30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Belajar Jujur dari Pesuruh Kantor

Belajar tentang kejujuran –hal yang kini kian mahal di negeri ini—tak perlu jauh-jauh sampai studi banding ke luar negeri. Dalam banyak hal, kita harus belajar tentang akhlak yang mulia justru dari orang-orang kecil di sekeliling kita.

Mungkin, kita harus bercermin pada Agus Chaerudin (35), pesuruh kantor alias office boy di Bank Syariah Mandiri Bekasi yang memilih mengembalikan uang Rp100 juta yang ditemukannya di balik tempat sampah kantornya.

Meski gajinya cuma Rp2,2 juta per bulan dan masih tinggal dengan mertua, ayah tiga anak ini tidak tergoda untuk mengambil uang yang memang bukan haknya.

Walau cuma pegawai rendah, Agus tetap istiqamah dengan jalan hidup pilihannya: memilih menjadi orang jujur daripada menjadi pencuri. Agus menemukan uang itu saat hari sudah sore dan kantor telah sepi. Saat membersihkan kantor, ia menemukan uang pecahan Rp100 ribu dalam 10 bundel. Agus tak berani menyentuh uang itu dan memanggil satpam. Ternyata, uang itu adalah milik bank yang tercecer karena ketidakhati-hatian seorang teller.
Kejujuran, dalam banyak hal kini kadang terdengar absurd dan terkesan “mengada-ada” di tengah hantaman korupsi yang merajalela. Orang jujur bahkan kerap dianggap aneh. Kita hari ini, sudah menganggap rasuah sebagai sesuatu yang umum, yang memang sudah semestinya terjadi.

Sebab itu tak heran, indeks korupsi Indonesia yang masih menduduki rangking bawah. Bahkan di ASEAN, Indonesia berada di bawah Filipina dan hanya sedikit di atas Vietnam dan Myanmar.

Dari data terbaru yang dipublikasikan Desember 2012, dari 176 negara yang diukur, Indonesia ada di peringkat 118 dengan skor 32. Dalam indeks ini secara global, lima negara yang mempunyai peringkat dan skor tertinggi adalah Denmark, Finlandia, Selandia Baru, Swedia dan Singapura. Sementara untuk lima negara yang mempunyai peringkat dan skor terbawah adalah Somalia, Korea Utara, Afghanistan, Sudan dan Myanmar.

Sementara itu di kawasan ASEAN, Singapura yang secara global ada di peringkat kelima, di ASEAN menduduki peringkat pertama. Disusul secara berurutan adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, Vietnam dan Myanmar.

Garda terdepan untuk belajar kejujuran adalah dari keluarga. Itulah yang sudah terbukti pada diri Agus. Menurut pengakuannya, sejak kecil, ia dididik oleh orangtuanya untuk tidak menjadi pencuri. Ia pun hanya berkomentar singkat: Allah maha melihat’.

Kalau saja para koruptor tahu tentang kisah Agus, akankah ada mereka yang hatinya merasa sedikit terusik? Sebab ternyata, menyandang status sebagai tersangka korupsi saja tidak menghalangi mereka tampil mewah di muka publik.

Miranda Goeltom tetap menjinjing tas dan mengenakan sepatu hak tinggi Sergio Rossi yang masing-masing dibanderol Rp13,4 juta dan Rp6,6 juta.
Nunun Nurbaeti tetap percaya diri mengenakan kerudung Louis Vuitton yang harganya minimal Rp3,8 juta dan membawa tas Hermes model Birkin yang harganya di atas Rp105 juta.

Masih banyakkah di antara kita yang sama seperti Agus, merindukan pemimpin seperti Umar bin Khattab yang amat mengutamakan kesederhanaan dan kejujuran?

Umar bahkan hanya punya dua helai pakaian, tak mau memakai fasilitas negara ketika berbicara dengan anaknya, sehingga memadamkan lampu ketika berbincang dengan anaknya. Lampu dimatikan karena menggunakan uang negara, sedang berbicara dengan anak adalah urusan pribadi. Semoga masih banyak Agus-Agus yang lain dan pemimpin yang berazam meniru keteladanan Umar. (*)

Belajar tentang kejujuran –hal yang kini kian mahal di negeri ini—tak perlu jauh-jauh sampai studi banding ke luar negeri. Dalam banyak hal, kita harus belajar tentang akhlak yang mulia justru dari orang-orang kecil di sekeliling kita.

Mungkin, kita harus bercermin pada Agus Chaerudin (35), pesuruh kantor alias office boy di Bank Syariah Mandiri Bekasi yang memilih mengembalikan uang Rp100 juta yang ditemukannya di balik tempat sampah kantornya.

Meski gajinya cuma Rp2,2 juta per bulan dan masih tinggal dengan mertua, ayah tiga anak ini tidak tergoda untuk mengambil uang yang memang bukan haknya.

Walau cuma pegawai rendah, Agus tetap istiqamah dengan jalan hidup pilihannya: memilih menjadi orang jujur daripada menjadi pencuri. Agus menemukan uang itu saat hari sudah sore dan kantor telah sepi. Saat membersihkan kantor, ia menemukan uang pecahan Rp100 ribu dalam 10 bundel. Agus tak berani menyentuh uang itu dan memanggil satpam. Ternyata, uang itu adalah milik bank yang tercecer karena ketidakhati-hatian seorang teller.
Kejujuran, dalam banyak hal kini kadang terdengar absurd dan terkesan “mengada-ada” di tengah hantaman korupsi yang merajalela. Orang jujur bahkan kerap dianggap aneh. Kita hari ini, sudah menganggap rasuah sebagai sesuatu yang umum, yang memang sudah semestinya terjadi.

Sebab itu tak heran, indeks korupsi Indonesia yang masih menduduki rangking bawah. Bahkan di ASEAN, Indonesia berada di bawah Filipina dan hanya sedikit di atas Vietnam dan Myanmar.

Dari data terbaru yang dipublikasikan Desember 2012, dari 176 negara yang diukur, Indonesia ada di peringkat 118 dengan skor 32. Dalam indeks ini secara global, lima negara yang mempunyai peringkat dan skor tertinggi adalah Denmark, Finlandia, Selandia Baru, Swedia dan Singapura. Sementara untuk lima negara yang mempunyai peringkat dan skor terbawah adalah Somalia, Korea Utara, Afghanistan, Sudan dan Myanmar.

Sementara itu di kawasan ASEAN, Singapura yang secara global ada di peringkat kelima, di ASEAN menduduki peringkat pertama. Disusul secara berurutan adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, Vietnam dan Myanmar.

Garda terdepan untuk belajar kejujuran adalah dari keluarga. Itulah yang sudah terbukti pada diri Agus. Menurut pengakuannya, sejak kecil, ia dididik oleh orangtuanya untuk tidak menjadi pencuri. Ia pun hanya berkomentar singkat: Allah maha melihat’.

Kalau saja para koruptor tahu tentang kisah Agus, akankah ada mereka yang hatinya merasa sedikit terusik? Sebab ternyata, menyandang status sebagai tersangka korupsi saja tidak menghalangi mereka tampil mewah di muka publik.

Miranda Goeltom tetap menjinjing tas dan mengenakan sepatu hak tinggi Sergio Rossi yang masing-masing dibanderol Rp13,4 juta dan Rp6,6 juta.
Nunun Nurbaeti tetap percaya diri mengenakan kerudung Louis Vuitton yang harganya minimal Rp3,8 juta dan membawa tas Hermes model Birkin yang harganya di atas Rp105 juta.

Masih banyakkah di antara kita yang sama seperti Agus, merindukan pemimpin seperti Umar bin Khattab yang amat mengutamakan kesederhanaan dan kejujuran?

Umar bahkan hanya punya dua helai pakaian, tak mau memakai fasilitas negara ketika berbicara dengan anaknya, sehingga memadamkan lampu ketika berbincang dengan anaknya. Lampu dimatikan karena menggunakan uang negara, sedang berbicara dengan anak adalah urusan pribadi. Semoga masih banyak Agus-Agus yang lain dan pemimpin yang berazam meniru keteladanan Umar. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/