Belanjalah ke Pajak (Pasar) Petisah, Sentral, atau pajak-pajak lainnya di Medan. Incarlah sebuah barang. Tanyakan harga pada penjual. Setelah itu tawar. Dan, tawarlah dengan harga serendah mungkin. Maka, sangat penjual akan menjawab, “Mana dapat, mana balik modal.”
Saya tuliskan catatan kali ini memang soal balik modal seperti yang diungkapkan pedagang tadi. Ya, segala sesuatu — apalagi dagangan — tentunya maembutuhkan modal. Untuk mendapatkan modal itu tentunya banyak cara; bisa kredit, bisa tabungan, dan lainnya. Intinya, terlepas asal modal itu, seseorang tak mau rugi. Ketika dia menjual, maka dia butuh keuntungan. Setidaknya, balik modal tadi. Balik modal artinya tidak untung dan tidak rugi. Nah, untuk balik modal pun tentunya pedagang tidak mau kan?
Soal balik modal ini, saya tertarik dengan ungkapan politisi senior asal Sumut Hasrul Azwar. Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (Waketum) PPP itu mengatakan tak ada calon gubernur dan calon wakil gubernur Sumatera Utara (cagub-cawagubsu) yang akan balik modal saat terpilih nanti.
Ungkapan Hasrul bermula dari rilis yang dikeluarkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Dalam rilis itu dikabarkan, gaji Gubsu dalam setahun adalah Rp327 juta. Artinya dalam setahun gubsu mengantongi Rp3,924 miliar. Dalam lima tahun berkuasa, pundi-pundi yang berasal dari gaji plus beragam tunjangan dan insentif pajak retribusi mencapai Rp19,62 miliar. Sedang untuk wagub Sumut, dengan per bulan penghasilannya Rp321 juta, maka setahun Rp3,851 miliar. Dalam lima tahun berkuasa, terkumpul Rp17,225 miliar. Jika ditotal, penghasilan pasangan terpilih selama 5 tahun adalah Rp36,8 miliar.
Nah, kata Hasrul, untuk menjadi Gubsu dan Wagubsu dibutuhkan setidaknya Rp100 miliar. Artinya, pasangan itu akan tekor sebanyak Rp63,2 Miliar. Untuk menutupi itu, sambung Hasrul lagi, ya harus korupsi. “Jadi kalau tidak korupsi, ya tidak akan balik modal,” begitu katanya.
Pertanyaannya, jika benar dana yang dibutuhkan untuk memimpin Sumut sebesar itu, kenapa banyak yang mau? Pertanyaan lainnya, ketika tidak korupsi, dari mana pasangan itu mendapat aliran dana agar balik modal? Pertanyaannya berikutnya, kenapa untuk memimpin Sumut butuh dana sebanyak itu? Dan, dari mana mereka mendapat modal?
Untuk dua pertanyaan pertama, tampaknya tak perlu dijawab. Ya, biarkan saja pertanyaan itu terus berkembang di kepala agar dalam lima tahun kepemimpinan pasangan terpilih, kita punya kegelisahan. Atas nama kegelisahan, kita bisa menjadi kontrol bagi mereka bukan?
Untuk pertanyaan ketiga, saya tidak menjawab, biarkan saja Hasrul yang menerangkan. Setidaknya, dia yang membuat hitung-hitungan tadi. Nah, jawaban Hasrul, untuk keperluan pelatihan para saksi dan honornya, ongkos transport timses dan jurkam, biaya iklan, pembuatan baliho dan percetakannya, dan lain-lain. Ingat itu untuk 33 Kabupaten/Kota. Lalu, untuk posko tim sukses pusat, yang ada di Medan, ongkosnya bisa lebih besar lagi. Untuk rekening telepon, transport Jakarta-Medan, Medan ke sejumlah kabupaten/kota di Sumut, dan belanja semua kebutuhan di posko. Biaya akan membengkak lagi ketika pelaksanaan kampanye.
Hm, apa yang diungkapkan Hasrul tampaknya bisa diterima dengan akal. Lalu, bagaimana dengan penyandang dana? Setidaknya, daftar kekayaan pasangan calon (semuanya digabung) pun tidak mencapai Rp100 miliar. Maka Hasrul menjawab, modal berasal dari bantuan partai, sumbangan para anggota DPR dari partai penyokong, dan terbesar dari sponsor. Siapa sponsor itu? Jawabnya pengusaha, birokrat, serta kalangan BUMN dan BUMD.
Wow. Bisa bayangkan seperti apa usaha pasangan itu untuk membalas jasa pemodal mereka? Tapi, saya percaya hal itu tidak terlalu memusingkan. Yang pusing pasti yang kalah bukan? Ya, pakai apa mereka membalas jasa. Setidaknya bagi yang terpilih, pasangan itu mendapat Rp36,8 miliar dalam 5 tahun dari gaji mereka. Yang kalah dapat apa?
“Mana dapat, mana balik modal,” begitu kata pedagang di pajak-pajak di Kota Medan. (*)