Krisis moneter pada akhir 1990-an merupakan blessing in disguise buat saya, yang waktu itu sedang kuliah di Amerika.
Dari segi finansial, tentu sempat bikin pusing. Uang saku saya dipotong lebih dari 50 persen oleh orang tua. Harus pindah dari apartemen sendiri, berbagi satu rumah dengan tiga sahabat.
Di kampus saya, California State University di Sacramento (Sacramento State), jumlah anak Indonesia-nya langsung anjlok. Ketika saya masuk, masih 70-an. Waktu lulus pada pengujung 1999, tinggal lima orang.
Blessing-nya, tentu saja, saya dan teman-teman lain dari Indonesia jadi lebih ngeh tentang pentingnya bekerja. Harus cari pekerjaan part time untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari. Atau, paling tidak untuk tunjangan lifestyle , hahahaha.
Ada teman yang bekerja di perpustakaan sekolah, jadi asisten dosen, di restoran, atau bekerja delivery pizza. Saya? Bekerja di kafetaria di dormitory kampus. Ya jadi pelayan, pembantu koki, barista, dan tiap hari Jumat cuci piring.
Jujur, waktu kuliah itu, hidup saya tidak pernah kekurangan. Saya tidak akan menulis tentang sulitnya kerja dan jadi sok hidup susah.
Wong sekolah di Amerika kok mengaku susah. Harus bersyukur dong!
Tapi, waktu itu memang harus bekerja kalau ingin terus mendapatkan yang diingin-inginkan. Bagi beberapa teman, memenuhi keinginan melengkapi koleksi sepatu basket, keinginan bisa jalan-jalan, dan keinginan-keinginan lain yang lebih condong ke tersier daripada sekunder.
***
Sebelum krismon, dulu orangtua pernah meminta saya untuk pulang setiap libur semester. Bukan setahun sekali, tapi setahun dua kali. Alasannya, supaya selalu menginjak bumi , selalu mengikuti perkembangan di Indonesia secara langsung.
Kalau pulang hanya setahun sekali, atau tidak pulang sama sekali, bisa-bisa shock dan sulit beradaptasi ulang ketika nanti pulang permanen.
Karena krismon, antara 1997 hingga lulus akhir 1999, saya tidak pulang. Saat musim panas, saya bekerja sekaligus mengambil kelas-kelas tambahan. Kesempatan untuk mengambil kelas-kelas di luar kurikulum yang dijadwalkan, memenuhi kebutuhan-kebutuhan perkembangan pribadi saat itu.
Pernah satu semester pendek musim panas, saya mengambil kelas-kelas filosofi. Maklum, sedang fase pencarian jati diri.
Ada kelas filsafat bahasa, kelas filsafat Inggris, kelas tentang agama-agama di dunia, serta filsafat Tiongkok.
Ibu saya sempat heran dengan kesukaan/pilihan-pilihan itu. Tapi, ayah saya yang dari dulu selalu membiarkan saya berbuat/memilih apa saja hanya bilang: Biarin saja. Ulik (panggilan saya di rumah) sedang fase itu.
Salah satu tema favorit saya dapat di kelas filsafat Tiongkok. Dosennya bule, tapi pernah lama tinggal di Tiongkok dan fasih berbahasa serta menulis Mandarin.
Karena kelasnya hanya dua minggu (sehari empat jam), tema paling utama kelas itu adalah wu wei.
Konsep dari Taoisme itu memang tidak bisa didefinisikan secara mudah. Memahaminya harus lewat diskusi-diskusi dan contoh-contoh. Sebab, bisa diartikan melakukan tanpa melakukan untuk meraih yang diinginkan/diharapkan. Intinya, kurang lebih, segala di sekeliling kita ini sudah harmonis. Kalau kita terlalu memaksakan, malah kacau. Kalau kita bisa seirama, hasilnya jadi luar biasa.
Pada akhir semester, kami harus membuat paper (naskah) tentang wu wei tersebut. Bukan tentang apa itu dan pemahaman kita tentang konsep itu. Paper-nya harus jelas, menceritakan pengalaman hidup kita yang bisa diartikan sudah menerapkan wu wei.
Nah, lho?
Bila memahaminya sulit, apalagi menerapkannya. Padahal, sejak kecil, kita mungkin sudah berkali-kali melakukannya.
Pernahkah Anda main bulu tangkis, lalu entah mengapa hari itu Anda benar-benar menggila walau tidak memaksa, dan dengan mudah mengalahkan lawan-lawan yang biasanya sulit dikalahkan?
Pernahkah Anda main basket, dan hari itu entah mengapa selalu dengan mudah memasukkan bola, walau kadang saat mata tertutup?
Pernahkah Anda bekerja, dan hari itu sepertinya membuat keputusan terasa mudah, segala program berjalan lancar, walau rasanya tidak memaksa dan berusaha terlalu keras?
Kalau pernah, mungkin Anda baru saja menerapkan wu wei.
Ketika akan mengerjakan tugas kuliah dulu, sempat bingung juga mau menulis apa. Akhirnya, saya memilih tema naik go-kart.
Dulu waktu SMP, saya memang sempat berlatih go-kart. Waktu itu Sirkuit Kenjeran di Surabaya masih baru. Ketika mengejar waktu yang baik, dulu awalnya selalu mencoba memaksakan diri. Selalu over saat mengambil tikungan. Selalu over saat memutar roda setir.
Yang mengajari saya waktu itu lantas memberikan saran sangat sederhana: Jangan memaksa, ikuti saja go-kart-nya.
Benar saja, ketika mengikuti go-kart-nya, membelok tanpa memaksa, menginjak gas secara smooth, catatan waktu langsung membaik.
Wu wei!
Cling! Paper saya dapat nilai A.
Belakangan, saya sering ditanya teman soal bagaimana caranya supaya bisa menanjak dengan baik saat bersepeda. Apalagi bulan April nanti Jawa Pos menyelenggarakan Bromo 100 Km, event bersepeda menanjak yang sangat menantang.
Jawaban saya: Wu wei saja.
Jangan terlalu banyak dipikir, jangan terlalu banyak dipusingkan. Naik sepeda, pancal, kosongkan pikiran, dan kayuh pedalnya.
Asal latihannya cukup, asal kemauannya kuat, pasti mudah. Tinggal bagaimana mengontrol pikiran dan mengharmonisasikan diri dengan sepeda dan lingkungan.
Tentu saja, penerapan tidak semudah omongannya wkwkwk.
Happy Wednesday dan selamat ber-wu wei ria! (*)