27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Ketabahan Tempe

Ramadhan Batubara

Kata Sapardi Djoko Damono: Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu. Ya, sebuah lirik sajak yang bermakna dalam bukan?

Terserahla, soal tabah, mengingatkan saya dengan perajin tempe beberapa waktu belakangan ini. Bagaimana tidak, harga bahan baku tempe, kedelai, sudah tak terkendali. perajin tempe dan tahu menjerit, margin antara modal dan harga jual cukup tipis. Mereka pun terancam gulung tikar.

Tapi, demi konsumen, mereka rela berpikir ulang. Mereka pun berusaha mencari solusi agar warga tetap bisa menikmati tempe hasil buatan mereka tanpa kenaikan harga. Hasilnya, harga tetap standar. Mereka hanya mengurangi produksi hingga mengurangi ukuran tempenya. Fiuh.

Kenyataan ini membuat saya berpikir, benarkah hukum ekonomi tidak berlangsung pada kehidupan ‘pertempean’ dan ‘pertahuan’? Harusnya, ketika harga bahan baku naik, mereka sudah harus menaikan harga kan? Setidaknya, seperti kata hukum ekonomi, turunnya penawaran akan menaikan harga jual. Nah, kenapa mereka tidak menaikan harga? bukankah dengan mengurangi produksi akan membuat stok tempe juga akan berkurang. Maksudnya, ketika satu perajin tempe mengurangi produksi sebanyak 250 kg per harinya, maka pasar akan kekurangan stok seperti biasanya. Dengan begitu, tempe akan langka sementara permintaan tetap. Nah, bukankah itu kesempatan menaikan harga?

“Tidak mungkin menaikkan harga jual di pasar karena itu sama saja ‘bunuh diri’ mengingat pembuatan tempe pekerjaan tetap. Mau makan apa keluarga, apalagi mau Hari Raya,” begitu kata seorang perajin tempe di Medan.

Jawaban perajin ini sempat membuat saya miris. Saya merasa perajin tempe begitu tertekan. Satu sisi mereka harus melawan harga bahan baku yang meningkat, di sisi lain mereka dibayangi ketakutan akan kehilangan konsumen. Di dua sisi itu, para perajin sama sekati tidak punya peran; mereka adalah korban. Soal harga bahan baku, tentunya perajin hanya berharap pada pemerintah sebagai pengontrol harga bukan? Soal konsumen lari, apa yang bisa perajin lakukan?

Ada apa? Apakah perajin tidak yakin kalau tempe sudah menjadi makanan penting? Lihatlah, harga daging yang melonjak tajam saja konsumen tidak peduli; tetap saja membeli.

Kata seorang kawan, daging bisa tertolong dalam memainkan harga karena terkait dengan momen tertentu. Misalnya saat ini warga di hadapkan pada Ramadan dan Lebaran yang identik dengan daging. Nah, bagaimana dengan tempe? Adakah momen yang bisa membuat harga tempe ‘sesuka hati’? Selama ini tempe hanya dianggap sebagai makanan pelengkap. Dengan kata lain, meski banyak yang suka, tempe belum mencapai tataran sangat dibutuhkan. Jadi, ketika harganya naik, ya, tinggalkan saja. Bah!
Nasibmu tempe…. (*)

Ramadhan Batubara

Kata Sapardi Djoko Damono: Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu. Ya, sebuah lirik sajak yang bermakna dalam bukan?

Terserahla, soal tabah, mengingatkan saya dengan perajin tempe beberapa waktu belakangan ini. Bagaimana tidak, harga bahan baku tempe, kedelai, sudah tak terkendali. perajin tempe dan tahu menjerit, margin antara modal dan harga jual cukup tipis. Mereka pun terancam gulung tikar.

Tapi, demi konsumen, mereka rela berpikir ulang. Mereka pun berusaha mencari solusi agar warga tetap bisa menikmati tempe hasil buatan mereka tanpa kenaikan harga. Hasilnya, harga tetap standar. Mereka hanya mengurangi produksi hingga mengurangi ukuran tempenya. Fiuh.

Kenyataan ini membuat saya berpikir, benarkah hukum ekonomi tidak berlangsung pada kehidupan ‘pertempean’ dan ‘pertahuan’? Harusnya, ketika harga bahan baku naik, mereka sudah harus menaikan harga kan? Setidaknya, seperti kata hukum ekonomi, turunnya penawaran akan menaikan harga jual. Nah, kenapa mereka tidak menaikan harga? bukankah dengan mengurangi produksi akan membuat stok tempe juga akan berkurang. Maksudnya, ketika satu perajin tempe mengurangi produksi sebanyak 250 kg per harinya, maka pasar akan kekurangan stok seperti biasanya. Dengan begitu, tempe akan langka sementara permintaan tetap. Nah, bukankah itu kesempatan menaikan harga?

“Tidak mungkin menaikkan harga jual di pasar karena itu sama saja ‘bunuh diri’ mengingat pembuatan tempe pekerjaan tetap. Mau makan apa keluarga, apalagi mau Hari Raya,” begitu kata seorang perajin tempe di Medan.

Jawaban perajin ini sempat membuat saya miris. Saya merasa perajin tempe begitu tertekan. Satu sisi mereka harus melawan harga bahan baku yang meningkat, di sisi lain mereka dibayangi ketakutan akan kehilangan konsumen. Di dua sisi itu, para perajin sama sekati tidak punya peran; mereka adalah korban. Soal harga bahan baku, tentunya perajin hanya berharap pada pemerintah sebagai pengontrol harga bukan? Soal konsumen lari, apa yang bisa perajin lakukan?

Ada apa? Apakah perajin tidak yakin kalau tempe sudah menjadi makanan penting? Lihatlah, harga daging yang melonjak tajam saja konsumen tidak peduli; tetap saja membeli.

Kata seorang kawan, daging bisa tertolong dalam memainkan harga karena terkait dengan momen tertentu. Misalnya saat ini warga di hadapkan pada Ramadan dan Lebaran yang identik dengan daging. Nah, bagaimana dengan tempe? Adakah momen yang bisa membuat harga tempe ‘sesuka hati’? Selama ini tempe hanya dianggap sebagai makanan pelengkap. Dengan kata lain, meski banyak yang suka, tempe belum mencapai tataran sangat dibutuhkan. Jadi, ketika harganya naik, ya, tinggalkan saja. Bah!
Nasibmu tempe…. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/