Kalau tahu sejarahnya, saya sering tertawa sendiri. Bagaimana bisa sebuah kompetisi majalah dinding berubah menjadi ajang kumpul anak muda terbesar di Indonesia.
Awalnya simpel banget. Hari Sabtu itu, tahun 2002, seperti biasa tim anak muda Jawa Pos meeting (saya juga masih berusia 24 tahun, hehehe). Salah satu anggota kami, yang masih duduk di bangku SMA, datang terlambat. Alasannya habis ikut lomba mading yang diselenggarakan oleh koran ’’tetangga’’, yang waktu itu dianggap nomor satu di Indonesia.
Saya lihat, garapan madingnya unik sekali. Bukan sekadar naskah yang ditempel di papan. Banyak elemen kreatifnya.
Ya sudah, di meeting itu juga, kami memutuskan bikin lomba mading. Kemudian, muncul gagasan untuk memamerkan karya-karyanya, menghebohkan ruang pameran di Tunjungan Plaza kala itu, dan kemudian terus berevolusi dan berevolusi hingga menjadi sekarang.
Ironisnya, koran tetangga itu tidak lagi mengerjakannya, dan dalam beberapa tahun kemudian program dan event anak muda ini membantu Jawa Pos menyalipnya, menjadi koran nomor satu di Indonesia.
Dari sini saya belajar, ide bagus tetap tidak bisa jadi apa-apa kalau visi dan imajinasinya kurang besar, dan eksekusinya kurang asyik. Apalagi kalau terlalu banyak perhitungan…
Belakangan, Jawa Pos juga punya event cycling terbesar di Indonesia. Namanya Bromo 100 Km. Penyelenggaraan terakhir bulan April 2017, lebih dari 1.000 cyclist dari belasan negara dan ratusan kota di Indonesia ikut tampil. Mencoba menaklukkan tanjakan Wonokitri, Bromo, yang terasa tak habis-habis.
Yang ini idenya muncul hanya gara-gara ada angka yang pas.
Bukan duit, tapi kilometer.
Salah satu sahabat bersepeda saya rumahnya di Pasuruan, punya vila di tanjakan menuju Wonokitri itu. Sesekali, kami bersepeda ke vilanya. Merasa kurang tantangan, kami menanjak lebih tinggi lagi. Lalu terus lebih tinggi, sampai tiba di Wonokitri.
Sengsara menanjak? Iya. Capek luar biasa? Iya. Tapi, setelah melewati suffering tingkat tinggi itu, pikiran jadi seperti kena reset. Begitu finis, iseng saya cek komputer Garmin di sepeda saya. Dan komputer itu menunjukkan angka 100 km, jarak dari tempat start di sekitar Graha Pena Surabaya (kantor Jawa Pos), sampai lokasi finis di pendapa Wonokitri.
Bagus sekali angkanya. Saya pun bilang ke sahabat saya itu: ’’Nanti aku bikinkan event Bromo 100 Km. Kayaknya bakal seru banget.’’
Eh benar saja, dalam empat tahun, event ini jadi event cycling serius paling heboh se-Indonesia. Dan tanjakan Wonokitri, Bromo, itu menjadi salah satu tanjakan paling dikagumi, sekaligus paling bikin penasaran, bagi para cyclist di berbagai penjuru dunia.
Terima kasih juga kepada Bupati Pasuruan Gus Irsyad, bupati muda ini peka juga melihat peluang promosi wilayah dari event ini.
Tanda-tandanya, sangat sulit ada event cycling lain yang bisa mengalahkan kehebohan Bromo 100 Km di Indonesia. Bahkan di Asia Tenggara saja susah… Dan saya sudah keliling ke banyak negara bersepeda!
Tapi, saya tidak serakah. Banyak ide hebat lain muncul dari teman-teman di kantor, untuk hal-hal lain. Tinggal bagaimana menilai ide tersebut dalam berbagai hal. Termasuk practicality, eksekusi, dan impact-nya untuk banyak pihak.