29 C
Medan
Friday, January 31, 2025

Kepala Kurang Gizi

***

Dalam dua tahun ini saya banyak menunggu kemunculan hobi anak saya. Main iPad, mereka maniak, tapi dibatasi hanya saat weekend. Yang pertama (cowok, 8 tahun) sepertinya suka hal-hal berbau engineering. Khususnya kereta api. Yang kedua (cewek, 6 tahun) kayaknya nurun ibunya, seorang fashionista, suka memilih-milih sendiri baju dan aksesori. Yang ketiga (cewek, 5 tahun) masih chaos, entah maunya apa.

Suka baca? Tanda-tandanya mulai menyenangkan saya.

Yang cowok kalau pagi mulai buka-buka koran sendiri. Tidak pernah disuruh atau dipaksa. Mungkin karena Jawa Pos memang tergolong ”gaul”, sering memuat berita-berita dan foto film superhero. Dari sekolahnya juga lumayan ada tugas-tugas baca buku.

Baru-baru ini kami ke toko buku di mal dan dia nggak happy karena tidak ada buku tentang tornado, topik yang sedang getol dipelajarinya via internet. Pulangnya tidak tangan hampa sih, dia masih membawa pulang komik kocak Agen Polisi 212 (yang bisa baca gantian dengan ayahnya).

Dulu, waktu saya kecil, masih zaman mesin ketik, abah pernah membawakan saya satu mesin tak-tuk-tak-tuk-greeek-tak-tuk-tak-tuk itu untuk dipakai. Lumayan, kelas empat SD saya mulai menulis cerpen. Pernah dimuat majalah-majalah anak. Duit honornya (Rp 15 ribu per naskah, wkwkwkwk) buat beli kaset lagu.

Sekarang anak cowok saya mulai hobi ”bikin buku”. Ke kantor saya atau pakai laptop saya, dia pakai PowerPoint atau program lain. Kemudian, dia bikin (nge-print) buku. Ada petualangannya bersama adik di Golden Gate Bridge, San Francisco, dan lain-lain. Main gambar dan ilustrasi (copas internet), lalu mengetik naskah pendek, menjelaskan apa yang terjadi.

Agak lega rasanya. Minimal masih ada yang nurun dari kakek dan ayahnya…
Saya tidak akan memaksa dia untuk terus baca buku. Saya akan membiarkan dia menemukan sendiri maunya apa. Dan kalau itu termasuk baca buku, bagus!
Sebagai orang tua, saya bersyukur karena bisa memenuhi kebutuhan gizi badannya. Kebutuhan-kebutuhan lainnya juga. Tapi untuk memenuhi kebutuhan gizi di dalam kepala, harus dia sendiri yang menemukan jalannya. Kita paksa, belum tentu bisa dan belum tentu baik.

***

Dalam dua tahun ini saya banyak menunggu kemunculan hobi anak saya. Main iPad, mereka maniak, tapi dibatasi hanya saat weekend. Yang pertama (cowok, 8 tahun) sepertinya suka hal-hal berbau engineering. Khususnya kereta api. Yang kedua (cewek, 6 tahun) kayaknya nurun ibunya, seorang fashionista, suka memilih-milih sendiri baju dan aksesori. Yang ketiga (cewek, 5 tahun) masih chaos, entah maunya apa.

Suka baca? Tanda-tandanya mulai menyenangkan saya.

Yang cowok kalau pagi mulai buka-buka koran sendiri. Tidak pernah disuruh atau dipaksa. Mungkin karena Jawa Pos memang tergolong ”gaul”, sering memuat berita-berita dan foto film superhero. Dari sekolahnya juga lumayan ada tugas-tugas baca buku.

Baru-baru ini kami ke toko buku di mal dan dia nggak happy karena tidak ada buku tentang tornado, topik yang sedang getol dipelajarinya via internet. Pulangnya tidak tangan hampa sih, dia masih membawa pulang komik kocak Agen Polisi 212 (yang bisa baca gantian dengan ayahnya).

Dulu, waktu saya kecil, masih zaman mesin ketik, abah pernah membawakan saya satu mesin tak-tuk-tak-tuk-greeek-tak-tuk-tak-tuk itu untuk dipakai. Lumayan, kelas empat SD saya mulai menulis cerpen. Pernah dimuat majalah-majalah anak. Duit honornya (Rp 15 ribu per naskah, wkwkwkwk) buat beli kaset lagu.

Sekarang anak cowok saya mulai hobi ”bikin buku”. Ke kantor saya atau pakai laptop saya, dia pakai PowerPoint atau program lain. Kemudian, dia bikin (nge-print) buku. Ada petualangannya bersama adik di Golden Gate Bridge, San Francisco, dan lain-lain. Main gambar dan ilustrasi (copas internet), lalu mengetik naskah pendek, menjelaskan apa yang terjadi.

Agak lega rasanya. Minimal masih ada yang nurun dari kakek dan ayahnya…
Saya tidak akan memaksa dia untuk terus baca buku. Saya akan membiarkan dia menemukan sendiri maunya apa. Dan kalau itu termasuk baca buku, bagus!
Sebagai orang tua, saya bersyukur karena bisa memenuhi kebutuhan gizi badannya. Kebutuhan-kebutuhan lainnya juga. Tapi untuk memenuhi kebutuhan gizi di dalam kepala, harus dia sendiri yang menemukan jalannya. Kita paksa, belum tentu bisa dan belum tentu baik.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/