30.7 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Homo Homini Lupus

Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Aksi koboy bukan lagi dalam film ala pejuang Amerika Serikat mengejar kaum Indian. Dia telah hadir di Indonesia. Di jalanan protokol. Tanpa malu dan takut, seseorang bisa langsung mengeluarkan pistolnya; menodongkan senjata api (senpi) itu pada lawan.

Tidak itu saja, ada juga yang berlagak santai saat berdebatn.

Tapi, dia keluarkan pistolnya dan diletakkan agar lawan debat terdiam. Entah apa yang terjadi, yang jelas penggunaan pistol telah begitu bebas. Dan di Sumut, diperkirakan ada 15.000 senpi ilegal yang beredar. Luar biasa.

Tanpa berusaha mengulas soal keberadaan pistol, penggunaan senpi itu dianggap oleh beberapa kalangan sebagai tindakan gagah-gagahan. Istilah kerennya, overacting. Benarkah sebatas itu? Tampaknya tidak. Pasalnya, soal keberanian dan kenekatan orang menggunakan pistol sebagai senjata tidak sekadar untuk menakut-nakuti lawan; apalagi membela diri alias pertahanan. Senpi adalah senjata untuk menyerang. Dan, atas nama menyerang maka nalurinya adalah melumpuhkan lawan.

Pertanyaannya, kenapa seseorang harus melumpuhkan orang lain? Tentu jawabannya karena dia merasa terancam alias tak aman. Pistol dia gunakan sebagai tameng sekaligus senjata mematikan. Maka, ketika mereka merasa tak nyaman, beli saja pistol.

Nah, kecenderungan di atas sangat riskan. Pola pandang manusia yang homo homini socius – manusia sahabat bagi manusia – bisa tergeser. Unsur kehidupan manusia Indonesia yang ramah tamah, gotong royong, hingga toleransi bisa rawan. Bagaimana tidak, ketika manusia tidak lagi jadi sahabat bagi manusia lain, maka manusia akan berubah menjadi homo homini lupus; manusia adalah serigala bagi sesama. Seperti yang ditekankan oleh filsuf Plautus Asinaria (495 M) dengan kalimat lupus est homo homini yang artinya manusia adalah serigala (nya) manusia.  Maksudnya, manusia bukan hanya serigala (yang buas) bagi manusia lain, tetapi juga jati diri serigala menjadi milik manusia satu terhadap lainnya.

Tak ingin berlebihan, tapi sisi kemanusiaan di Indonesia memang cenderung menuju trend tersebut. Tidak hanya soal penggunaan senpi. Berbagai persoalan di negara ini cenderung diselesaikan dengan gaya rimba tersebut. Lihat saja tawuran anak sekolah hingga antarkampung, perebutan tanah, bahkan persaingan kerja dan usaha.

Lucunya, hal ini makin diperparah dengan apa yang dicontohkan kaum elite politik. Mereka terus saja menyajikan adegan perburuan kekuasaan, kepentingan, uang, dan pengaruh. Tambah menarik, dalam kepartaian ada juga yang tidak sekadar untuk melumpuhkan partai lawan. Dalam satu partai pun ada yang sibuk mencari kekuasaan. Sesama kader saling memangsa seakan lupa dengan arti perjuangan partai mereka sendiri.

Itulah, jika tidak segera ada tindakan bijak, Indonesia secara keseluruhan akan mengagungkan hidup ‘siapa kuat dia menang, siapa lemah mati’.
Menurut, filsuf dari  Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679), dalam keadaan seperti ini dibutuhkan kekuatan. Yang dimaksudnya adalah negara. Ya, sebuah lembaga yang mampu mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah.
Nah, di Indonesia telah ada negara seperti yang dimaksud Hobbes, tapi kenapa kecenderungan homo homini lupus makin tampak? (*)

Ramadhan Batubara
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Aksi koboy bukan lagi dalam film ala pejuang Amerika Serikat mengejar kaum Indian. Dia telah hadir di Indonesia. Di jalanan protokol. Tanpa malu dan takut, seseorang bisa langsung mengeluarkan pistolnya; menodongkan senjata api (senpi) itu pada lawan.

Tidak itu saja, ada juga yang berlagak santai saat berdebatn.

Tapi, dia keluarkan pistolnya dan diletakkan agar lawan debat terdiam. Entah apa yang terjadi, yang jelas penggunaan pistol telah begitu bebas. Dan di Sumut, diperkirakan ada 15.000 senpi ilegal yang beredar. Luar biasa.

Tanpa berusaha mengulas soal keberadaan pistol, penggunaan senpi itu dianggap oleh beberapa kalangan sebagai tindakan gagah-gagahan. Istilah kerennya, overacting. Benarkah sebatas itu? Tampaknya tidak. Pasalnya, soal keberanian dan kenekatan orang menggunakan pistol sebagai senjata tidak sekadar untuk menakut-nakuti lawan; apalagi membela diri alias pertahanan. Senpi adalah senjata untuk menyerang. Dan, atas nama menyerang maka nalurinya adalah melumpuhkan lawan.

Pertanyaannya, kenapa seseorang harus melumpuhkan orang lain? Tentu jawabannya karena dia merasa terancam alias tak aman. Pistol dia gunakan sebagai tameng sekaligus senjata mematikan. Maka, ketika mereka merasa tak nyaman, beli saja pistol.

Nah, kecenderungan di atas sangat riskan. Pola pandang manusia yang homo homini socius – manusia sahabat bagi manusia – bisa tergeser. Unsur kehidupan manusia Indonesia yang ramah tamah, gotong royong, hingga toleransi bisa rawan. Bagaimana tidak, ketika manusia tidak lagi jadi sahabat bagi manusia lain, maka manusia akan berubah menjadi homo homini lupus; manusia adalah serigala bagi sesama. Seperti yang ditekankan oleh filsuf Plautus Asinaria (495 M) dengan kalimat lupus est homo homini yang artinya manusia adalah serigala (nya) manusia.  Maksudnya, manusia bukan hanya serigala (yang buas) bagi manusia lain, tetapi juga jati diri serigala menjadi milik manusia satu terhadap lainnya.

Tak ingin berlebihan, tapi sisi kemanusiaan di Indonesia memang cenderung menuju trend tersebut. Tidak hanya soal penggunaan senpi. Berbagai persoalan di negara ini cenderung diselesaikan dengan gaya rimba tersebut. Lihat saja tawuran anak sekolah hingga antarkampung, perebutan tanah, bahkan persaingan kerja dan usaha.

Lucunya, hal ini makin diperparah dengan apa yang dicontohkan kaum elite politik. Mereka terus saja menyajikan adegan perburuan kekuasaan, kepentingan, uang, dan pengaruh. Tambah menarik, dalam kepartaian ada juga yang tidak sekadar untuk melumpuhkan partai lawan. Dalam satu partai pun ada yang sibuk mencari kekuasaan. Sesama kader saling memangsa seakan lupa dengan arti perjuangan partai mereka sendiri.

Itulah, jika tidak segera ada tindakan bijak, Indonesia secara keseluruhan akan mengagungkan hidup ‘siapa kuat dia menang, siapa lemah mati’.
Menurut, filsuf dari  Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679), dalam keadaan seperti ini dibutuhkan kekuatan. Yang dimaksudnya adalah negara. Ya, sebuah lembaga yang mampu mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah.
Nah, di Indonesia telah ada negara seperti yang dimaksud Hobbes, tapi kenapa kecenderungan homo homini lupus makin tampak? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/