Kebiasannya melek malam (saat mendalang) terbawa. Dan memang Enthus tetap mendalang. Jumat-Sabtu-Minggu Enthus melayani order. Termasuk dari luar kota. Mendalang semalam suntuk. Suatu saat Enthus bilang kepada saya: gaji saya sebagai bupati tidak ada apa-apanya dibanding pendapatan saya dari mendalang.
Memang Enthus, sebagai bupati, dikenal bersih. Terbuka. Mudah dijadikan tempat curhat warganya. Suatu saat saya nonton pagelarannya. Sampai pagi.
Saya pun bertanya: apakah jadi bupati itu berat. Inilah jawabnya: Saya kan sudah biasa ngatur negara, apa susahnya ngatur hanya kabupaten…hahahhaa. Kami pun tertawa-tawa.
Sebagai dalang Enthus memang sudah biasa ngatur negara: Amarta, Astina, Mandura, Ndworowati ….
Yang saya suka dari Enthus adalah: semuanya. Suaranya yang bulat-merdu-mantab. Yang bisa mewakili karakter suara puluhan tokoh wayang yang berbeda. Yang bisa menangis sesenggukan dengan trenyuhnya. Yang bisa tertawa ngakak dengan naturalnya. Yang bisa marah dengan garangnya. Yang bisa merayu dengan mendayunya.
Bahkan bisa mencampur tawa ngakak dengan tangis sedih. Seperti dalam adegan Petruk-Bagong menghadapi ancaman Gatotkaca. Dalam lakon Semar Membangun Kayangan. Bisa dilihat di Youtube.
Dan Enthus sangat bangga dengan kemampuannya itu. Dengan sabetannya. Di adegan perangnya.
Yang juga saya kagumi. Kadang muncul kegilaannya: ia berdiri, berperang dengan wayangnya sendiri.
Enthus lebih dari sekedar dalang. Ia seniman. Dengan kreativitasnya. Dengan kebebasannya. Dengan daya ciptanya.
Ia ciptakan wayang-wayang baru: Wayang Gus Dur, wayang George Bush, wayang Usamah bin Laden dan wayang yang jadi idola orang tegal: Si Lupit. Si Lupit mewakili karakter orang Tegal. Ceplas-ceplos, kasar, bego-pintar, polos dan apa adanya.
Lewat wayang Si Lupit itulah Enthus bisa mengkritik siapa saja. Dengan kejamnya, dengan sinisnya dan dengan lucunya.
Ia ciptakan lagu-lagu. Gending-gending. Dia ajari sinden bagaimana harus menyanyikannya. Ia ciptakan seragam wiyogo: penabuh gamelan. Mirip pakaian para wali.
Dan Enthus sangat menguasai masalah agama. Dia demonstrasikan itu dalam wejangan-wejangan filsafatnya. Tidak mungkin dilakukan dalang lain. Terlalu sensitif. Enthus juga sangat bangga dengan ke-Ansor-annya, keahlisunnahwaljamaahnya.
Dan Enthus bisa mendalang wayang Sunda. Wayang golek. Dengan sempurnanya. Tidak dimiliki dalang lainnya di seluruh dunia.
Kemampuannya itu ia peroleh secara otodidak. Belajar sendiri. Dari ayahnya. Yang juga dalang. Dari kakeknya. Yang juga dalang. Dari leluhurnya: yang juga dalang.
Darahnya: dalang. Dagingnya: dalang. Nafasnya: dalang.
Dan Enthus, harus saya akui, sangat ganteng. Hidungnya, pipinya, dagunya, dahinya, telinganya, seperti kumpulan semua onderdil ganteng dikumpulkan di wajah Enthus.
Suatu saat saya kemukakan kegantengannya itu. Apa ia bilang? ”Rasanya memang sayalah dalang paling ganteng sedunia,” katanya.
Hahahaa… Hanya satu yang saya sayangkan: ia tidak bisa lagi membaca tulisan saya ini.(***)