26.6 C
Medan
Saturday, June 1, 2024

Kurang Makna

Ada sebuah teori yang mengatakan ketika sebuah kata terlalu sering diungkapkan maka makna kata akan tergerus. Artinya, makna kata bisa berkurang. Tidak lagi pas artinya.

Contohnya adalah kata makian. Ambil contoh makian yang sering diungkapkan seperti kata ‘Anjing’. Nah, ketika kata ‘Anjing’ terus diungkap berulang-ulang, maka ‘Anjing’ sebagai makian tidak lagi kejam. Itulah sebab, dalam pergaulan anak muda Medan, menyebut ‘Anjing’ untuk teman tidak lagi diartikan sebagai makian. Dia bisa berubah menjadi pujian. Contoh kalimatnya: Anjing kau, menang juga kau di lomba foto itu ya! Atau, ketika melihat cewek cantik, maka anak Medan mengatakan: Anjing, cantik kali cewek itu bah!

Kenyataan itu, sesuai teori, membuat makian ‘Anjing’ hilang arti. Maknanya melebar. Dan, ketika ada yang memaki dengan kata ‘Anjing’, orang yang dituju tidak lagi begitu marah; bahkan ada yang tertawa. Lucunya, ketika yang memaki penuh keseriusan tapi menggunakan kata ‘Anjing’, dia harus kecewa karena amarahnya tidak kesampaian. Ujung-ujungnya, dia main fisik agar emosinya tersampikan. Fiuh.

Bahkan, kawan saya, harus mengubah kata makiannya. Sebelumnya dia selalu menggunakan kata ‘Anjing’ tadi. Tapi seiring waktu, kata ‘Anjing’ mulai kehilangan makna makian, dia terpaksa mengganti dengan kata ‘Kucing’.

“Yang penting binatang,” dia beralasan meski dia tahu kalau kata ‘Kucing’ cenderung lebih lembut. “Daripada kuganti menjadi ‘Kangkung’, tambah lucu kan?” katanya lagi.

Inilah yang dimaksud teori tadi: ketika sebuah kata terlalu sering diungkapkan maka makna kata akan tergerus. Ujung-ujungnya, seseorang harus mencari sesuatu yang lain untuk sekadar makian. Teori itu kemudian memberikan solusi: ketika kata sudah kehilangan makna, maka ekspresi si pengucap adalah jawabnnya. Artinya, silakan menggunakan kata apa saja tapi ekspresi kita saat memaki harus total agar orang tahu kalau kita sedang memaki. Dengan kata lain, fisik yang bicara. Hm, repot juga kan.

Hal ini sama repotnya dengan kata ‘Demo’. Belakangan ini kan marak demontrasi yang digelar buruh. Mereka terus berjuang menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). Karena marak, maka kata ‘Demo’ terus diulang-ulang oleh pengucap. Tidak itu saja, media massa pun tidak ketinggalan. Nah, mengacu pada teori di atas, adakah kata ‘Demo’ juga akan kekurangan makna?

Saya jadi teringat era 1998 lalu. Saat itu demonstrasi juga marak, bedanya yang berunjuk rasa adalah mahasiswa. Saking maraknya, hampir tiap hari ada demo. Namun, belakangan demo malah berubah arti. Dia tidak lagi soal unjuk rasa, tapi melebar menjadi kerusuhan. “Demo tak bentrok dengan polisi bukan demo namanya,” begitu kalimat yang paling ngetop di era itu.

Ujung-ujungnya, setiap demo, mahasiswa cenderung mencari hal itu. Harus diakui kalau saya adalah bagian dari orang yang menyebut kalimat tadi. Ya, saat itu, kalau tak ada tanda-tanda demo akan berujung bentrok dengan polisi, saya jadi tak semangat.

Nah, ingatan itu yang membuat saya khawatir. Bisa bayangkan ketika buruh di Medan juga berpikir semacam itu? Bisa rusuh kota tercinta ini bukan?
Sayang, kekhawatiran saya mendekati nyata. Pasalnya, menurut Ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 1992, Pahala Napitupulu, buruh sudah sangat emosi dengan tuntutan mereka yang tak kunjung dikabulkan.

Demo hari ini pun akan menjadi ajang luapan emosi bagi mereka. Parahnya lagi, si Pahala sebagi ‘bos’ mereka pun sudah tak bisa menjamin. “Besok (hari ini, Red) saya tidak ikut dan saya ke luar kota. Sudah pakai emosi mereka (buruh, Red). Nanti jadi saya yang dibilang tidak mampu meng-handle-nya,” begitu ungkapnya.

Bagaimana ini? (*)

Ada sebuah teori yang mengatakan ketika sebuah kata terlalu sering diungkapkan maka makna kata akan tergerus. Artinya, makna kata bisa berkurang. Tidak lagi pas artinya.

Contohnya adalah kata makian. Ambil contoh makian yang sering diungkapkan seperti kata ‘Anjing’. Nah, ketika kata ‘Anjing’ terus diungkap berulang-ulang, maka ‘Anjing’ sebagai makian tidak lagi kejam. Itulah sebab, dalam pergaulan anak muda Medan, menyebut ‘Anjing’ untuk teman tidak lagi diartikan sebagai makian. Dia bisa berubah menjadi pujian. Contoh kalimatnya: Anjing kau, menang juga kau di lomba foto itu ya! Atau, ketika melihat cewek cantik, maka anak Medan mengatakan: Anjing, cantik kali cewek itu bah!

Kenyataan itu, sesuai teori, membuat makian ‘Anjing’ hilang arti. Maknanya melebar. Dan, ketika ada yang memaki dengan kata ‘Anjing’, orang yang dituju tidak lagi begitu marah; bahkan ada yang tertawa. Lucunya, ketika yang memaki penuh keseriusan tapi menggunakan kata ‘Anjing’, dia harus kecewa karena amarahnya tidak kesampaian. Ujung-ujungnya, dia main fisik agar emosinya tersampikan. Fiuh.

Bahkan, kawan saya, harus mengubah kata makiannya. Sebelumnya dia selalu menggunakan kata ‘Anjing’ tadi. Tapi seiring waktu, kata ‘Anjing’ mulai kehilangan makna makian, dia terpaksa mengganti dengan kata ‘Kucing’.

“Yang penting binatang,” dia beralasan meski dia tahu kalau kata ‘Kucing’ cenderung lebih lembut. “Daripada kuganti menjadi ‘Kangkung’, tambah lucu kan?” katanya lagi.

Inilah yang dimaksud teori tadi: ketika sebuah kata terlalu sering diungkapkan maka makna kata akan tergerus. Ujung-ujungnya, seseorang harus mencari sesuatu yang lain untuk sekadar makian. Teori itu kemudian memberikan solusi: ketika kata sudah kehilangan makna, maka ekspresi si pengucap adalah jawabnnya. Artinya, silakan menggunakan kata apa saja tapi ekspresi kita saat memaki harus total agar orang tahu kalau kita sedang memaki. Dengan kata lain, fisik yang bicara. Hm, repot juga kan.

Hal ini sama repotnya dengan kata ‘Demo’. Belakangan ini kan marak demontrasi yang digelar buruh. Mereka terus berjuang menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). Karena marak, maka kata ‘Demo’ terus diulang-ulang oleh pengucap. Tidak itu saja, media massa pun tidak ketinggalan. Nah, mengacu pada teori di atas, adakah kata ‘Demo’ juga akan kekurangan makna?

Saya jadi teringat era 1998 lalu. Saat itu demonstrasi juga marak, bedanya yang berunjuk rasa adalah mahasiswa. Saking maraknya, hampir tiap hari ada demo. Namun, belakangan demo malah berubah arti. Dia tidak lagi soal unjuk rasa, tapi melebar menjadi kerusuhan. “Demo tak bentrok dengan polisi bukan demo namanya,” begitu kalimat yang paling ngetop di era itu.

Ujung-ujungnya, setiap demo, mahasiswa cenderung mencari hal itu. Harus diakui kalau saya adalah bagian dari orang yang menyebut kalimat tadi. Ya, saat itu, kalau tak ada tanda-tanda demo akan berujung bentrok dengan polisi, saya jadi tak semangat.

Nah, ingatan itu yang membuat saya khawatir. Bisa bayangkan ketika buruh di Medan juga berpikir semacam itu? Bisa rusuh kota tercinta ini bukan?
Sayang, kekhawatiran saya mendekati nyata. Pasalnya, menurut Ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 1992, Pahala Napitupulu, buruh sudah sangat emosi dengan tuntutan mereka yang tak kunjung dikabulkan.

Demo hari ini pun akan menjadi ajang luapan emosi bagi mereka. Parahnya lagi, si Pahala sebagi ‘bos’ mereka pun sudah tak bisa menjamin. “Besok (hari ini, Red) saya tidak ikut dan saya ke luar kota. Sudah pakai emosi mereka (buruh, Red). Nanti jadi saya yang dibilang tidak mampu meng-handle-nya,” begitu ungkapnya.

Bagaimana ini? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/