, bola selanjutnya bergulir ke DPRDSU. Di tengah kemelut parpol mendorong jagoan mereka di Pilgubsu Maret 2013, apa mungkin fraksi-fraksi di DPRDSU dengan cergas menyiapkan sidang paripurna pengangkatan Gatot menjadi defenitif?
Wah, saya malah teringat pepatah: ‘’Jangan membesarkan anak harimau’’. DPRD adalah lembaga politik dan ya, itulah tempatnya orang berpolitik. Bagi saya judul lagu di atas cermin nasib politik Gatot, setidaknya hingga saat ini. Proses Pilgubsu segera dimulai November tahun ini. Ini artinya kurang setengah tahun lagi Gatot harus melepas seluruh atributnya bilamana bertarung di Pilgubsu 2013.
Boleh jadi sebelum tiba di tangga ‘idaman’ itu, Gatot justru mesti melepaskan atribut yang melekat sekarang ini. Bagi publik, atribut ‘plt’ atau ‘defenitif’ jelas bukan sesuatu yang istimewa. Sing penting pemerintahan berjalan dengan baik. Justru yang istimewa: atribut Gatot yang sekarang ini akan membuat Pilgubsu berjalan dengan fairness, tanpa menimbulkan kecemasan birokrasi di Pemprovsu untuk terlibat terlampau jauh dalam ranah politik praktis. (*)