30.6 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Malaysia Jamin tidak Klaim ke Unesco

Soal Tortor dan Gordang Sambilan

MEDAN-Kabar pengklaiman Malaysia terhadap Tortor dan Gordang Sambilan terus menuai polemik. Tak mau berlarut, pihak Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumut langsung mendatangi Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Dubes Malaysia pun menjamin tidak melakukan pengklaiman dua kesenian tadi ke Unesco.

Dari pertemuan Selasa (19/6), Duta Besa (Dubes) Malaysia Dato’ Syed Munshe Afdzaruddin menjelaskan kalau semua ini adalah buah dari kesalahpahaman. Kepada Anggota DPD asal Sumut, Darmayanti Lubis dan Parlindungan Purba, dia mengatakan  mengatakan bahwa Malaysia tidak bermaksud untuk mengklaim budaya tortor dan gondang sambilan menjadi bagian dari budaya Malaysia.

‘’Yang dilakukan oleh Komunitas Mandailing yang ada di Malaysia adalah usulan pencatatan terhadap warisan budaya yang dimiliki oleh Komunitas Mandailing tersebut yang asal-usulnya berasal dari Suku Mandailing di Sumut,’’ katanya.

Dato’ menegaskan bahwa pencatatan hanya untuk memenuhi ketentuan administrasi yang berlaku di Malaysia dan tidak untuk mengklaim sebagai budaya Malaysia. Dato’ juga menjamin bahwa tidak akan mencatatkan budaya tortor sebagai milik Malaysia ke Badan Dunia Unesco.
Sebagai konsekuensinya, Dubes Malaysia mengatakan, Komunitas Mandailing di Malaysia berkewajiban untuk melestarikan budaya tersebut di mana tidak sekadar pencatatan. Akta warisan budaya hanya bertujuan untuk mencatat asal-usul budaya tersebut.

Parlindungan jelaskan, dengan penjelasan ini, mereka akan dapat menjelaskan secara lengkap kepada masyarakat sehingga tidak ada salah paham tentang Tortor dan Gordang sambilan yang sedang heboh ini. “Penjelasan Duta Besar ini akan saya bawa ke daerah dan akan menjelaskan kepada masyarakat di daerah bahwa pencatatan itu hanya bersifat administrasi,’’ timpal Darmayanti.

Di sisi lain, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pujo Nugroho merasa dijewer terkait masalah Tortor dan Gordang Sambilan tersebut. Berdasarkan masalah itu pula, lanjutnya, Pemprovsu telah menyurati seluruh bupati/wali kota se-Sumut, untuk melakukan inventarisir dan pendokumentasian atas semua kearifan dan kebudayaan lokal yang ada, guna didaftarkan sebagai hak kekayaan intelektual. Ini dilakukan agar tidak terjadi persoalan yang sama di kemudian hari.  Menurutnya, masih adanya peluang-peluang terjadinya infiltrasi dan akultrasi budaya. Jika saat itu Indonesia tidak punya dokumentasi dan pengarsipan terhadap kebudayaan yang dimiliki, maka yang terjadi kebudayaan bangsa akan kehilangan jati dirinya.

Sementara itu, ragam komentar terus membanjir terkait Tortor dan Gordang Sambilan. Misalnya dari Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed, Phil Ichwan Azhari. Dia menilai, kondisi tersebut seharusnya tidak membuat masyarakat Indonesia panik. “Ini ‘kan sebenarnya permintaan dari komunitas budaya Mandailing yang telah puluhan tahun menetap dan menjadi warga negera Malaysia, untuk mendaftarkan warisan budaya adat mereka, agar tetap terjaga dan terawat kelestariannya,” ujar Ichwan.

Sementara itu sejumlah kritikan juga terlontar dari diskusi kecil yang dilaksanakan sejumlah seniman Kota Medan, di ruang Pameran Taman Budaya Medan. “Jadi kita jangan marah kepada Malaysia tapi marahlah kepada diri sendiri yang tidak bisa menghargai budaya,”ujar seorang seniman, Darma.
Pekerja seni lainnya, Idris, tak mau kalah. “Bersyukur juga Malaysia mau menjaga warisan budaya, karena kita tidak mau menjaganya,”ucapnya.
Di sela-sela diskusi tersebut, para peserta juga sempat menyajikan Gordang Sambilan di pinggiran jalan untuk memberikan reaksi atas lemahnya Pemerintah Indonesia dalam memaknai dan menghargai budayanya.

Di Jakarta, pekerja seni berdarah Batak seperti Sihar Ramses Simatupang dan Korem Sihombing juga sepakan dengan seniman yang ada di Medan. Bagi mereka, pemerintah khususnya memang sudah seharusnya peduli dengan harta warisan kebudayaan. “Pemerintah lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sudah lumayan menjaga budaya Batak. Mereka membawanya hingga ke sejumlah negara di Eropa. Tapi para pejabat asal Batak, apa yang sudah dilakukan?” sindir Korem Sihombing.

Sutan Sarankan Bentuk Provinsi Malaysia

Tanggapan keras muncul dari Roida Nababan SH MHum yang merupakan dosen Antropology Budaya Univ HKBP Nommensen Medan. “Sekali lagi saya tegaskan, ini perkara internasional dan Pak Presiden harus menanggapinya ini dengan serius. Jangan sampai masyarakat suku Batak yang mengambil tindakan. Lagi pula Malaysia itu yang ada tarian Melayu bukannya Tarian Tortor!” geram Roida.

Reaksi keras juga disampaikan politisi Partai Demokrat asal Sumut, Sutan Bhatoegana Siregar. “Kalau Malaysia banyak mengklaim budaya kita seperti reog, batik, keris sekarang Tortor, saya malah berpikir mengklaim kalau Malaysia itu  milik kita. Karena sama itu barang itu. Jadi provinsi Malaysia,” sindir Sutan.

Dijelaskan Sutan, banyaknya klaim dari Malaysia terkait kekayaan kebudayaan ibu pertiwi, bukan berarti bangsa Indonesia tidak menghargai budaya. “Tapi, ada orang-orang di luar itu yang nakal-nakal,” tegasnya.
Tanggapan berbeda malah dimunculkan anggota DPR asal Sumatera Utara, Saidi Butarbutar. “Biarkan saja mereka mengklaim. Bagus itu menurut saya. Karena dengan demikian, ada kesempatan kita untuk menunjukkan pada dunia internasional, kalau Tortor itu milik kita,”ungkapnya.
Artinya menurut Saidi, di saat Malaysia mendaftarkan Tortor sebagai warisan budaya, maka pada saat yang sama mereka harus menjelaskan sejarah asal tarian khas orang batak yang sudah menjadi akhlak hidup orang batak sepanjang jaman ini.
“Nah itu bagaimana mereka menjelaskannya. Kemudian ketika kita pertanyakan, tentu hal tersebut akan dibuka. Nah disini kesempatan kita untuk menjelaskan pada dunia. Dan pasti dapat lebih detail kita jelaskan. Karena itu merupakan bagian dari kehidupan sejak jaman nenek moyang kita. Dan saya pikir dunia pasti memberi penilaian, kalau memang itu tarian asli Indonesia,” ungkapnya. (ari/jon/uma/sam/gir)

Soal Tortor dan Gordang Sambilan

MEDAN-Kabar pengklaiman Malaysia terhadap Tortor dan Gordang Sambilan terus menuai polemik. Tak mau berlarut, pihak Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumut langsung mendatangi Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Dubes Malaysia pun menjamin tidak melakukan pengklaiman dua kesenian tadi ke Unesco.

Dari pertemuan Selasa (19/6), Duta Besa (Dubes) Malaysia Dato’ Syed Munshe Afdzaruddin menjelaskan kalau semua ini adalah buah dari kesalahpahaman. Kepada Anggota DPD asal Sumut, Darmayanti Lubis dan Parlindungan Purba, dia mengatakan  mengatakan bahwa Malaysia tidak bermaksud untuk mengklaim budaya tortor dan gondang sambilan menjadi bagian dari budaya Malaysia.

‘’Yang dilakukan oleh Komunitas Mandailing yang ada di Malaysia adalah usulan pencatatan terhadap warisan budaya yang dimiliki oleh Komunitas Mandailing tersebut yang asal-usulnya berasal dari Suku Mandailing di Sumut,’’ katanya.

Dato’ menegaskan bahwa pencatatan hanya untuk memenuhi ketentuan administrasi yang berlaku di Malaysia dan tidak untuk mengklaim sebagai budaya Malaysia. Dato’ juga menjamin bahwa tidak akan mencatatkan budaya tortor sebagai milik Malaysia ke Badan Dunia Unesco.
Sebagai konsekuensinya, Dubes Malaysia mengatakan, Komunitas Mandailing di Malaysia berkewajiban untuk melestarikan budaya tersebut di mana tidak sekadar pencatatan. Akta warisan budaya hanya bertujuan untuk mencatat asal-usul budaya tersebut.

Parlindungan jelaskan, dengan penjelasan ini, mereka akan dapat menjelaskan secara lengkap kepada masyarakat sehingga tidak ada salah paham tentang Tortor dan Gordang sambilan yang sedang heboh ini. “Penjelasan Duta Besar ini akan saya bawa ke daerah dan akan menjelaskan kepada masyarakat di daerah bahwa pencatatan itu hanya bersifat administrasi,’’ timpal Darmayanti.

Di sisi lain, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pujo Nugroho merasa dijewer terkait masalah Tortor dan Gordang Sambilan tersebut. Berdasarkan masalah itu pula, lanjutnya, Pemprovsu telah menyurati seluruh bupati/wali kota se-Sumut, untuk melakukan inventarisir dan pendokumentasian atas semua kearifan dan kebudayaan lokal yang ada, guna didaftarkan sebagai hak kekayaan intelektual. Ini dilakukan agar tidak terjadi persoalan yang sama di kemudian hari.  Menurutnya, masih adanya peluang-peluang terjadinya infiltrasi dan akultrasi budaya. Jika saat itu Indonesia tidak punya dokumentasi dan pengarsipan terhadap kebudayaan yang dimiliki, maka yang terjadi kebudayaan bangsa akan kehilangan jati dirinya.

Sementara itu, ragam komentar terus membanjir terkait Tortor dan Gordang Sambilan. Misalnya dari Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed, Phil Ichwan Azhari. Dia menilai, kondisi tersebut seharusnya tidak membuat masyarakat Indonesia panik. “Ini ‘kan sebenarnya permintaan dari komunitas budaya Mandailing yang telah puluhan tahun menetap dan menjadi warga negera Malaysia, untuk mendaftarkan warisan budaya adat mereka, agar tetap terjaga dan terawat kelestariannya,” ujar Ichwan.

Sementara itu sejumlah kritikan juga terlontar dari diskusi kecil yang dilaksanakan sejumlah seniman Kota Medan, di ruang Pameran Taman Budaya Medan. “Jadi kita jangan marah kepada Malaysia tapi marahlah kepada diri sendiri yang tidak bisa menghargai budaya,”ujar seorang seniman, Darma.
Pekerja seni lainnya, Idris, tak mau kalah. “Bersyukur juga Malaysia mau menjaga warisan budaya, karena kita tidak mau menjaganya,”ucapnya.
Di sela-sela diskusi tersebut, para peserta juga sempat menyajikan Gordang Sambilan di pinggiran jalan untuk memberikan reaksi atas lemahnya Pemerintah Indonesia dalam memaknai dan menghargai budayanya.

Di Jakarta, pekerja seni berdarah Batak seperti Sihar Ramses Simatupang dan Korem Sihombing juga sepakan dengan seniman yang ada di Medan. Bagi mereka, pemerintah khususnya memang sudah seharusnya peduli dengan harta warisan kebudayaan. “Pemerintah lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sudah lumayan menjaga budaya Batak. Mereka membawanya hingga ke sejumlah negara di Eropa. Tapi para pejabat asal Batak, apa yang sudah dilakukan?” sindir Korem Sihombing.

Sutan Sarankan Bentuk Provinsi Malaysia

Tanggapan keras muncul dari Roida Nababan SH MHum yang merupakan dosen Antropology Budaya Univ HKBP Nommensen Medan. “Sekali lagi saya tegaskan, ini perkara internasional dan Pak Presiden harus menanggapinya ini dengan serius. Jangan sampai masyarakat suku Batak yang mengambil tindakan. Lagi pula Malaysia itu yang ada tarian Melayu bukannya Tarian Tortor!” geram Roida.

Reaksi keras juga disampaikan politisi Partai Demokrat asal Sumut, Sutan Bhatoegana Siregar. “Kalau Malaysia banyak mengklaim budaya kita seperti reog, batik, keris sekarang Tortor, saya malah berpikir mengklaim kalau Malaysia itu  milik kita. Karena sama itu barang itu. Jadi provinsi Malaysia,” sindir Sutan.

Dijelaskan Sutan, banyaknya klaim dari Malaysia terkait kekayaan kebudayaan ibu pertiwi, bukan berarti bangsa Indonesia tidak menghargai budaya. “Tapi, ada orang-orang di luar itu yang nakal-nakal,” tegasnya.
Tanggapan berbeda malah dimunculkan anggota DPR asal Sumatera Utara, Saidi Butarbutar. “Biarkan saja mereka mengklaim. Bagus itu menurut saya. Karena dengan demikian, ada kesempatan kita untuk menunjukkan pada dunia internasional, kalau Tortor itu milik kita,”ungkapnya.
Artinya menurut Saidi, di saat Malaysia mendaftarkan Tortor sebagai warisan budaya, maka pada saat yang sama mereka harus menjelaskan sejarah asal tarian khas orang batak yang sudah menjadi akhlak hidup orang batak sepanjang jaman ini.
“Nah itu bagaimana mereka menjelaskannya. Kemudian ketika kita pertanyakan, tentu hal tersebut akan dibuka. Nah disini kesempatan kita untuk menjelaskan pada dunia. Dan pasti dapat lebih detail kita jelaskan. Karena itu merupakan bagian dari kehidupan sejak jaman nenek moyang kita. Dan saya pikir dunia pasti memberi penilaian, kalau memang itu tarian asli Indonesia,” ungkapnya. (ari/jon/uma/sam/gir)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/