33 C
Medan
Thursday, May 30, 2024

Beda Pahlawan dan Jagoan di Udara

Bayangkan. Bilah seperti itu lepas dari turbin. Yang berputar dengan kecepatan kira-kira 29.000 RPM. Betapa kuat lemparannya.

Tapi memang nasib banget wanita itu. Kok ya … jendela yang di dekatnya yang terhantam. Begitu banyak jendela lain. Di atas posisi mesin pesawat itu. Yang sebenarnya terlindungi oleh sayap.

Kenapa menghantam jendela itu. Tidak jendela yang lain. Atau tidak menghantam badan pesawat saja.

Wanita itu pasti pandai menghitung uang. Tapi siapa yang bisa menghitung nasib?

Big data, algoritma, artificial inteligence, rasanya juga belum cukup bisa menjangkaunya.

Akankah jendela-jendela di sekitar mesin kelak akan dibuat lebih kuat? Setiap kejadian akan menghasilkan kemajuan.

Sudah berapa tahun kita tidak lagi mendengar kejadian ini: pesawat terpaksa melakukan pendaratan darurat karena roda gagal keluar. Padahal dulu begitu sering terjadi.

Ya… sudahlah.

Masih ada penasaran lain: adakah wanita tersebut mengenakan seat belt? Ataukah mengenakan tapi longgar? Ataukah seat beltnya kalah dengan daya tarik sedotan dari luar?

Saya selalu mengenakan seat belt. Tidak pernah merasa jagoan di atas pesawat.

Saya selalu ingat kejadian belasan tahun lalu. Ketika ketinggian pesawat ANA Jepang tiba-tiba jatuh 3.000 kaki. Di udara. Tiga orang meninggal. Semua karena tidak mengenakan seat belt.

Badannya terbang. Kepalanya menghantam langit-langit.

Saya juga selalu ingat kejadian ini: pesawat saya sudah melaju di landasan pacu Singpura. Sudah mencapai kecepatan tertinggi. Sudah saatnya take off. Menuju Frankfurt, Jerman. Roda depan sudah terangkat. Tiba-tiba….baaaang! Satu mesinnya meledak. Pesawat direm sangat mendadak.

Semua penumpang tersentak. Tapi tidak ada yang terpental. Semua mengenakan seat belt. Roda depannya kembali menyentuh landasan. Selamat.

Kalau saja ledakan itu terjadi saat roda belakang sudah terangkat. Mungkin pesawat akan muter-muter dulu di atas Singapura. Sampai bahan bakarnya menipis. Baru boleh melakukan pendaratan darurat. Padahal pesawatnya Boeing 747. Bahan bakarnya cukup untuk terbang 16 jam.

Tapi ya… sudahlah. Itu sudah lebih 25 tahun lalu.

Sebentar lagi pesawat saya ini mendarat di Dallas. Sudah bukan pesawat yang dari Hongkong. Saya ganti pesawat di Seoul: Boeing 787-nya American Airline. Saya lihat semua jendelanya utuh.(dis)

 

Bayangkan. Bilah seperti itu lepas dari turbin. Yang berputar dengan kecepatan kira-kira 29.000 RPM. Betapa kuat lemparannya.

Tapi memang nasib banget wanita itu. Kok ya … jendela yang di dekatnya yang terhantam. Begitu banyak jendela lain. Di atas posisi mesin pesawat itu. Yang sebenarnya terlindungi oleh sayap.

Kenapa menghantam jendela itu. Tidak jendela yang lain. Atau tidak menghantam badan pesawat saja.

Wanita itu pasti pandai menghitung uang. Tapi siapa yang bisa menghitung nasib?

Big data, algoritma, artificial inteligence, rasanya juga belum cukup bisa menjangkaunya.

Akankah jendela-jendela di sekitar mesin kelak akan dibuat lebih kuat? Setiap kejadian akan menghasilkan kemajuan.

Sudah berapa tahun kita tidak lagi mendengar kejadian ini: pesawat terpaksa melakukan pendaratan darurat karena roda gagal keluar. Padahal dulu begitu sering terjadi.

Ya… sudahlah.

Masih ada penasaran lain: adakah wanita tersebut mengenakan seat belt? Ataukah mengenakan tapi longgar? Ataukah seat beltnya kalah dengan daya tarik sedotan dari luar?

Saya selalu mengenakan seat belt. Tidak pernah merasa jagoan di atas pesawat.

Saya selalu ingat kejadian belasan tahun lalu. Ketika ketinggian pesawat ANA Jepang tiba-tiba jatuh 3.000 kaki. Di udara. Tiga orang meninggal. Semua karena tidak mengenakan seat belt.

Badannya terbang. Kepalanya menghantam langit-langit.

Saya juga selalu ingat kejadian ini: pesawat saya sudah melaju di landasan pacu Singpura. Sudah mencapai kecepatan tertinggi. Sudah saatnya take off. Menuju Frankfurt, Jerman. Roda depan sudah terangkat. Tiba-tiba….baaaang! Satu mesinnya meledak. Pesawat direm sangat mendadak.

Semua penumpang tersentak. Tapi tidak ada yang terpental. Semua mengenakan seat belt. Roda depannya kembali menyentuh landasan. Selamat.

Kalau saja ledakan itu terjadi saat roda belakang sudah terangkat. Mungkin pesawat akan muter-muter dulu di atas Singapura. Sampai bahan bakarnya menipis. Baru boleh melakukan pendaratan darurat. Padahal pesawatnya Boeing 747. Bahan bakarnya cukup untuk terbang 16 jam.

Tapi ya… sudahlah. Itu sudah lebih 25 tahun lalu.

Sebentar lagi pesawat saya ini mendarat di Dallas. Sudah bukan pesawat yang dari Hongkong. Saya ganti pesawat di Seoul: Boeing 787-nya American Airline. Saya lihat semua jendelanya utuh.(dis)

 

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/